Tantangan perekonomian global 2023 diprediksi akan lebih terjal daripada tahun ini. Komisi IX DPR pun mempertanyakan strategi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek dalam menghadapi krisis tersebut, khususnya terkait penetapan dana investasi dan kecukupan dana klaim kepesertaan.
"Langkah antisipasi apa yang sudah dilakukan bila situasi global semakin buruk dan berdampak pada perekonomian nasional?" tanya anggota Komisi IX DPR, Elva Hartati, dalam rapat dengar pendapat dengan direksi dan Dewan Pengawas (Dewas) BP Jamsostek, Selasa (15/11).
Pertanyaan ini dilontarkannya mengingat tata kelola investasi BP Jamsostek belum memadai serta tidak optimalnya pengembalian dana investasi dan dana jaminan sosial. Ini sesuai laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dalam kesempatan sama, Direktur Utama BP Jamsostek, Anggoro Eko Cahyo, menerangkan, dampak resesi ekonomi akan menimbulkan dua hal besar. Pertama, kecemasan (scarring effect) yang akan memengaruhi pelaku industri yang cenderung tak membelanjakan dan menginvestasikan uang sehingga lapangan kerja baru takkan bertumbuh.
Sesuai proyeksi yang ada, sambungnya, perkiraan ekonomi global dikoreksi dari 3,2% pada 2022 menjadi 2,9% pada tahun depan.
"Dampaknya apa ke kita? Kalau itu sampai ke Indonesia juga karena tidak ada ekspansi, maka berpotensi kepesertaan kita tidak meningkat signifikan karena PU-nya (penerima upah) stagnan," tuturnya, melansir situs web DPR.
Kedua, lanjut Anggoro, resesi ekonomi bakal memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), yang diproyeksikan naik menjadi 6% pada 2023 dari tahun sebelumnya sebesar 5,8%. Imbasnya, terjadi peningkatan shifting pekerja PU menjadi bukan penerima upah (BPU) serta naiknya klaim program JKP dan JHT.
BP Jamsostek, klaim Anggoro, telah menyiapkan strategi investasi dalam menghadapi resesi 2023. Misalnya, fokus berinvestasi di instrumen-instrumen jangka pendek karena mengoptimalkan era kenaikan suku bunga serta sebagai upaya mengantisipasi potensi peningkatan klaim.