Penghentian BLT subsidi gaji alias Bantuan Subsidi Upah (BSU) dikhawatirkan memicu kembalinya kontraksi laju perekonomian pada tahun ini.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan pemberian bantuan kepada para pekerja menunjukkan bahwa selain sektor usaha, para pekerja yang menopang sektor-sektor tersebut juga menjadi rentan secara finansial.
Menghilangnya besaran upah yang diterima oleh pekerja akan berdampak pada tingkat konsumsi masyarakat. Padahal, kontribusi konsumsi mencapai lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Bantuan subsidi upah sangat relevan dan diharapkan mampu mendorong konsumsi dan membantu menggerakkan perekonomian. Para penerima bantuan ini termasuk kelompok yang terdampak cukup signifikan oleh pandemi," katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (4/2).
Menurutnya, dengan kondisi sosial dan ekonomi Indonesia yang saat ini masih terdampak oleh pandemi, pemberian bantuan subsidi upah masih sangat rasional mengingat banyaknya sektor usaha yang mengalami perlambatan pertumbuhan akibat adanya pembatasan yang dilakukan pemerintah.
Sebagai informasi, pemerintah baru saja menghentikan bantuan subsidi upah untuk para pekerja atau buruh. Program ini tidak lagi mendapatkan alokasi anggaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021.
Bantuan subsidi upah ini diluncurkan pada 27 Agustus 2020 lalu dan ditujukan kepada 15,7 juta pekerja dengan jumlah sebesar Rp600.000 per bulan untuk jangka waktu empat bulan.
Sasaran utama dari BSU ini adalah para pekerja yang gajinya berada di bawah Rp5 juta. Syarat lainnya ialah, mereka yang berhak mendapatkan subsidi harus terdaftar dalam skema Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan per Juni 2020.