Ombudsman RI (ORI) akan memanggil Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo, pada Kamis (22/9). Pemanggilan ini berkaitan dengan tertahannya produk impor hortikultura di Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Belawan sejak 4 September 2022 oleh Badan Karantina Pertanian (Barantan).
Penahanan ini dilakukan sebab para importir belum mengantongi dokumen rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH). Padahal, telah mengantongi surat persetujuan impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan (Kemendag).
"Dalam rangka penyelesaian laporan masyarakat dan guna mendukung kemudahan serta kelancaran iklim usaha pada masyarakat, besok, Ombudsman melakukan pemanggilan terhadap Menteri Pertanian untuk hadir secara langsung tanpa diwakilkan guna memberikan solusi atas permasalahan dimaksud," kata anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, dalam keterangannya, Rabu (21/9).
Pemanggilan tersebut dilakukan menyusul adanya aduan dari para importir pada 9 September. Pelapor merupakan importir produk hortikultura, seperti jeruk mandarin, lemon, anggur, cabai kering, dan lengkeng.
"Ombudsman merespons laporan masyarakat secara cepat untuk menekan potensi kerugian yang dialami oleh masyarakat. Harapannya dapat ditemukan solusi atau jalan keluar yang tidak merugikan masyarakat dan adanya harmonisasi kebijakan pada kementerian terkait," tuturnya.
Yeka menerangkan, Ombudsman telah melakukan serangkaian pemeriksaan pada Senin (19/9). Pemeriksaan dilakukan terhadap Barantan, Ditjen Hortikultura Kementan, Ditjen Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kemendag, Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian, hingga sidak ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Akibat penahanan tersebut, kerugian importir per 20 September 2022 diperkirakan mencapai Rp10 miliar dan total nilai barang, yang tersimpang di dalam 400 peti kemas (kontainer), mencapai Rp100 miliar. Kerugian muncul lantaran importir harus mengeluarkan uang untuk membayar penumpukan listrik dan biaya demurrage (batas waktu pemakaian peti kemas di dalam pelabuhan) agar barangnya tetap aman.
Di sisi lain, lanjut Yeka, Kemendag dan Kemenko Bidang Perekonomian menyarankan penyelesaian masalah ini dengan pemberian kebijakan maupun diskresi atau relaksasi berupa penundaan pemberlakukan Peraturan Mentan (Permentan) Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pengawasan RIPH terhadap Persetujuan Impor (PI) yang terbit sebelum Permentan tersebut terbit.
Sementara itu, berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, terjadi tumpang tindih regulasi persyaratan impor produk hortikultura. Yakni, antara Permentan 39/2019 jo Permentan 2/2020 jo Permentan 5/2022 dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 20/2021 jo Permendag 25/2022.
"Tumpang tindih regulasi ini menyebabkan tidak jelasnya prosedur pelayanan publik dalam importasi produk hortikultura dan pada akhirnya merugikan masyarakat, khususnya para pelaku usaha atau importir yang mengakses layanan. Hal ini tidak sesuai dengan standar pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik," paparnya.
Lebih lanjut, Ombudsman berpendapat, kegiatan impor yang dilakukan pelapor sah secara hukum karena memiliki SPI dari Kemendag. Sementara itu, Permentan 05/2022 sebagai dasar hukum penahanan barang impor baru diterbit pada 18 Mei 2022.
Menurut Yeka, kebijakan tersebut seharusnya tak berlaku surut terhadap SPI yang dimiliki pelapor/importir yang terbit sejak Januari-April 2022.