close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Oky Diaz.
Bisnis
Kamis, 04 Maret 2021 08:55

Tabungan kian jumbo, tanda kelas atas tahan konsumsi

Simpanan masyarakat kelas menengah atas di perbankan melonjak signifikan di masa pandemi.
swipe

Di tengah pandemi, kelas menengah atas masih menahan kegiatan konsumsi. Mereka lebih memilih menyimpan dana di perbankan.

Terbukti, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat dana simpanan masyarakat di perbankan dengan nilai Rp1 miliar hingga Rp2 miliar melonjak hingga 9,3%. Pun begitu dengan simpanan Rp500 juta hingga Rp1 miliar yang tercatat naik 8,6% dan jumlah tabungan dengan nilai Rp100 juta sampai Rp500 juta mengalami kenaikan 8,4%. 

Sementara, untuk tabungan masyarakat di bawah Rp5 miliar justru mengalami kenaikan signifikan, yakni 14,2% jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang pertumbuhannya hanya 5,6%.

Adapun nilai simpanan Rp2 miliar hingga Rp5 miliar tercatat naik 5,7% sampai akhir tahun lalu. Angka itu naik tipis dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebesar 5,6%. 

Hal serupa juga terjadi pada jumlah tabungan masyarakat dengan nominal di bawah Rp100 juta yang naik 8,1%. Secara keseluruhan hingga Desember 2020 simpanan masyarakat di 109 bank umum mengalami kenaikan hingga 10,86%.

Jumlah nominal simpanan mencapai Rp6.737 triliun, naik dibanding tahun 2019 yang hanya mencapai Rp6.077 triliun.

Data lonjakan simpanan duit masyarakat ini juga diperkuat data pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sejumlah bank nasional. Kenaikan DPK tertinggi ditoreh PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN sebesar 23,84% secara tahunan (year on year/yoy). 

Disusul kemudian PT Bank Mandiri (Persero) Tbk yang sebesar 12,24% yoy, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI dengan kenaikan sebesar 10,61% yoy, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI yang mencapai 9,78% yoy.  

Lebih lanjut, Corporat Secretary Group Bank Mandiri Rudi As menjelaskan, sampai dengan akhir Desember 2020, DPK Bank Mandiri telah mencapai Rp1.047,3 triliun. Pertumbuhan itu didorong oleh simpanan nasabah dalam bentuk giro yang mencapai Rp284 triliun atau sebesar 20,13% yoy. 

“Dengan kondisi ini, kami telah menyiapkan langkah-langkah supaya DPK bisa tetap tumbuh sehat,” katanya, kepada Alinea.id, melalui sambungan telepon, Senin (1/3).

Salah satunya, kata dia, dengan memperkuat dana murah (CASA Ratio), melalui peningkatan layanan digital banking. Rudi bilang, saat ini bank dengan kode emiten BMRI ini telah meneken kerjasama dengan beberapa e-commerce. Kolaborasi dilakukan untuk melayani berbagai transaksi pembayaran dan pengelolaan kas operasional perusahaan melalui strategi value chain

Selain itu, lewat layanan Mandiri Cash Management, perseroan saat ini telah mampu mengakomodir berbagai transaksi yang dilakukan nasabah dari instansi BUMN dan institusi pemerintah. 

“Kami berharap bisa menjaga kualitas dan kepercayaan stakeholder kepada Perseroan. Dengan ini juga, kami memproyeksikan pertumbuhan DPK secara bank only bisa ada di kisaran 6%-8%,” imbuhnya.

Sementara itu, Bank BRI yang berhasil menghimpun DPK hingga Rp1.121,1 triliun mencatat, pertumbuhan ini didominasi oleh pertumbuhan dana murah. Tercatat, rasio CASA tumbuh hingga 59,67% dari total DPK atau senilai Rp668,93 triliun. Porsi ini meningkat jika dibandingkan dengan rasio dana murah di tahun sebelumnya yang hanya mencapai 57,7% 

Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto mengungkapkan, naiknya DPK Perseroan tahun ini salah satunya diakibatkan oleh pertumbuhan penggunaan layanan digital saving BRI. “Yang memudahkan masyarakat untuk membuka tabungan secara digital tanpa harus ke kantor,” jelasnya, melalui pesan singkat, kepada Alinea.id, Senin (1/3).

Hal ini lantas berimbas pada turunnya biaya dana (cost of funds/CoF) perseroan, yang hingga akhir Desember 2020 tercatat sebesar 3,22% atau turun sebesar 36 poin dari periode yang sama di tahun sebelumnya. Dus, untuk menyeimbangkan CoF dengan kenaikan DPK, BRI bakal bertumpu pada pertumbuhan dana murah, melalui berbagai inovasi digital dan transaction banking.

“Diantaranya melalui pengembangan platform simpanan berbasis digital dan micropayment system. Dengan ini CoF akan kita jaga di kisaran 2,75%-3% di tahun ini,” lanjutnya.

Menabung di masa krisis

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai menggelembungnya tabungan nasabah tajir ini disebabkan oleh kecenderungan masyarakat kelas atas yang yang lebih banyak menabung di saat krisis. Selain itu, masyarakat kelas atas juga lebih menahan belanjanya dibanding kelas lain.

“Dengan begitu, jumlah tabungan masyarakat di kelompok ini semakin meningkat saat pandemi,” ujarnya, di Jakarta, Senin (1/3).

Hal senada diungkapkan pula oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad. Menurutnya, selama pagebluk Covid-19, masyarakat kaya akan menahan untuk tidak membeli keperluan yang tidak begitu penting, seperti pakaian, kendaraan, dan barang mewah lainnya. Begitu juga dangan konsumsi pariwisata yang juga masih akan cenderung ditahan hingga pandemi mereda.

Pertimbangan lain, masyarakat kelas atas lebih memilih menyimpan uang di bank ialah karena mereka tidak ingin mengambil risiko tinggi. Misalnya dari investasi di berbagai sektor riil. Seperti diketahui, sampai saat ini kinerja berbagai sektor industri masih terpuruk karena dampak wabah Covid-19.

“Karena mau buat ditanam di sektor usaha juga susah. Karena bank sendiri juga relatif sekarang agak ketat dalam memberi pinjaman,” kata dia, kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Minggu (28/2). 

Di sisi lain, Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Lana Soelistianingsih berpendapat, belum stabilnya kondisi kegiatan usaha lantas mengakibatkan kondisi kredit perbankan masih jeblok hingga akhir tahun 2020. Meski tak seragam, saat ini suku bunga kredit perbankan masih dipatok di kisaran 9,75%.

Seiring dengan penurunan kredit bank, simpanan masyakat dalam bentuk giro justru mengalami peningkatan. Tercatat, dari total simpanan sebesar Rp6.737 triliun, 25,59% diantaranya berupa tabungan giro. 

Artinya, jika dibandingkan dengan periode 2019, tabungan giro tercatat mengalami kenaikan sebesar 15,48% menjadi Rp1.724 triliun. Meski begitu, simpanan dalam bentuk giro mulai mengalami penurunan sejak Januari lalu. 

Lana bilang, hal ini lumrah terjadi karena beberapa bulan lagi masyarakat akan menghadapi bulan puasa dan Lebaran. Selain itu, ini juga menunjukkan bahwa kegiatan usaha mulai menggunakan giro untuk menjalankan operasional usahanya. 

“Artinya, masih menggunakan uang sendiri. Bukan kredit yang digunakan oleh bank,” jelasnya, kepada Alinea.id, Rabu (3/3).

Lana yakin, kondisi ini tidak akan terus berlanjut, karena bagaimanapun kegiatan usaha tidak bisa terus menerus menggunakan dana kantong pribadi untuk keperluan operasional.

“Pasti mereka akan meminta kredit pada bank, di saat kredit mulai membaik, di situ mungkin perbankan juga akan mulai memberikan relaksasi terhadap suku bunga kreditnya," kata dia.

Di sisi lain, kondisi likuiditas perbankan juga masih sangat mencukupi untuk menyalurkan kredit pada korporasi. Hal ini tercermin dari masih tingginya simpanan nasabah perbankan hingga Januari lalu. 

Kepada Alinea.id, Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadhewa menjelaskan, tingginya simpanan masyarakat di perbankan masih akan berlanjut pada awal tahun ini. Pasalnya, masyarakat masih menahan belanja, sebagai imbas diberlakukannya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

“Wajar DPK belum terlalu banyak dipakai untuk membelanjakan kebutuhan sehari-hari seperti biasanya,” ujar dia beberapa waktu lalu.

Pertumbuhan simpanan nasabah 2016-2020. (Sumber: LPS)
Tahun Nominal Pertumbuhan (year on year) Jumlah rekening Pertumbuhan (year on year)
2020 Rp6.737 triliun 10,9% 199.301.222 13,2%
2019 Rp6.077 triliun 6,5% 242.396.164 21,6%
2018 Rp5.704 triliun 6,4% 275.764.037 13,8%
2017 Rp5.363 triliun 9,5% 227.069.520 21,6%
2016 Rp4.900 triliun 9,5% 199.301.222 13,2%

Masih berlanjut

Pada kesempatan terpisah, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menguraikan, simpanan nasabah di atas Rp5 miliar biasanya merupakan tabungan milik korporasi dan bukan perorangan. Sedangkan simpanan dengan nominal di bawah itu, yakni Rp2 triliun sampai Rp5 miliar kebanyakan memang milik kaum parlente di Tanah Air. 

Tingginya simpanan nasabah di perbankan ini, lanjut Piter, diperkirakan masih akan terus berlanjut hingga pandemi Covid-19 di Indonesia mereda. Hal ini sejalan dengan masih enggannya masyarakat, baik individu maupun korporasi untuk berbelanja. Setidaknya hingga kuartal pertama tahun ini, setelah vaksin Covid-19 disuntikkan kepada sebagian besar masyarakat Indonesia.

Bagaimanapun juga program vaksinasi yang saat ini tengah dijalankan pemerintah akan sangat mempengaruhi optimisme masyarakat dan dunia usaha dalam menghadapi pemulihan ekonomi nasional. 

“Makanya, pemerintah harus bersungguh-sungguh dalam menjalankan program vaksin ini. Karena bagaimanapun, pemulihan ekonomi sangat dipengaruhi oleh keberhasilan vaksin,” katanya, kepada Alinea.id, via telepon, Selasa (2/3).

Selain itu, untuk mendorong belanja masyarakat kelas atas, Piter menyarankan agar pemerintah memberikan insentif khusus pada masyarakat golongan ini. Pemerintah juga bisa memperluas insentif yang sudah ada, seperti PPN Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor dan PPN untuk perumahan. Sehingga, insentif tersebut dapat dinikmati juga oleh masyarakat kelas atas. 

Menurut ekonom senior itu, insentif PPnBM kendaraan bermotor dan PPN perumahan saat ini masih ditujukan kepada golongan masyarakat kelas menengah bawah. “Harusnya ini juga diberikan untuk pembelian mobil seperti BMW dan Mercedez,” tutur Piter.

Sementara itu, PPnBM kendaraan bermotor diberikan untuk kategori kendaraan tipe sedan, dengan kapasitas mesin maksimal 1.5000 cc dan tipe 4x2 dengan kapasitas mesin maksimal 1.500 cc. Besaran penurunan PPnBM untuk tiga bulan pertama sebesar 100 % dari tarif. Lalu pada tiga bulan kedua penurunan PPnBM sebesar 50 % dari tarif, dan empat bulan ketiga diberikan penurunan PPnBm sebesar 25 % dari tarif.

Adapun insentif sektor properti berbentuk insentif PPN atas penyerahan rumah tapak dan rumah susun dengan harga jual maksimal Rp5 miliar. Dengan insentif ini, pemerintah akan menanggung 50% pajak pertambahan nilainya selama enam bulan masa pajak, yakni Maret-Agustus 2021. Selanjutnya, pemerintah akan menanggung 100% PPN untuk rumah tapak dan rumah susun dengan harga jual paling tinggi Rp 2 miliar.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan