Bank Indonesia berencana melakukan Rapat Dewan Gubernur (RDG) tambahan pada Rabu (30/5). Hal ini dilakukan guna merumuskan kebijakan sekaligus sebagai langkah preemptive dalam menghadapi rapat Komite Pasar Terbuka The Federal Reserve AS (FOMC) pada 14 Juni 2018.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengataka RDG tambahan dilakukan guna menstabilisasi pasar keuangan, termasuk mengendalikan nilai tukar rupiah. Selain itu juga sebagai langkah antisipasi tekanan sepanjang 2018.
"Ini bukan RDG emergency, namun RDG tambahan. Sebagai respons cepat untuk merumuskan kebijakan agar inflasi bisa terjaga dikisaran 3,5% plus minus 1%," jelas Perry, Senin (28/5) di Kementerian Keuangan.
Menurut Perry, tekanan terhadap stabilitas, khususnya nilai tukar rupiah dikarenakan perubahan kebijakan di Amerika Serikat yang berdampak ke seluruh negara, termasuk Indonesia. Apalagi, pelaku pasar keuangan memerkirakan kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed pada tahun ini, cukup agresif, yaitu empat kali kenaikan. Perubahan kebijakan AS tersebut telah memicu secara cepat kenaikan yield obligasi AS, US Treasury Bond, misalnya untuk tenor 20 tahun sempat mencapai 3,1%.
Karena itu, Bank Indonesia akan menerapkan kebijakan moneter yang antisipatif guna mengantisipasi tekanan akan datang (ahead of the curve).
Secara terpisah, Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menilai, jika BI benar-benar mengeluarkan kebijakan menaikkan suku bunga acuan, hal itu tergolong berani. Mengingat, belum lama ini BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4,5%.
Menurut dia, Bank Indonesia perlu melakukan mitigasi dampak pertumbuhan kredit terlebih dahulu sebelum menaikkan suku bunga acuan.
"Bunga kredit yang naik terlalu tinggi membuat kredit perbankan tumbuh lambat. Bisa kontraksi juga ke pertumbuhan ekonomi. Saya kira Bank Indonesia belum akan naikkan bunga acuan sampai Juni-Juli mendatang," terang Bhima kepada Alinea.id, Senin (28/5).