Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta BPJS Kesehatan memperbaiki sistem manajemen dan keuangan untuk meminimalkan defisit tahun anggaran 2018 sebesar Rp9,1 triliun yang akan diselesaikan pada 2019.
“Rekomendasi BPKP agar BPJS Kesehatan menjalankan action plan mereka agar bisa kurangi Rp9,1 triliun ini, yang selama ini under control dari BPJS Kesehatan,” kata Sri Mulyani dalam rapat dengar pendapat terkait audit keuangan BPJS Kesehatan di Komisi IX DPR RI Jakarta, Senin (27/5) malam.
Sebelumnya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah mengaudit laporan keuangan BPJS Kesehatan tahun 2018. Dari hasil audit, BPKP mengidentifikasi beberapa hal yang harus dilakukan BPJS untuk mengurangi hasil defisit.
Pertama, yang sifatnya kepesertaan, pemanfaatan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) yang ada di pemerintah daerah, pencegahan fraud, penagihan non-performing loan (NPL), dan penjajakan sejumlah kerja sama lain yang bisa dilakukan.
Kedua, terkait beberapa upaya meminimalkan defisit lainnya ada yang berada di bawah kewenangan Kementerian Kesehatan. Menkeu berharap Menteri Kesehatan dapat membantu menyelesaikan persoalan tersebut untuk meminimalkan defisit.
“Kalau nanti sudah dibersihkan action plan-nya, baru kami menambah kekurangannya,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani merasa keberatan apabila BPJS Kesehatan mengalami defisit dan langsung datang ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta bantuan pembiayaan untuk menutup defisit.
Dia menginginkan Kemenkeu bukan menjadi pembayar pertama, melainkan pembayar terakhir setelah berbagai upaya pengurangan defisit dilakukan.
Dia mencontohkan SILPA dana kapitasi tahun anggaran 2018 sebesar Rp2,5 triliun masih mengendap di pemerintah daerah. Padahal, dana ini harusnya diberikan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti puskesmas dan klinik untuk biaya layanan dan operasional .
Dana tersebut juga bisa meminimalkan defisit atau gagal bayar BPJS Kesehatan terhadap jaminan kesehatan melalui peraturan yang diterbitkan Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri.
“Saya tentu berharap dengan semua aspeknya bisa diselesaikan. Maka tahun 2020 kita mungkin bisa betul-betul mengurangi kemungkinan terjadinya gagal bayar atau penundaan pembayaran hingga bahkan lebih dari satu tahun,” kata Sri Mulyani.
Terakhir, BPJS Kesehatan juga diminta membereskan sistem pengelolaan data peserta dengan data cleansing untuk mencegah masalah mengenai kepesertaan ganda dan sebagainya.
Selain itu, BPJS Kesehatan juga harus meningkatkan kolektibilitas iuran dari Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU), yang saat ini baru sebesar 53,7% dari target yang ditetapkan 60%.
Jurus pembiayaan JKN
Di sisi lain, Sri Mulyani memiliki beberapa jurus untuk Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan agar dapat berkelanjutan dan berkesinambungan.
Sri Mulyani mengatakan hal pertama harus dilakukan adalah menyesuaikan besaran iuran agar sesuai dengan layanan yang diberikan saat ini. Atau, iuran tetap sama namun mengurangi manfaat layanan yang diberikan.
Namun, Sri mengaku ada sisi kemanusiaan dan hal lainnya yang sensitif terkait dengan kebijakan tersebut. Jika besaran iuran dinaikkan, peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari kalangan masyarakat miskin tidak terdampak karena dibayarkan pemerintah.
Sebaliknya, masalah akan timbul di kalangan masyarakat menengah ke bawah yang masuk dalam Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau pekerja mandiri yang hingga saat ini kolektivitas iurannya masih rendah.
“Meskipun kita lihat dari sisi belanja rumah tangga paling besar untuk beli pulsa telepon, bahkan rokok, tapi untuk iuran kesehatan tidak masuk dalam top prioritas mereka. Ini masalah edukasi,” kata Sri Mulyani.
Selanjutnya, Sri Mulyani mengatakan perlunya program promotif dan preventif dari Kementerian Kesehatan untuk mencegah angka kesakitan di masyarakat yang berdampak pada membengkaknya biaya klaim dari penyakit tidak menular.
Program promotif dan preventif yang juga harus dilakukan dari pemerintah daerah itu, kata dia, untuk melengkapi program JKN yang berkelanjutan dan berkesinambungan.
Terakhir, untuk mencegah potensi kecurangan dan penyalahgunaan layanan, BPJS Kesehatan juga diminta membenahi sistem pengelolaan data agar mempersempit ruang kecurangan. Hal itu diperlukan, mengingat BPJS Kesehatan bekerja sama dengan lebih dari 2.509 rumah sakit di seluruh Indonesia.
Selain itu, perlu dilakukan peninjauan kebijakan dalam memberikan dana kapitasi untuk pembiayaan layanan dan operasional di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), seperti puskesmas dan klinik agar lebih efektif dan efisien. (Ant)