Startup kecantikan lokal mulai bersolek demi raih pendanaan
Sebagai seorang beauty blogger penuh waktu dan ibu rumah tangga, Reyne Raea (32) tak sempat berbelanja langsung produk-produk kecantikan maupun perawatan kulit. Akhirnya, untuk kali pertama ibu dua anak remaja ini membeli makeup di laman Soco by Sociolla pada awal 2019 lalu.
Ia akhirnya rutin membeli produk-produk kecantikan di marketplace milik PT Social Bella Indonesia alias Sociolla ini. Setelahnya, ia akan rutin mengulas produk kepada para pembacanya.
"Ketika saya membuka website-nya, saya langsung yakin kalau produk yang dijual adalah asli dari nama besar dan sistemnya,” ungkap Rey kepada Alinea.id, Jumat (25/3).
Menurutnya, keaslian adalah suatu hal yang paling penting dan harus diperhatikan saat membeli produk kecantikan. Sabab, baik makeup, skin care hingga perawatan tubuh (body care) akan diaplikasikan ke muka dan tubuhnya.
Ketika produk kecantikan dan perawatan yang digunakannya tidak asli, akan sangat mungkin justru berakhir merusak wajah dan tubuh. Selain itu, harga stabil juga membuat Rey tertarik untuk berbelanja di platform e-commerce yang sudah berdiri sejak 2015 ini.
“Di Sociolla memang banyak banyak banget diskonan dan promo, kadang ada semacam flash sale (promo kilat) gitu. Selain itu, ada pula promo bebas ongkir,” kata perempuan yang tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur ini sambil berseloroh.
Berbeda dengan Rey, Yudha yang sebelumnya telah melewati proses trial and error berbagai produk perawatan kulit, kini memantapkan diri dengan menggunakan produk perawatan wajah lokal bermerek Base. Alasannya, kandungan alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan cocok untuk kulit wajahnya yang mengalami masalah cukup serius.
“Kalau dilihat dari harganya pricy (mahal) si. Tapi demi muka kinclong kayak idol Korea ya tak bela-belain buat beli,” ujarnya, saat berbincang dengan Alinea.id, Senin (21/3).
Pengajar Bahasa Jepang di salah satu Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) dan Pendidikan Bahasa Jepang di Semarang itu mengaku, ia harus merogoh kocek sebesar Rp492.000. Produk yang didapat antara lain pelembab atau moisturizer, toner, face cleanser, dan sunscreen.
Laki-laki 25 tahun ini mulai menyukai produk perawatan wajah dari Base karena personalisasi atau penyesuaian bagi masing-masing konsumennya. Hal ini dilakukan dengan mengetes kondisi kulit wajah, penggunaan produk perawatan wajah dan makeup konsumen selama satu bulan terakhir, serta gaya hidup yang dijalani oleh konsumen.
“Habis itu baru aku dapet rekomendasi produk skincare-nya,” imbuh Yudha.
Selain efektif mengatasi masalah wajahnya, alasan lain yang membuat Yudha beralih ke produk skincare organik dan vegan ini adalah karena proses pemesanan Base yang praktis, yakni melalui website.
Ala Korea Selatan
Tak bisa dipungkiri, selama pandemi Covid-19, konsumen banyak beralih ke e-commerce maupun toko-toko digital untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini praktis membuat kinerja berbagai platform penjualan digital ikut terkerek, tak terkecuali startup kecantikan.
Pertumbuhan perusahaan rintisan yang menyediakan berbagai kebutuhan makeup, produk skincare dan bodycare pun masih didongkrak pula oleh konsumsi masyarakat terhadap produk-produk tersebut. Bahkan, menurut Pakar Marketing Yuswohady, penjualan produk kecantikan khususnya skincare dan bodycare yang erat kaitannya dengan produk perawatan kesehatan (healthcare) mengalami pertumbuhan pesat dalam dua tahun terakhir.
Apalagi, dengan merebaknya virus SARS-CoV-2, masyarakat baik perempuan maupun laki-laki kian memperhatikan kesehatan mereka, termasuk juga kesehatan kulit.
“Produk-produk kecantikan yang sebelumnya banyak didominasi oleh makeup yang ini adalah kebutuhan dekoratif, bergeser menjadi kebutuhan yang lebih penting, meskipun belum menjadi kebutuhan primer,” jelasnya, kepada Alinea.id, Sabtu (26/3).
Kebutuhan dekoratif yang dimaksud Yuswohady ialah produk yang memang digunakan oleh orang-orang untuk mempersolek diri. Makeup, seperti bedak, perona bibir atau lipstik, maupun maskara adalah barang-barang yang memiliki fungsi tersebut.
"Tapi tetap, keduanya (makeup dan skincare) tetap mengalami pertumbuhan," imbuh Managing Director Inventure itu.
Namun, baik makeup maupun produk perawatan, kini sama-sama sudah mengalami pergeseran. Dari yang sebelumnya berkiblat ke Barat dengan tujuan untuk memutihkan kulit dan ciri khas makeup yang bold, menjadi ke Asia khususnya Korea Selatan. Cirinya pun terlihat dengan makeup natural dan juga skincare untuk membersihkan dan mengecilkan pori-pori kulit.
Pendapatan industri kecantikan dan perawatan diri 2013-2026 (dalam US$ juta). Sumber: Statista
Tahun |
Kosmetik |
Parfum |
Personal Care |
Skin Care |
2013 |
1.385 |
377 |
2,749 |
1.882 |
2014 |
1.285 |
350 |
2.547 |
1.732 |
2015 |
1.206 |
326 |
2.380 |
1.610 |
2016 |
1.289 |
346 |
2.527 |
1.702 |
2017 |
1.364 |
360 |
2.650 |
1.779 |
2018 |
1.366 |
355 |
2.628 |
1.760 |
2019 |
1.466 |
373 |
2.790 |
1.866 |
2020 |
1.175 |
321 |
2.731 |
1.700 |
2021 |
1.304 |
338 |
2.921 |
1.780 |
2022 (prediksi) |
1.669 |
400 |
3.245 |
2.089 |
2023 (prediksi) |
1.868 |
430 |
3.415 |
2.266 |
2024 (prediksi) |
1.966 |
441 |
3.562 |
2.378 |
2025 (prediksi) |
2.067 |
452 |
3.717 |
2.487 |
2026 (prediksi) |
2.172 |
462 |
3.879 |
2.602 |
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2020, kinerja industri kimia, farmasi dan obat tradisional, termasuk di dalamnya kosmetik, mengalami pertumbuhan hingga 9,39%. Tidak hanya itu, selama pagebluk, sektor ini pun mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 1,92%, dengan nilai ekspor mencapai US$1,4 miliar.
Dari kinerja tersebut, masih berdasarkan data Statista, porsi penjualan produk-produk kecantikan memang masih didominasi oleh penjualan melalui saluran offline atau dari toko-toko ritel. Namun demikian, penjualan melalui kanal digital seperti laman resmi toko, e-commerce, hingga startup khusus kecantikan tercatat terus mengalami kenaikan sejak 2017 lalu.
Bahkan, di tahun 2020 penjualan produk kecantikan melalui platform digital tercatat memiliki porsi sebesar 10,6% dan tahun lalu kembali tumbuh dengan porsi 13,3%.
"Ini akan terus mengalami pertumbuhan, apalagi dengan pergeseran perilaku konsumsi masyarakat yang saat ini sudah beralih ke online," kata Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (25/3).
Tak heran, jika kenaikan penjualan produk kecantikan digital ini lantas berpengaruh terhadap kinerja perusahaan rintisan kecantikan nasional, seperti Sociolla, Base, atau bahkan startup anyar milik Luna Maya NAMA Beauty. Apalagi, ketiga startup tersebut memiliki model bisnis direct-to-consumer (DTC).
Model bisnis vertikal ini mengeliminasi pihak-pihak perantaranya, sehingga produsen dapat menjual produk langsung kepada konsumen. Adapun pihak perantara yang dimaksud adalah pusat grosir atau toko ritel serta distributor.
Sebagai gantinya, perusahaan memanfaatkan saluran cloud dan e-commerce dan menjualnya langsung kepada konsumen dengan menggunakan platform digital resmi milik perusahaan. "Ini bisa berbentuk website perusahaan, aplikasi, e-commerce, atau toko-toko resmi yang ada di e-commerce," ujarnya.
Pertumbuhan kinerja startup kecantikan, menurut Dianta, dapat dilihat dari kucuran pendanaan yang diberikan oleh investor kepada perusahaan tersebut. Selain itu, dapat pula dilihat dari pertumbuhan pengguna aplikasi atau jumlah pembeli produk kecantikan mereka.
Sociolla misalnya, berhasil mendapatkan pendanaan Seri E dari empat investor, yang dipimpin oleh L Catterton, perusahaan investasi dan pengelolaan dana asal Amerika Serikat sebesar Rp818 miliar. Selain itu, pada 2021 ada kenaikan jumlah pengguna startup berwarna merah muda ini hingga 31%.
Porsi penjualan produk kecantikan dan perawatan diri
Tahun |
Offline |
Online |
2017 |
93,6% |
6,4% |
2018 |
92,5% |
7,5% |
2019 |
91,1% |
8,9% |
2020 |
89,4% |
10,6% |
2021 |
86,7% |
13,3% |
2022 (prediksi) |
84,2% |
15,8% |
2023 (prediksi) |
81,1% |
18,9% |
2024 (prediksi) |
77,4% |
22,6% |
2025 (prediksi) |
72,8% |
27,2% |
Dianta melanjutkan, setidaknya ada tiga hal yang membuat investor tertarik untuk menanamkan modalnya di startup-startup kecantikan lokal. "Pertama, penetrasi pasar cukup besar yang dimiliki oleh industri kosmetik," ucapnya.
Mengutip Statista, rata-rata pengeluaran per kapita untuk produk kosmetik dan perlengkapan diri masyarakat Indonesia masih sebesar US$20 per tahun. Angka ini lebih kecil ketimbang Thailand dan Malaysia yang masing-masing sebesar US$56 dan US$75 per kapita per tahun.
Namun, pada 2023, angkanya diperkirakan meningkat, seiring dengan pangsa pasar produk kecantikan yang juga terus bertumbuh. Di mana di tahun itu, pangsa pasar produk kecantikan dan perawatan diri diramal akan mencapai US$5,2 miliar.
"Kedua adalah founder (pendiri) dari startup tersebut," imbuhnya.
Dalam hal meraih pendanaan, pendiri startup memiliki peran yang sangat penting. Hal ini terkait dengan visi dan misi yang dimiliki oleh perusahaan. "Kalau tujuan perusahaan ke depannya bagus, maka akan banyak investor yang masuk," jelas Dianta.
Pertimbangan selanjutnya, adalah terkait potensi keuntungan (future value) startup kecantikan tersebut di masa mendatang. Menurut data Euromonitor, potensi keuntungan perusahaan rintisan kecantikan Indonesia secara keseluruhan di tahun ini diperkirakan mencapai US$8,46 miliar atau sekitar Rp120 triliun.
Angka tersebut akan terus mengalami peningkatan, apalagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang akan lebih banyak mencapai usia produktif hingga 2045 nanti.
Pasar ketat namun tersegmentasi
Namun demikian, di balik potensinya yang besar, startup kecantikan masih harus menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah terkait ketatnya persaingan pasar digital produk-produk kecantikan. Dianta bilang, dengan berkembangnya teknologi yang dibarengi dengan pergeseran pola belanja masyarakat ke platform digital, banyak pelaku industri kecantikan memfokuskan pemasaran produk mereka menggunakan sistem online dan teknologi cloud maupun e-commerce.
"Apalagi sekarang produsen kosmetik atau skincare rumahan atau yang kecil-kecil juga beralih ke penjualan digital. Dengan begitu, persaingannya semakin ketat," jelas dia.
Di sisi lain, konsumen produk kecantikan dan perawatan diri juga masih tersegmentasi, yang mana mayoritas pembeli adalah perempuan. Meskipun saat ini, konsumen laki-laki juga mengalami pertumbuhan.
Padahal, jika dilihat dari pola belanjanya, konsumen lebih tertarik untuk membeli produk-produk kecantikan atau perawatan diri yang memiliki harga miring. Sedangkan konsumen pria lebih memperhatikan kualitas produk.
"Konsumen yang tersegmentasi inilah yang membuat investor kurang minat untuk membiayai startup kecantikan," ungkap Bendahara Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Wihardja, kepada Alinea.id, Minggu (27/3).
Belum lagi, startup kecantikan juga masih kalah saing dengan produsen kecantikan dan perawatan diri yang menjajakan produk mereka melalui platform niaga-el dan media sosial. Hal ini terjadi karena produk-produk kecantikan dan perawatan diri cenderung dijual lebih murah di kedua saluran penjualan tersebut.
Karena itulah, Edward kemudian menyarankan agar startup kecantikan lokal dapat lebih memperluas jangkauan konsumen mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan menambah produk mereka dan menambah fungsinya agar dapat digunakan juga oleh laki-laki.
"Selain itu, startup juga perlu memperpanjang customer lifetime value (CLV), terutama bagi konsumen yang sudah jadi pelanggan," katanya.
Tidak ada salahnya juga, kata Edward, jika startup lokal melakukan kolaborasi atau merger baik dengan perusahaan kecantikan lainnya maupun dengan lokapasar. Langkah ini juga dinilai dapat menekan harga produk kecantikan dan perawatan diri.
"Intinya adalah startup kecantikan harus terus melakukan inovasi, dengan tetap berfokus pada produk dan branding perusahaan mereka," tegas Edward.
Sementara itu, Direktur Industri Kimia dan IKM Kimia, Sandang dan Kerajinan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Ratna Utarianingrum percaya, ke depannya baik industri maupun startup kecantikan akan semakin tumbuh.
Namun, agar dapat benar-benar berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional, dia menyarankan agar perusahaan rintisan lebih banyak memproduksi dan menjual produk-produk kecantikan dan perawatan lokal.
"Karena sampai saat ini, startup kecantikan banyak yang menjual kosmetik dan skincare dari dalam negeri. Padahal kosmetik kita juga banyak dan enggak kalah bagus," ujarnya singkat, pada Alinea.id, Jumat (25/3).
Terpisah, Co-Founder dan CMO Social Bella (Sociolla) Chrisanti Indiana menjelaskan, untuk memperluas jangkauan konsumen dan pemasaran, perusahaan menerapkan strategi penjulan omnichannel yang menggunakan pendekatan multi-platform.
Artinya, selain dijual di laman resmi perusahaan, Sociolla juga melakukan penjualan melalui aplikasi hingga masuk ke dalam e-commerce. Di saat yang sama, perusahaan juga melakukan penjualan secara offline untuk menjangkau konsumen tradisional.
Tidak hanya itu, Sociolla pun menghadirkan inisiatif Waste Down Beauty Up, dengan menerapkan pengiriman tanpa bubble wrap. Inisiatif ini kata Chrisanti dilakukan untuk mendorong budaya kecantikan yang sustainable di kalangan konsumen mereka.
"Ini juga sejalan dengan misi jangka panjang kami, yang tidak hanya membantu para konsumen untuk menemukan produk terbaik mereka, tapi juga mengajak mereka untuk belanja sesuai kebutuhan," katanya, kepada Alinea.id, belum lama ini.
Berbeda dengan Sociolla, BASE berusaha untuk memperkuat penjualan mereka dengan meluncurkan lebih banyak produk inovatif yang dibutuhkan oleh konsumen milenial dan juga Gen-Z dalam waktu dekat. Selain itu, peluncuran produk ke segmen konsumen baru juga dilakukan melalui perluasan area geografi.
"Kami juga menerapkan teknologi baru di platform kami untuk membuat pengalaman konsumen lebih mulus (seamless) dan efisien," urai Co-founder dan CEO BASE Yaumi Fauziah Sugiarta, kepada Alinea.id, Senin (21/3).