Sri Mulyani, BI, dan OJK kompak sebut ekonomi Indonesia aman
Menteri Keuangan Sri Mulyani, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kompak menyebut ekonomi RI masih aman meski rupiah terpuruk.
Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan mayoritas pemicu depresiasi kurs rupiah hingga lebih dari Rp15.000 per dollar AS karena banyak dipengaruhi faktor eksternal.
"Saya lihat dominasi hari ini mayoritas berasal dari luar," kata Menkeu Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (4/10).
Dia mencontohkan pada Rabu (3/10), ada pengaruh sentimen dari Italia yang defisit APBN-nya cukup besar. "Sekarang Italia komitmen menurunkan defisit APBN, lalu juga ada sentimen yang lain," katanya.
Sementara dari sisi domestik, menurut dia, pemerintah terus mewaspadai posisi neraca pembayaran. "Ini masih harus dikendalikan dengan baik," katanya.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu juga menyebutkan BI sebagai otoritas moneter juga sudah melakukan langkah-langkah bauran kebijakan.
"Bauran kebijakan dari BI itu termasuk yang berhubungan dengan suku bunga, dengan makro prudensial dan kebijakan mereka mengenai intervensi untuk menciptakan suatu perubahan yang bisa diserapatau disesuaikan oleh perekonomian," katanya.
Sementara dari sisi fiskal, menurut dia, pemerintah akan terus melaksanakan berbagai keputusan yang telah disepakati sebelumnya.
Pemerintah terus memonitor impor utamanya impor barang konsumsi dan baranh yang diproduksi dalam negeri. Laporan impor 1.147 jenis barang akan dilihat setiap minggu dan posisi terakhir sudah menunjukkan penurunan namun akan dilihat perkembangannua pada Oktober minggu pertama ini.
"Untuk BBM, yang merupakan komponen impor terbesar, kami harap penerapan B-20 bisa mengurangi impor BBM. Akhir September terjadi kenaikan penggunaan biofuel dan kami akan lihat," katanya.
Senada, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS masih dalam batas aman karena kondisi di sektor perbankan dinilai memiliki daya tahan dalam menghadapi depresiasi kurs.
"Sektor perbankan kuat. Semua bank kategori BUKU I-IV, CAR (Capital Adequacy Ratio/rasio kecukupan modal bank)-nya di atas 20%," kata Mirza saat ditemui di Gedung BI.
Ia menjelaskan, rasio kecukupan modal yang dianggap sehat bagi bank adalah minimum 8,5% sampai dengan 14% apabila memerhatikan aspek risiko.
Selain itu, lanjut Mirza, BI juga selalu memperhatikan kondisi likuiditas di pasar dan memandang bahwa saat ini likuiditas masih cukup meskipun sebelumnya BI 7-Day Reverse Repo Rate dinaikkan 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%.
"Kalau BI sudah menaikkan 150 bps, bunga di pasar time deposit itu kenaikannya belum sampai 50 bps jadi masih terkendali. BI selalu siap membuka keran likuiditas dengan fasilitas term repo. BI pasti akan masuk ke pasar jika memang likuiditas rupiah mengetat," ujar dia.
Mirza juga meminta agar kondisi pelemahan rupiah jangan hanya dilihat posisi angkanya yang sudah melebihi level psikologis baru di atas Rp15.000. Aspek volatilitas serta pasokan dan permintaan juga perlu diperhatikan.
"Kita ini sudah mengalami volatilitas sejak 2013, tapi bukan cuma Indonesia. India, Filipina, Meksiko, Brasil, Afrika Selatan, dan bahkan negara maju yang suku bunganya lebih rendah dari AS juga mengalami pelemahan kurs," kata dia.
Pergerakan nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Kamis sore, bergerak melemah sebesar 86 poin menjadi Rp15.150 dibandingkan posisi sebelumnya Rp15.064 per dollar AS.
Di pasar spot, rupiah melemah 0,69% sebesar 104 poin ke level Rp15.179 per dollar AS. Bahkan, dari data Bloomberg, rupiah sempat menyentuh rekor Rp15.191 per dollar AS yang merupakan level tertinggi lagi sejak 1998.
Ekonomi kokoh
Sementara itu, OJK memaparkan kondisi perekonomian Indonesia masih kokoh, namun saat ini tengah digoncang oleh sentimen dari luar negeri.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan ekonomi Indonesia juga harus mengambil langkah untuk menyesuaikan perkembangan perekonomian global agar Indonesia tak tertinggal.
"Sebagaimana kita ketahui bahwa perekonomian dunia sedang bergoyang dan ini sudah kita ketahui bersama penyebab utamanya bukan dari dalam negeri, tapi eksternal," ujarnya di Kantor OJK.
Menurutnya, ada dua hal yang menonjol, yakni perubahan kebijakan atau normalisasi suku bunga AS dan pengenaan tarif oleh AS kepada China dan negara lainnya.
"Indonesia harus meningkatkan suku bunganya mengikuti dan mengantisipasi agresivitas AS," kata Wimboh.
Dengan demikian, dampaknya cukup besar seluruhnya sehingga beberapa negara menyesuaikan kebijakan suku bunganya supaya investor portofolio ini tidak mempunyai atau menggurangi sentimen negatif terhadap pasar keuangan di suatu negara. Jadi, kenaikan suku bunga diakuinya untuk menyetir sentimen jangka pendek.
"Mungkin orang berpersepsi bahwa adanya pengenaan tarif akan memengaruhi kapasitas ekspor ke AS di beberapa negara. Dampaknya tidak instan dan butuh waktu jadi hanya persepsi ke depan saja," imbuhnya.
OJK menilai perekonomian Indonesia yang tercermin dari pertumbuhan perbankan masih cukup baik.
"Bagaimana dampak ke Indonesia? Kita lihat statistik suku bunga ini. Perbankan kita punya cover room yang cukup kuat dari segi meng-absorb kenaikan suku bunga jadi perbankan masih bisa efisiensi dan menerapkan teknologi. Jadi kalau ada kenaikan suku bunga tidak 100% di-passthrough ke peminjam karena ada efisiensi," jelasnya.
Kenaikan suku bunga mungkin bisa terjadi tapi lebih banyak karena penyesuaian kebijakan likuiditas. Secara keseluruhan, likuiditas perbankan masih baik dan tidak ada masalah meski kredit tumbuh agresif.
"Terakhir Agustus 12,12% tapi ini karena dunia usaha menggeliat karena komoditas harganya naik, yang dulu ditakutkan pertumbuhan kredit karena komoditas juga melambat. Ini sudah bergairah jadi ekonomi kita. Jadi tidak heran kalau kredit meningkat," terang Wimboh.
Di samping itu, tekanan nilai tukar ada di beberapa negara. Tapi nilai tukar ini sifatnya sebentar dalam konteks sentimen negatif, artinya cari ekuilibrium baru dan masih bisa volatil.
"Tapi kita yakin BI bisa jaga transmisi dan transisi volatilitas managable dan tak menimbulkan goncangan," lanjutnya.
Adapun pemerintah telah memperbaiki fundamental, di antaranya memberikan insentif misal B20 yang diharapkan bisa menghemat banyak penggunaan energi mineral atau minyak yang masih didominasi impor jadi bisa hemat banyak devisa.
Di samping itu, ada penjadwalan kembali proyek yang membutuhkan banyak impor dan juga dorong eskpor. Ini fundamentalnya Indonesia, dan dia menilai Tanah Air secara fundamental tak perlu dikhawatirkan.
Menurut dia, itulah gambarann umum Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Turki, Argentina dan Venezuela.
Selain itu, juga dilakukan peningkatan PPh 22 impor yang bisa menghemat US$37,7 juta dan peggunaan produksi minyak dalam negeri US$52,9 juta kemudian pariwisata US$241 juta dan program B20 US$412,5 juta. (Ant).