Mustahil menjadi lumbung pangan, beginilah mungkin gambaran kondisi swasembada pangan bangsa ini. Janji kampanye politik Joko Widodo pada tahun 2014 terbukti jauh dari kenyataan kedaulatan pangan bangsa. Terbukti, era pemerintah Joko Widodo (Jokowi) tidak terbukti mampu mewujudkan swasembada pangan.
Belum lama ini, sektor agribisnis kembali menyedot perhatian masyarakat luas. Setelah polemik impor beras dan daging sapi. Terbaru berasal dari garam yang dikhawatirkan stoknya tidak cukup bagi kebutuhan, namun stok garam yang dimaksud adalah stok garam industri.
Sementara bagi stok garam rumah tangga diyakini masih aman alias cukup. Maka dari itu, Kementerian Perindustrian mengajukan rekomendasi kebutuhan garam industri tahun ini 3,7 juta ton. Kementerian Kelautan dan Perikanan menyangkal bahwa kebutuhannya sebesar itu, Menteri Susi Pudjiastuti pada awal tahun tegas menyebut bahwa rekomendasi dari kementeriannya hanya 2,2 juta ton.
Lalu tidak bisakah kebutuhan tersebut dipenuhi dari dalam negeri? Jawabannya sudah pasti sulit. Persoalan sejak zaman Belanda sampai bangsa ini merdeka selama puluhan tahun persoalannya tetap sama, lahan, teknologi, cuaca dan tenaga kerja.
Pertama soal lahan garam. Saat ini lahan garam rakyat hanya terkonsentrasi di enam provinsi. Yakni, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Apabila dibandingkan dengan kebutuhan nasional, jelas kemampuan produksi tidak seimbang. Kemampuan produksi nasional diperkirakan hanya mencapai 1,1 juta ton per tahun yang berasal dari produksi garam rakyat dan PT Garam.
Persoalan kedua soal teknologi, para penambak garam di Indonesia sangat tradisional, walhasil kualitasnya jangan harap lebih baik. Sering kotor karena bercampur tanah.
Berbeda dengan India dan Australia yang cara menambak garamnya dengan cara ditambang. Plus, menggunakan teknologi evaporasi. Teknologi ini dilakukan dengan cara penguapan dan bukan pengeringan seperti yang dilakukan petani garam Indonesia.
Proses produksi garam memang sangat bergantung pada faktor cuaca. Garam diproduksi dengan cara menguapkan air laut yang dipompa di lahan garam. Kondisi cuaca menjadi salah satu penentu keberhasilan target produksi garam.
Terakhir adalah tenaga kerja petani garam. Usaha garam rakyat mempunyai ukuran lahan berskala kecil biasanya menggunakan tenaga kerja keluarga. Lain halnya dengan usaha petani garam berskala besar.
Persoalan tersebut diperburuk dengan tata niaga garam. Penetapan harga dan pengaturan impor garam menyebabkan turbulensi dan mengacaukan tata niaga garam nasional.
Semakin meningkatnya kebutuhan garam, maka meningkat pula potensi turbulensi yang disebabkan oleh ketidakpastian dan menjadi penyebab terjadinya krisis. Regulasi tata niaga pun amat diperlukan untuk meingkatkan kemampuan produk garam.
Sejarah mencatat persoalan garam sudah muncul sejak jaman VOC. Kala itu garam berkembang sebagai salah satu komoditas ekspor yang didominasi oleh penguasa dan pengusaha. Hal ini ditandai adanya kebijakan politik ekonomi garam yang lebih berorientasi pada kepentingan penguasa dan pemodal dengan mengorbankan kepentingan produsen lokal penduduk pribumi.
Kebijakan tersebut menjadi cikal bakal penurunan status sosial petani garam yang cenderung dianggap hanya menjadi tenaga penggarap dan upahan dalam proses produksi garam. Setelah Indonesia merdeka, produk garam tidak lagi menjadi komoditas strategis sumber pendapatan negara.
Industri gunakan garam petani
Awal pekan ini Presiden Joko Widodo memanggil empat menterinya membicarakan impor garam untuk industri di Istana Kepresidenan. Menko Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, Presiden memanggil Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Kelauatan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk meminta penjelasan lebih lanjut mengenai pelaksanaan impor garam.
"Presiden mengingatkan agar petugas penegak hukum perlu mengawasi dengan baik jangan sampai terjadi kebocoran garam impor ini di pasar," kata Darmin seperti dikutip Antara.
Selain itu, pemerintah juga mendorong untuk industri yang bisa menggunakan garam dari petani, seperti industri makanan dan minuman.