Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan volume penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk dari 2008 hingga Juni 2021 telah mencapai Rp1.810,02 triliun atau setara US$124,49 miliar.
"Hal ini merepresentasikan 19% dari total outstanding Surat Berharga Negara (SBN) secara keseluruhan," katanya dalam webinar, Kamis (15/7).
Bendahara negara itu menuturkan, dari tahun ke tahun sukuk negara terus berkembang dan memainkan peranan yang sangat penting di dalam memenuhi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Hal itu tercermin dari kontribusi SBSN terhadap pembiayaan APBN yang semula pada 2008 hanya sebesar Rp 4,7 triliun, lalu meningkat di 2020 yang mencapai Rp360 triliun.
Jika dibandingkan dengan penerbitan SBN lainnya, kontribusi SBSN atau sukuk terhadap pembiayaan APBN porsinya mencapai 20%-30% dari penerbitan surat berharga negara setiap tahunnya.
"Apabila kami bandingkan dengan penerbitan SBN biasa, maka SBSN berkontribusi sekitar 20% hingga 30% dari penerbitan surat berharga negara setiap tahunnya," ucap Sri Mulyani.
Untuk itu, ke depannya dia akan terus mengembangkan pasar sukuk negara dengan memprakarsai pengembangan produk yang dibutuhkan investor seperti sukuk ritel, sukuk tabungan, sukuk global, project financing sukuk, cash waqf linked sukuk (CWLS), dan pengembangan struktur akad sukuk fatwa.
"Berbagai upaya ini diharapkan semakin menciptakan alternatif instrumen yang dibutuhkan investor dalam negeri dan sekaligus juga memperdalam pasar keuangan, terutama pasar sukuk negara," tuturnya.
Sri Mulyani mengatakan, meskipun saat ini SBSN yang diterbitkan pemerintah mayoritas masih dikuasai oleh perbankan, namun dia melihat ada peningkatan minat dari investor individu.
Per Juni 2021 misalnya, kepemilikan investor individu naik dari hanya sebesar Rp22,27 triliun menjadi Rp46,48 triliun. "Hal ini menunjukkan basis investor kita yang semakin tumbuh dan bisa meningkatkan pendalaman pasar keuangan kita," kata dia.