Struktur ekonomi Indonesia dalam 20 tahun reformasi
Perjalanan ekonomi Indonesia setelah 20 tahun reformasi 1997/1998 tak selalu berjalan mulus.
Pada akhir 2008, ekonomi Indonesia terimbas oleh krisis global. Setelah mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 6% sampai dengan triwulan III-2008, perekonomian Indonesia mulai mendapat tekanan berat pada triwulan IV-2008.
Hal itu tercermin pada perlambatan ekonomi secara signifikan terutama karena anjloknya kinerja ekspor. Di sisi eksternal, neraca pembayaran Indonesia mengalami peningkatan defisit dan nilai tukar rupiah mengalami pelemahan signifikan.
Posisi Indonesia secara umum bukanlah yang terburuk di antara negara-negara lain. Perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh sebesar 6,1% pada 2008. Sementara kondisi fundamental dari sektor eksternal, fiskal dan industri perbankan juga cukup kuat untuk menahan terpaan krisis global.
Meski demikian, dalam perjalanan waktu ke depan, dampak krisis terhadap perekonomian Indonesia semakin terasa. Semakin terintegrasinya perekonomian global dan bertambah dalamnya krisis menyebabkan perekonomian di seluruh negara akan mengalami perlambatan pada tahun 2009. Indonesia tak terkecuali.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2009 hanya mencapai 4,5% sebagai dampak perlambatan ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi pada 2014 tercatat sebesar 5,02%, tahun 2015 sebesar 4,88%, 2016 sebesar 5,02% dan tahun 2017 sebesar 5,07%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi selama triwulan I 2018 mencapai 5,06%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan pentingnya penguatan struktur ekonomi dengan mendorong peran investasi maupun ekspor untuk optimalisasi pertumbuhan ekonomi.
"Kita sekarang harus membuat struktur ekonomi jauh lebih kuat, dengan menciptakan industri yang bisa memproduksi bahan baku dan bahan modal," kata Sri Mulyani, dilansir Antara.
Sri Mulyani mengatakan kinerja investasi yang saat ini sedang tumbuh tinggi atau mencapai 7,95% pada triwulan I-2018 harus ditingkatkan agar makin berkontribusi kepada perekonomian. Sedangkan sektor ekspor yang tumbuh 6,17%, atau hanya setengah dari impor yang tumbuh 12,75% pada periode sama, harus mulai diperkuat untuk memperkecil defisit neraca transaksi berjalan.
"Ekspor kita baru separuhnya dari impor, dan ini akan jadi salah satu penghambat, apabila kita ingin tumbuh tinggi maka ekspor kita harus dipacu," katanya.
Untuk itu, pemerintah akan kembali memperkuat kebijakan untuk mendorong kinerja investasi maupun ekspor. Salah satunya dengan perumusan insentif fiskal, agar fundamental ekonomi makin terjaga. "Karena ini adalah cara untuk menyelesaikan dan meng-'adress' isu yang sifatnya struktural," ujar Sri Mulyani.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan perekonomian Indonesia pada triwulan I-2018 tumbuh sebesar 5,06% (yoy), lebih menjanjikan ketimbang periode sama tahun 2017 yang hanya tercatat 5,01%. "Ini sangat menjanjikan karena lebih tinggi dari triwulan I 2017 sebesar 5,01%," katanya.
Ia menambahkan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2018 itu juga lebih baik dari periode sama tahun 2016 yang hanya tumbuh sebesar 4,94% dan 2015 sebesar 4,83%.
Melihat adanya tren kenaikan angka pertumbuhan pada triwulan I 2018, Suhariyanto mengharapkan pertumbuhan ekonomi pada triwulan selanjutnya dapat lebih optimal.
"Kita tentunya berharap pertumbuhan akan lebih tinggi lagi karena masih ada momen yang bisa memicu pertumbuhan seperti Lebaran, Pilkada maupun Asian Games," katanya.
Pertumbuhan PDB tertinggi menurut lapangan usaha pada triwulan I-2018 terjadi pada sektor informasi dan komunikasi 8,69%, transportasi dan pergudangan 8,59%, jasa lainnya 8,42%, jasa perusahaan 8,04% dan konstruksi 7,35%.
"Konstruksi, yang menjadi penyumbang struktur PDB terbesar keempat, tumbuh menggembirakan 7,35% atau jauh lebih tinggi dari triwulan satu 2017 yang hanya tumbuh 5,96%," kata Suhariyanto.
Sedangkan, menurut pengeluaran, pertumbuhan ekonomi triwulan I-2018 didukung oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,95%, konsumsi LNPRT 8,09%, konsumsi pemerintah 2,73%, Pembentukan Modal Tetap Bruto 7,95%, ekspor 6,17% dan impor 12,7%.
"Investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto tumbuh signifikan, karena periode tahun lalu hanya tumbuh 4,77%. Penyebabnya karena mulai banyak pembangunan yang dilakukan. Ini terlihat di komponen bangunan yang tumbuh 6,16% serta mesin dan perlengkapan 23,72%," ujarnya.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo belum puas. Dia meminta momentum pertumbuhan ekonomi nasional kuartal I 2018 sebesar 5,06% terus lebih ditingkatkan lagi. "Saya minta momentum pertumbuhan ekonomi nasional kuartal I 2018 sebesar 5,06% terus kita lebih tingkatkan lagi, menjaga daya beli, meningkatkan investasi dan meningkatkan daya saing ekspor kita," kata Presiden Jokowi.
Presiden meminta khusus untuk ekspor, juga dihilangkan hambatannya, baik perizinan, perbankan, pembiayaan, termasuk pajak dan kepabeanan."Hambatan segera kita hilangkan, bukan hanya di pemerintah pusat saja, tapi juga termasuk pemerintah daerah," kata Kepala Negara.
Presiden juga meminta para pembantunya untuk tidak ragu merancang insentif-insentif yang tepat."Mendesain insentif-insentif yang tepat segera lakukan sekarang, dan kita harapkan manfaatnya segera kelihatan," ujarnya.
Jokowi juga mengingatkan untuk mewaspadai risiko, terutama ketidakpastian ekonomi global, gejolak keuangan global yang dipicu kebijakan normalisasi moneter di AS telah banyak menyebabkan depresiasi mata uang di negara-negara dunia, tidak kecuali di Indonesia.
Presiden juga meminta mewaspadai faktor ekternal yang lain, seperti harga minyak, potensi perang dagang AS-Tiongkok serta kondisi geopolitik internasional. "Kita juga perlu menyiapkan diri mitigasi ketidakpastian global dan melakukan antisipasi pergerakan menuju keseimbangan perekonomian global," tuturnya.
Presiden juga meminta tetap fokus menjaga stabilitas keamanan, sehingga seluruh kerja perbaikan kesejahteraan, penurunan kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja dapat dipercepat dan diperbaiki.
Pelemahan rupiah
Menkeu Sri Mulyani Indrawati menjelaskan kondisi perekonomian global yang saat ini sedang bergejolak, karena sedang menuju tingkat normal yang baru sehingga berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah. Sri Mulyani mengatakan kondisi normal yang baru tersebut adalah situasi ketika Bank Sentral AS (The Fed) telah menyesuaikan suku bunga acuan dan memberikan sinyal untuk menaikkan lagi sebanyak tiga kali pada 2018.
Kondisi itu yang menyebabkan terjadinya perlemahan mata uang di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia, dan gejolak di pasar saham karena pelaku pasar sedang merespons membaiknya perekonomian di AS.
"Level normal yang baru ini adalah pada saat US Federal Reserve menaikkan suku bunga kemudian US Treasury Bills (Obligasi AS) ikut terangkat. Kondisi ini tidak sama dengan dua atau tiga tahun lalu dimana suku bunga mendekati nol persen," ujarnya.
Sri Mulyani mengatakan kemungkinan The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan dalam waktu dekat sangat besar karena data pengangguran maupun pertumbuhan ekonomi AS menunjukkan adanya perbaikan.
Selain itu, ia mengharapkan tidak adanya respons yang berlebihan dari pelaku pasar dalam menghadapi kebijakan Presiden Trump kepada Iran dan potensi terjadinya perang dagang.
Menanggapi situasi perubahan ini, Sri Mulyani mengatakan pemerintah juga menyiapkan diri dengan kondisi normal yang baru agar ketidakpastian yang sedang terjadi bisa dimitigasi. "Kita harus melakukan adjustment dengan apa yang disebut normal yang baru," kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Bank Indonesia menilai peluang penguatan nilai tukar rupiah masih terbuka dalam beberapa waktu ke depan karena indikator fundamental ekonomi domestik yang masih terjaga. Tekanan beberapa hari terakhir, menurut BI, lebih didominasi faktor eksternal karena dinamika ekonomi Amerika Serikat.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan investor juga melihat indikator fundamental domestik seperti inflasi yang terus mendekati sasaran bawah Bank Sentral dalam rentang 2,5% hingga 4,5%, defisit APBN yang terjaga, dan pergerakan defisit transaksi berjalan yang masih dalam rentang sehat di bawah tiga % dari PDB. "Penguatan rupiah tetap terbuka dari sisi kondisi domestik yang terjaga," ujarnya.
Dody juga mengatakan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I 2018 yang sebesar 5,06% (yoy) masih positif dan sejalan dengan sasaran BI untuk laju pertumbuhan 5,1% hingga 5,5% di 2018. Namu jika merujuk pernyataan BI sebelumnya, angka pertumbuhan itu di bawah ekspetasi BI yang melihat pertumbuhan ekonomi kuartal I 2018 bisa mencapai 5,1% (yoy).
Rupiah pada Senin (7/5), untuk pertama kalinya sejak Desember 2015, melemah hingga melewati batas psikologis Rp14.000 per dollar AS. Di pasar spot, rupiah diperdagangkan hingga Rp14.003 per dollar AS.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menilai fundamantal ekonomi tetap harus diperkuat untuk menjaga kepercayaan investor. Pemerintah harus menjaga stabilitas harga BBM, listrik dan pangan untuk tetap mampu mengendalikan inflasi, terutama menjelang tren konsumsi tinggi pada Ramadan.
BI juga, kata Bhima, tidak perlu ragu untuk menaikkan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo sebesar 25-50 basis poin, jika tekanan terhadap rupiah terus deras. "Cadangan devisa akan terus tergerus untuk stabilisasi nilai tukar. BI tidak bisa hanya mengandalkan cadangan devisa sebagai satu-satunya instrumen untuk menstabilkan nilai tukar rupiah," ujarnya.