Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Sofyan Djalil mengakui bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) masih menjadi hambatan kemudahan berusaha atau ease of doing business (EODB) di Indonesia.
Menurut Bank Dunia, pengenaan bea BPHTB di Indonesia masih tergolong tinggi, yaitu sebesar 8%. Untuk itu, pihaknya berencana mengusulkan kepada pemerintah untuk menurunkan pajak tersebut.
"BPHTB itu ada dalam UU (Undang-undang) dan kewenangan pemerintah daerah. Kami sadar kalau BPHTB ini menjadi hambatan dalam rangka EODB," katanya dalam webinar, Rabu (14/7).
Pihaknya telah mengusulkan agar BPHTB tersebut cukup dimasukkan dalam komponen Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, hingga saat ini usulan tersebut masih dalam tahapan proses.
Lebih lagi, kewenangan tersebut berada di pemerintahan daerah dan bukan di kementeriannya. Sehingga, Sofyan mengatakan, tidak bisa serta merta menurunkan tarif pajak tersebut sewaktu-waktu.
"Pemerintah sadar permasalahan itu harus diselesaikan. Banyak pejabat daerah, mulai bupati, wali kota, gubernur yang cukup progresif menurunkan BPHTB secara volunteer. Kalau saya boleh menurunkan, saya sudah turunkan dari kemarin-kemarin, tapi itu di luar kewenangan saya," ujarnya.
Dia mengakui permasalahan BPHTB ini merupakan permasalahan yang luput dari usaha pemerintah untuk memberikan kemudahan dan kepastian berusaha melalui penggodokan UU Cipta Kerja.
"BPN sangat sadar dengan kendala yang dihadapi tersebut, next time bisa dibicarakan. Kemarin di UU Cipta Kerja kebetulan masalah itu tidak masuk dalam UU yang diomnibuskan," tuturnya.