Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri mengungkapkan, rencana pemerintah untuk mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi bahan kebutuhan pokok telah menyebabkan kepanikan di tingkat pedagang dan mengganggu psikologis pasar.
Bahkan, kegaduhan tersebut telah memicu kenaikan harga sejumlah bahan pokok seperti daging sapi, daging ayam, telur, dan minyak goreng. Harga daging sapi per hari ini, lanjutnya, mencapai Rp135.000/Kg.
Padahal, sebelumnya, harga tertinggi untuk daging sapi berkisar antara Rp114.000 hingga Rp125.000. Begitu pula dengan harga telur ayam yang melonjak dari Rp22.000/Kg ke Rp25.000/Kg.
"Hari ini kami kirim selebaran ke pedagang pasar agar tidak terlalu memikirkan soal ini berlebihan, karena ini belum apa-apa (baru draft). Draft itu beredar dan mengganggu psikologis pedagang dan pasar. Kita harus beri ketenangan dan keteduhan seolah-olah perekonomian baik-baik saja, meskipun kita tidak tahu ya," katanya dalam Alinea Forum "Untung Rugi Pengenaan Pajak Sembako", Jumat (11/6).
Dia pun mengatakan, kepanikan pedagang pasar disebabkan oleh wacana pemerintah yang dinilai tidak pas di tengah pandemi Covid-19 yang menyebabkan penurunan perekonomian di berbagai sektor.
Lebih lagi, sejak pandemi melanda pedagang mengalami penurunan omzet yang disebabkan oleh turunnya konsumsi masyarakat. Dikhawatirkan, wacana pengenaan PPN bahan pokok ini akan semakin memperburuk kondisi pedagang.
Untuk itu, dia meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai penjaga gawang sistem perpajakan di Indonesia untuk turun tangan dan turut serta menenangkan pasar.
"Dengan kerelaan hati, Menkeu cari opsi lain tanpa harus membunuh kami. Kalau bahasa teman-teman pedagang, kondisi Covid-19 ini sama seperti membunuh pedagang pelan-pelan. Tetapi begitu PPN ini muncul, ini seperti langsung menggorok. Langsung mati kita," ucapnya.
Dia menambahkan, agar tidak memicu dampak yang lebih luas bagi perekonomian akibat kegaduhan ini, lebih lagi hal itu menyangkut kebutuhan dasar masyarakat, dia meminta Sri Mulyani untuk menyampaikan pidato yang menenangkan dengan pernyataan mengeluarkan sembako dari objek PPN.
"Harapan kami, Sri Mulyani berpidato bahan pokok enggak masuk. Itu pasti akan langsung tenang. Kalau mau diatur atur tiga tahun lagi, atau kapan karena pandemi ini kita enggak tahu kapan akan berakhir. Mari jaga ketenangan, jangan munculkan isu-isu yang mengkhawatirkan," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan timing munculnya wacana pengenaan PPN sembako ini tidak tepat, karena di situasi perlemahan ekonomi akibat pandemi.
Lebih-lebih, lanjutnya, wacana itu baru akan dilaksanakan pada 2023 setelah pandemi Covid-19 berakhir, dan dengan catatan ekonomi membaik.
"Pertama timing sangat tidak tepat, walaupun niatnya baik, dan akan diterapkan setelah ekonomi pulih. Timingnya tidak pas karena dirasakan masyarakat ini menambah beban. PPN sembako belum terjadi tetapi kita sudah terbayangkan tambahan beban baru," ujarnya.
Selain itu, kegaduhan yang terjadi ini muncul karena pola komunikasi pemerintah yang buruk. Bahwa, wacana tersebut tidak disampaikan secara baik dan komprehensif, sehingga masyarakat tidak menerima pesan tersebut secara parsial.
"Komunikasinya kedodoran sekali, pemerintah reaktif, seharusnya sudah menyadari sejak awal isu ini sensitif, PPN sembako, pendidikan dan kalau memang seharusnya dilakukan disiapkan secara matang argumentasinya," ucapnya.
Sebelumnya, pemerintah berencana mengenakan PPN untuk bahan kebutuhan pokok, sebagaimana tercantum dalam draft perubahan kelima UU Nomor 6/1993 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Pada pasal 4a perubahan UU KUP tersebut menegaskan bahwa pemerintah menghapus kebutuhan pokok dari objek barang tidak kena pajak, untuk selanjutnya akan dikenakan PPN.
Sementara itu, disebutkan pula ada tiga opsi tarif untuk pengenaan PPN sembako ini. Pertama, diberlakukan tarif PPN umum yang diusulkan sebesar 12%. Kedua, dikenakan tarif rendah sesuai dengan skema multitarif yakni sebesar 5%, yang dilegalisasi melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. Ketiga, menggunakan tarif PPN final sebesar 1%.
Namun demikian, tidak disebutkan secara jelas mana-mana saja bahan pokok yang dikenakan PPN 12% atau lebih rendah.