Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku harus bekerja keras untuk menjaga pertumbuhan ekonomi pada semester II-2018.
Sri Mulyani mengatakan momentum pertumbuhan pada paruh kedua 2018 akan dijaga menyesuaikan dinamika perubahan global dari arus modal.
"Kami akan tetap fokus agar dalam dinamika global yang seperti ini, paruh kedua 2018 akan jaga momentum pertumbuhan tetap berjalan namun external balance harus dijaga sekuat mungkin," kata Sri Mulyani dalam acara Indonesia Economic Outlook (IEO) Forum di Jakarta, Senin (24/9).
Ia menjelaskan, berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah dan otoritas terkait untuk mendukung upaya menjaga momentum di semester II-2018.
Beberapa di antaranya yaitu menaikkan suku bunga, meningkatkan investasi melalui kebijakan fiskal, dan menggunakan pembiayaan supaya menciptakan arus modal masuk di Indonesia.
"Itu kami lakukan tentu tidak hanya dalam rangka menjaga momentum tetapi juga mengurangi kerentanan kita," ujar Sri Mulyani.
Menkeu mengatakan, upaya tersebut juga bertujuan untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% di 2019.
Faktor pendorong pertumbuhan di 2019 tersebut antara lain berasal dari kontribusi konsumsi 5,1%, investasi 7%, ekspor 6,3%, dan impor 7,1%. Sementara sektor pertanian diharapkan tumbuh mendekati 4% dan konstruksi 6,6%.
Sektor manufaktur mendapatkan perhatian khusus agar dapat tumbuh di atas 5% pada 2019. Selama manufaktur tidak tumbuh cukup tinggi, maka hal itu akan berpengaruh ke penciptaan kesempatan kerja dan penerimaan pajak.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan prioritas utama sektor manufaktur antara lain menyangkut industri alas kaki, makanan dan minuman, kimia, tekstil, dan elektronik.
Kelima industri tersebut mencakup 60% dari keseluruhan sektor manufaktur dan mampu menyumbang 65% ekspor serta 60% tenaga kerja.
Defisit transaksi berjalan
Sementara itu, Sri Mulyani menyebut defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang diprediksi mencapai US$25 miliar sepanjang 2018 idealnya diatasi melalui upaya peningkatan ekspor.
"Idealnya CAD dipecahkan dengan ekspor yang naik, bukan impornya yang yang turun," kata Menkeu.
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu menjelaskan, kinerja ekspor yang naik menunjukkan daya saing Indonesia makin tinggi karena bisa memproduksi sendiri barang yang tadinya tidak perlu diimpor.
Sri Mulyani mencontohkan beberapa komoditas yang masih diimpor terutama berasal dari industri makanan seperti teh, kopi, dan coklat. Padahal, Indonesia termasuk produsen dari komoditas-komoditas tersebut.
Ia berharap Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank dapat mengidentifikasi apa yang menjadi halangan dari komoditas-komoditas tersebut untuk diproduksi dalam negeri.
Menkeu menjelaskan, saat ini Indonesia tengah mengalami tekanan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena menghadapi defisit transaksi berjalan.
Dalam dua tahun terakhir (2016-2017), defisit transaksi berjalan mencapai sekitar US$17 miliar. Defisit tersebut mampu diimbangi oleh surplus neraca transaksi modal dan finansial pada kisaran US$29 miliar.
Selama semester I-2018, defisit transaksi berjalan telah mencapai US$13,7 miliar, terdiri dari US$5,7 miliar pada triwulan I-2018 dan US$8 miliar triwulan II-2018.
Ekspor barang pada semester I-2018 mencapai sekitar US$88,2 miliar, namun impor cukup tinggi mencapai US$85,6 miliar. Sementara surplus neraca transaksi modal dan finansial hanya mencapai US$6,5 miliar.
Strategi pengendalian impor dibutuhkan mengingat masih terdapat risiko arus modal keluar lebih tinggi akibat kebijakan kenaikan suku bunga acuan The Fed lebih lanjut. (Ant).