Harga kelapa bulat terus merangkak naik. Di sejumlah pasar tradisional di Jakarta, harga kelapa kini tembus Rp12-Rp15 ribu per butir. Di tataran petani, harga kepala mencapai Rp10 ribu per butir. Padahal, semula harga kelapa bulat hanya kisaran Rp2 ribu hingga Rp3 ribu per butir.
"Sejak bulan Maret kemaren, sebelum lebaran, naik terus harganya. Kata distributor, barangnya lagi jarang. Enggak tau kenapa," ujar Arul, salah satu pedagang kelapa di Pasar Taman Aries, Jakarta Barat, kepada Alinea.id, Minggu (6/4) lalu.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan krisis kelapa bulat terjadi di berbagai daerah di tanah air. Salah satunya karena tingginya permintaan ekspor ke Tiongkok.
"Terus industri di dalam negeri juga banyak minta. Jadi, industri di dalam negeri, karena banyak yang ekspor, juga kadang-kadang kesulitan dapat barang," ujar Budi kepada wartawan di kantor Kemendag, Jakarta, akhir Maret lalu.
Pemerintah berencana memanggil semua pihak terkait untuk mencegah agar kelangkaan kelapa tak terus berlanjut. "Dari sisi industri, dari sisi eksportir, petani kan harus berkumpul bareng. Kan kita lihat juga harganya," ujar Budi.
Saat ini, Tiongkok merupakan salah satu importir utama kelapa bulat di dunia. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor kelapa dari Indonesia ke China mencapai US$958,689.52 atau sekitar Rp 15,76 miliar pada 2023. Pada 2024, nilai ekspor turun ke US$683,499.72.
Di China, kelapa banyak dipakai sebagai bahan baku pembuatan santan pengganti susu. Produsen-produsen di Negeri Tirai Bambu juga memanfaatkan batok dan serabut kelapa untuk bahan baku kerajinan yang punya nilai jual tinggi.
Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan krisis kelapa sudah melandan sejumlah daerah di pantai barat Sumatera sejak tahun lalu. Selain karena tingginya permintaan ekspor, alih fungsi lahan untuk lahan kelapa bulat menjadi perkebunan kelapa sawit yang sangat masif jadi penyebab krisis.
"Sementara alih fungsi lahan begitu masif di sini untuk kelapa sawit. Kelapa bulat dilupakan. Kemudian China itu lebih memilih impor kelapa bulat karena bahan baku lainnya bisa dijadikan produk lainnya ," kata Henry kepada Alinea.id, Jumat (4/4).
Di sejumlah sentra perkebunan kelapa bulat, menurut Henry, warga juga cenderung memanfaatkan pohon kelapa untuk dijadikan gula. Itu membuat kelapa tidak berbuah. "Hal ini tidak hanya terjadi di Sumatera. Tapi juga di Jawa," kata Henry.
Henry berharap pemerintah merespons cepat krisis kelapa bulat yang terjadi selama setahun terakhir. Salah satunya dengan memulihkan dan memperluas lahan perkebunan kelapa bulat dan mencegah alih fungsi lahan untuk jenis komoditas lain, termasuk sawit.
"Selain itu, perlu diperbanyak pabrik olahan kelapa untuk menyerap kelapa dari petani agar tidak ketergantungan dengan Tiongkok," kata Henry.
Di sisi lain, edukasi terhadap masyarakat juga perlu gencar. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa membuka membuka lahan perkebunan kelapa jauh lebih menguntungkan secara jangka panjang ketimbang perkebunan sawit.
"Perkebunan kelapa bisa diselingi komoditas pertanian lain alias tumpang sari, sementara sawit tidak bisa. Jadi, buat saja pabrik olahan kelapa. Apa saja dilakukan supaya kelapa petani terserap dan harga stabil," kata Henry.
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura, Askur Rahman berpendapat perlu ada kebijakan untuk mengatur volume ekspor kepala bulat demi mencegah kelangkaan. Kebijakan serupa pernah dikeluarkan pemerintah untuk mengerem ekspor sawit.
"Hal ini dilakukan sebagai bentuk dukungan kepada industri dalam negeri. Upaya lain dengan melakukan peremajaan terhadap komoditas kelapa sebagai upaya meningkatkan produktivitas kelapa dalam negeri, meskipun cara ini butuh waktu," kata Askur kepada Alinea.id, Kamis (3/4).
Dia berkata perkebunan kelapa yang sudah kurang produktif perlu direvitalisasi. Pohon lama diganti dengan yang baru. "Kedua, menanam (pohon) baru dengan menggunakan bibit yang unggul," kata Askur.