Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebanyak 25 basis poin (bps) menjadi 5,50%. Kenaikan juga diiringi dengan kenaikan suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,25%. BI menaikkan suku bunga dengan alasan sebagai langkah front loaded, preemptive, dan forward looking.
“Ini untuk terus memastikan berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi dan inflasi sehingga inflasi tetap terjaga dalam kisaran 3,01 ±1%,” tutur Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam pengumuman hasil RDG Desember, Kamis (22/12).
Kenaikan suku bunga juga sebagai upaya memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat semakin kuatnya mata uang dolar Amerika Serikat (AS), dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Selain itu juga untuk mengendalikan inflasi barang impor.
Menyinggung arah bauran kebijakan BI pada 2023, dia menjelaskan, akan difokuskan untuk menjaga stabilitas atau prostability. Sedangkan untuk kebijakan makroprudensial, digitalisasi sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta program ekonomi dan keuangan inklusif dan hijau akan terus diarahkan untuk mendorong pertumbuhan atau progrowth.
“Pertumbuhan ekonomi domestik Indonesia tetap baik. Permintaan domestik tetap berdaya tahan dipengaruhi oleh daya beli masyarakat dan keyakinan pelaku ekonomi yang tetap terjaga,” sambung Perry.
Pernyataan tersebut menurut Perry terlihat dari perkembangan berbagai indikator bulan November 2022 yang menunjukkan hasil yang positif, yaitu keyakinan konsumen, penjualan eceran, dan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur.
Dengan kondisi perekonomian nasional saat ini, Perry memperkirakan pertumbuhan ekonomi di 2022 akan tetap bias ke atas dalam kisaran 4,5% hingga 5,3%. Kemudian untuk perkiraan pertumbuhan ekonomi nasional 2023 akan tetap kuat yaitu di kisaran 4,5% hingga 5,3% meski sedikit melambat, sejalan dengan perlambatan ekonomi global.
Jika melihat secara level global, BI memperkirakan ekonomi dunia akan tumbuh sebesar 3,0% di 22022 dan akan menurun di 2023 menjadi 2,6%.
“Untuk tekanan inflasi masih tinggi meskipun mulai melandai. Ini akan dipengaruhi oleh berlanjutnya gangguan rantai pasokan dan ketatnya pasar tenaga kerja terutama di AS dan Eropa,” jelas Perry.
Tingginya inflasi tentu masih akan mendorong kebijakan moneter global tetap ketat. Perry bilang, The Fed diperkirakan menaikkan Fed Fund Rate (FFR) hingga awal 2023 dengan siklus pengetatan kebijakan moneter yang panjang, meskipun dengan besaran yang lebih rendah.
“Perkembangan ini mendorong tetap kuatnya mata uang dolar AS dan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global yang kemudian berdampak pada belum kuatnya aliran modal masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia,” tandas Perry.