Majelis Tarjih dan Tajdid Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah berada di pihak yang sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait mata uang kripto (cryptocurrency). PP Muhammadiyah bahkan telah menerbitkan fatwa haram.
Diketahui, OJK melarang bank di Indonesia untuk berinvestasi di saham dan komoditas, termasuk melarang memfasilitasi transaksi kripto. Sementara itu, MUI telah mengeluarkan fatwa mata uang kripto haram.
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menyebut, polemik mata uang kripto dapat dipandang dari dua sisi, yaitu sebagai instrumen investasi dan alat tukar. Dicontohkannya dengan Bitcoin (BTC), salah satu jenis mata uang kripto.
"Sebagai alat investasi, mata uang kripto ini memiliki banyak kekurangan jika ditinjau dari syariat Islam, seperti adanya sifat spekulatif yang sangat kentara. Nilai Bitcoin ini sangat fluktuatif dengan kenaikan atau keturunan yang tidak wajar," tulis Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam keterangannya, Rabu (9/3).
Selain itu, Muhammadiyah berpandangan, kripto mengandung ketidakjelasan (garar). Baginya, mata uang kripto hanyalah angka-angka tanpa adanya underlying asset atau aset yang menjamin bitcoin, seperti emas dan barang berharga lain.
Sifat spekulatif dan garar ini diharamkan dalam syariat sebagaimana firman Allah dan hadis Nabi saw serta tak memenuhi nilai dan tolok ukur etika bisnis menurut Muhammadiyah, khususnya tidak boleh ada garar (HR Muslim) dan tidak boleh ada maisir (QS Al-Maidah: 90).
Meskipun Muhammadiyah membolehkan mata uang kripto sebagai alat tukar jika berdasarkan hukum asalnya, sebagaimana kaidah fikih bermuamalah bak skema barter, tetapi keduanya sama sekali berbeda. Alasannya, barter menekankan adanya keridaan dan tak merugikan kedua pihak serta tidak melanggar aturan berlaku.
"Namun demikian, jika menggunakan dalil sadd adz dzariah atau mencegah keburukan, maka penggunaan uang kripto ini menjadi bermasalah. Majelis Tarjih menilai, standar mata uang yang dijadikan sebagai alat tukar seharusnya memenuhi dua syarat, yaitu diterima oleh masyarakat dan disahkan oleh negara, yang dalam hal ini dapat diwakili otoritas resmi seperti bank sentral," tuturnya.
Selain itu, menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, penggunaan kripto sebagai mata uang hukumnya haram, lantaran ada unsur ketidakpastian, penipuan (garar), atau dapat memicu kerugian dalam transaksi.
"Karena mengandung garar, dharar, dan bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 Tahun 2015," pungkasnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR, Wihadi Wiyanto, mempertanyakan alasan OJK melarang mata uang kripto dengan mengacu UU Perbankan. Pangkalnya, sesuai Pasal 6 huruf n UU Perbankan, bank diperbolehkan melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan UU dan peraturan perundang-undangan berlaku.
"Saya kira, alasan OJK tidak boleh memperdagangkan kripto itu harus didasari oleh UU yang jelas, sedangkan UU yang langsung melarang kripto itu tidak ada. Kenapa itu dia melarang kripto?" katanya, Selasa (8/3).
Menurut politikus Partai Gerindra ini, kripto diakui sebagai salah satu komoditas yang diperdagangkan dengan di bawah pengawasan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). "Ini, kan, jadi bertentangan."