Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto kembali mewaspadai adanya resesi global usai Sillicone Valley Bank (SVB) dan Signature Bank di Amerika Serikat (AS) ambruk.
Kejatuhan dua perbankan yang cukup besar di AS ini, menurutnya sebagai bentuk ketidakmampuan perbankan dalam beradaptasi dari agresivitas suku bunga yang ditetapkan bank sentral AS atau Federal Reserve sepanjang 2022.
“Adanya isu SVB ini dan dipicu terjadinya di sektor keungan, ya saya rasa bisa memicu resesi global kalau enggak segera ditangani,” kata Eko dalam diskusi Indef, Kamis (16/3).
Padahal kata dia, sebelumnya dunia baru saja mendapat angin segar bahwa global akan terbebas dari resesi setelah China membuka kran ekonominya. Namun usai kabar SVB tersiar, Eko menilai dampaknya akan segera merembet ke Eropa, apalagi inflasi di beberapa negara maju masih terpantau tinggi.
“Fluktuasi di global ini tidak mudah. Di negara-negara maju pemulihan ekonominya atau pengendalian inflasinya masih dengan menaikkan suku bunga acuan. Jadi probabilitas resesi tidak terhindarkan kalau menurut saya,” kata dia.
Ia pun menyatakan sebaiknya bank sentral di seluruh dunia tidak berperang melawan inflasi dengan menaikkan suku bunga acuan mereka.
“Inflasi ini oke terjadi di mana-mana, yang awal memicu bank sentral agresif ya adalah The Fed, sehingga negara lain akhirnya mengimbangi agar mereka tidak mengalami inflasi dan mencegah capital outflow dari negara masing-masing terutama Eropa,” ujar Eko.
Eko pun berharap, ke depannya agar kenaikan suku bunga di berbagai negara tidak bergerak agresif. Hal ini juga sudah mulai terlihat dengan melandainya kenaikan-kenaikan suku bunga di berbagai negara.
“Bicara dengan kondisi global yang sangat volatile ini, saya kira bijaksananya ya tidak dengan perang suku bunga,” tutur Eko.
Kendati demikian, Eko masih meyakini ambruknya SVB tidak akan berdampak signifikan terhadap Indonesia. Bahkan dampak secara langsungnya relatif kecil, karena relasi antara SVB secara langsung dengan dunia startup Indonesia dan perbankan di Indonesia sangat kecil.
“Namun demikian, dampak tidak langsung tetap ada. Ini terlihat dari volatilitas IHSG yang meningkat,” ujarnya.
Selain itu, Eko juga berpendapat, seiring tekanan di sektor perbankan AS, maka kemungkinan agresifitas kenaikan suku bunga The Fed akan berkurang. Tentunya ini menjadi kabar baik bagi kurs Rupiah, asalkan inflasi di dalam negeri terkendali dan volatilitas pasar modal hanya temporer.