close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Foto Antara.
icon caption
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Foto Antara.
Bisnis
Sabtu, 23 November 2024 12:24

Skenario dampak terburuk kenaikan PPN 12%

Pemerintah diminta menangguhkan atau bahkan membatalkan rencana menaikkan tarif PPN hingga 12%.
swipe

Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 memantik kritik dari berbagai kalangan. Langkah ini dianggap kurang tepat mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang sedang tertekan. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024. Deflasi tersebut tercatat sebesar 0,03% pada Mei, 0,08% pada Juni, 0,18% pada Juli, 0,03% pada Agustus, dan 0,12% pada September.  

Meski demikian, pemerintah bersikeras bahwa kenaikan tarif ini diperlukan untuk reformasi perpajakan dan peningkatan penerimaan negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan kenaikan PPN diharapkan mampu menyehatkan APBN. 

"Bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannnya. Saya setuju bahwa kita perlu banyak memberikan penjelasan kepada masyarakat," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (13/11). 

Pemerintah berdalih tarif PPN di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Namun, tarif PPN sebesar 12% tergolong besar untuk ukuran Asia Tenggara. 

Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Singapura dan Thailand menetapkan tarif PPN sebesar 7%, sementara Vietnam, Malaysia, Laos, dan Kamboja di angka 10%. Myanmar hanya mengenakan tarif 5%, dan Brunei Darussalam tidak memiliki PPN. Dengan kenaikan ini, Indonesia akan menyamai Filipina yang menetapkan tarif sebesar 12%.  

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti memperingatkan bahwa kenaikan ini dapat berdampak negatif pada perekonomian nasional. 

"Kenaikan PPN 1% berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,02%. Biaya produksi dan konsumsi akan meningkat yang pada akhirnya melemahkan daya beli masyarakat," ungkap Esther kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Esther menjelaskan bahwa peningkatan tarif ini dapat memicu inflasi yang lebih tinggi. Pada April 2022, saat tarif PPN naik dari 10% menjadi 11%, inflasi langsung melonjak sebesar 0,95%. Kenaikan ini paling terasa pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau (0,45%) serta transportasi (0,29%). 

“Kalau inflasi kembali meningkat, daya beli masyarakat akan semakin tertekan. Pendapatan riil mereka berkurang, sementara harga barang naik,” tambahnya.  

Dampak lain yang diantisipasi adalah meningkatnya angka pengangguran. Penurunan konsumsi akibat daya beli yang melemah dapat mengurangi permintaan barang dan jasa. 

Sebagai konsekuensi, menurut Esther, perusahaan akan mengurangi produksi, yang berpotensi berujung pada efisiensi tenaga kerja. "Kondisi ini bisa memperburuk situasi ketenagakerjaan, terutama di sektor industri manufaktur dan jasa," ujar Esther.  

Tak hanya itu, kenaikan PPN juga dinilai akan menurunkan daya saing industri dalam negeri. Biaya  produksi yang meningkat membuat harga produk lokal menjadi kurang kompetitif dibandingkan barang impor. “Alih-alih meningkatkan penerimaan negara, kebijakan ini justru berpotensi menekan pendapatan negara dalam jangka panjang,” jelasnya.  

Esther menyarankan alternatif kebijakan yang lebih inklusif. Salah satunya adalah memperluas basis pajak (tax base) untuk meningkatkan penerimaan tanpa harus menaikkan tarif. "Menjaring wajib pajak baru dan mengoptimalkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dapat menjadi solusi yang lebih baik,” tutur Esther.  

Diakui Esther, pemerintah sedang dalam situasi dilematis. Di satu sisi, pemerintah dihadapkan pada kebutuhan untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun, pemerintah juga harus berhati-hati agar kebijakan ini tidak memperburuk situasi ekonomi masyarakat.

 “Langkah yang diambil harus mempertimbangkan dampaknya terhadap daya beli, pertumbuhan ekonomi, dan ketahanan sosial masyarakat,” jelasnya. 

Rencana kenaikan PPN diprotes berbagai pihak. Salah satunya ialah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Menurut YLKI, kenaikan PPN hingga sebesar 12% akan menambah berat beban konsumen. Apalagi, pemerintah baru menaikkan PPN menjadi 11% pada April 2022. 

"Jika PPN dipaksakan naik lagi menjadi 12 persen pada 2025, hal ini akan semakin memperburuk daya beli konsumen,” ujar YLKI dalam siaran pers yang diterima Alinea.id, Kamis (21/11) lalu. 

Menurut YLKI, dunia usaha dan industri akan ikut terkena imbas kenaikan PPN. Dampak terburuknya, penjualan turun yang bisa berujung pada lesunya roda ekonomi. Bukan tidak mungkin pemutusan hubungan kerja (PHK) juga kian masif. 

YLKI mengusulkan agar pemerintah menangguhkan atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN. Sebagai solusi alternatif, YLKI mengusulkan agar pemerintah selain menaikkan pungutan terhadap masyarakat lewat PPN. Salah satunya adalah dengan menaikkan cukai rokok dan menerapkan cukai bagi minuman berpemanis. 

Solusi lainnya ialah meningkatkan kepatuhan pajak di kalangan pengusaha kakap dan para pengemplang. "Agar beban pajak tidak jatuh lagi-lagi pada rakyat kecil,” ujar YLKI.

 

img
Irene Anggraini
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan