Bank Indonesia(BI) melalui hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) memutuskan untuk tetap mempertahankan BI 7-Day Reverse Depo Rate (BI-7DRR) di posisi 3,5% dan level ini sudah bertahan selama 18 bulan terakhir sejak Februari 2021. Level 3,5% juga merupakan suku bunga acuan terendah selama sejarah Indonesia.
“Rapat Dewan Gubernur Juli 2022 memutuskan untuk tetap mempertahankan BI-7DRR pada level 3,5%,” jelas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (21/7).
Tak hanya itu, BI juga mempertahankan suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.
Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan menilai, BI sepertinya tidak khawatir dengan kebijakannya mempertahankan tingkat suku bunga acuan, meskipun, inflasi tahunan secara total hingga Juni 2022 tercatat 4,35% dan inflasi pangan mencapai 9,1%.
Hal itu seiring dengan keterangan resmi BI, keputusan ini diambil karena BI melihat prakiraan inflasi inti masih terjaga yakni 2,65% di tengah risiko dampak perlambatan ekonomi global terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Inflasi inti sendiri adalah komponen inflasi yang pergerakannya persisten, yakni komponen inflasi yang bersifat fluktuatif atau bisa tiba-tiba naik maupun turun seperti pangan dan energi tidak termasuk di dalamnya.
Salah satu upaya yang telah dilakukan BI untuk menekan inflasi inti di antaranya pada pertengahan Juli 2022, BI telah menjual Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder senilai Rp390 miliar. Ini dilakukan untuk mengurangi jumlah uang beredar.
“Untuk inflasi noninti seperti pangan dan energi, sepertinya BI tidak bisa berbuat banyak, karena menyerahkan global untuk mengatasinya,” jelas Anthony melalui keterangan tertulisnya, Jumat (22/7).
Menurut Anthony, BI sangat paham akan dampak dan konsekuensi dari bauran kebijakan ini dan yakin pada kemampuan ekonomi Indonesia untuk menghadapi konsekuensinya.
Menanggapi kebijakan-kebijakan yang telah diambil BI, Anthony berpendapat kurs rupiah akan semakin mengalami tekanan yang cukup serius lantaran perbedaan suku bunga di AS dan Indonesia menjadi sangat kecil.
“Ini bisa memicu arus dolar keluar dari Indonesia (capital outflow). Apalagi kalau suku bunga the Fed naik lagi pada awal minggu depan, karena akan nada rapat Dewan Gubernur the Fed pada 26-27 Juli nanti, maka arus dolar bisa lebih deras lagi mengalir ke luar negeri,” kata Anthony.
“Penjualan SBN Rp293 miliar juga sepertinya hanya basa-basi saja. Jumlah ini sangat tidak signifikan,” lanjutnya.
Menurutnya, penjualan SBN tersebut hanya untuk memengaruhi faktor psikologis pasar saja. Kecuali jika kebijakan ini akan berlanjut terus dan menjadi signifikan, maka akan berdampak pada tertekannya pertumbuhan ekonomi. Penjualan SBN menurut Anthony juga dinilai tidak konsisten, karena sebelumnya BI menyebut inflasi inti masih terjaga sehingga seharusnya tak perlu dibuat kebijakan bertujuan memperketat uang beredar.
“Kalau kebijakan ini hanya untuk pengaruhi faktor psikologis pasar saja, maka kebijakan ini tidak berarti sama sekali dalam melawan inflasi inti,” tandas Anthony.