Tak tepat sasaran, Kartu Prakerja buang-buang anggaran?
“Kartu Prakerja terbukti membantu peningkatan skill, peningkatan inklusi keuangan, sekaligus membantu daya beli masyarakat dengan skema bansos,” begitu klaim Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, saat membuka Keterangan Pers usai Rapat Komite Cipta Kerja, secara daring, Kamis (5/1).
Memang, tidak dimungkiri, kehadiran Kartu Prakerja yang menggunakan skema semi bansos (bantuan sosial) cukup membantu masyarakat selama pandemi. Namun, alih-alih sesuai dengan rencana awal untuk upgrade skill masyarakat, program ini tidak jauh beda dengan fungsi bantuan sosial lainnya.
Hal ini tercermin dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terkait Kartu Prakerja (Survei Angkatan Kerja Nasional/Sakernas Agustus 2020) yang menunjukkan bahwa kebanyakan penerima program yakni 81,24% menggunakan insentif Kartu Prakerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sementara 23,47% penerima menggunakan ‘uang saku’ itu untuk modal usaha, kemudian 11,23% penerima menggunakannya untuk membayar utang, 33,31% menabung uang yang didapat, dan 4,76% penerima lainnya menggunakan insentif untuk keperluan lain.
Padahal, fungsi utama Kartu Prakerja bertujuan untuk mengembangkan kompetensi angkatan kerja, meningkatkan produktivitas dan daya saing angkatan kerja, serta mengembangkan kewirausahaan. Dus, peran program ini bisa dikatakan tidak signifikan. Apalagi, kebanyakan penerima program adalah masyarakat yang masih bekerja.
Dalam laporan yang sama, BPS mencatat penerima Program Kartu Prakerja 66,47% diantaranya adalah pekerja. Sedangkan 22,24% lainnya adalah pengangguran dan 11,29% sisanya berasal dari kalangan bukan angkatan kerja.
“Perannya tidak signifikan. Bagi yang sudah punya pekerjaan, gunanya bukan untuk dapat pekerjaan lagi, tapi mungkin untuk menambah materi dan uang saku,” jelas Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita, kepada Alinea.id, Kamis (19/1).
Penelitian lain berjudul ‘Kartu Prakerja di Tengah Pandemi Covid-19: Asesmen Cepat dari Sudut Pandang Peserta Program’, yang dilakukan tim peneliti dari The SMERU Research Institute pun mengungkapkan ada peserta program yang tidak tepat untuk mengikuti pelatihan. Namun, peserta tersebut sangat membutuhkan bansos untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, karena sangat terdampak oleh Pandemi Covid-19.
“Dalam situasi normal, kelompok ini mungkin tidak tergolong miskin sehingga tidak memenuhi kriteria sebagai penerima bansos reguler, seperti PKH (Program Keluarga Harapan). Namun, tingkat kerentanan yang tinggi membuat mereka sangat mudah jatuh miskin,” demikian bunyi laporan tersebut.
Bahkan, dalam Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) Kepatuhan atas Program Perlinsos di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tahun anggaran 2021, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun menemukan bahwa Bantuan Program kartu Prakerja tidak tepat sasaran.
Dari sisi ketenagakerjaan nasional, Ronny menilai Kartu Prakerja justru hanya berperan sebagai supporting system saja. Hal ini tak lain karena materi diberikan seluruhnya secara daring, tanpa ada jaminan bahwa peserta bakal mendapat skill baru atau peningkatan kemampuan setelah menonton video tersebut.
“Video-video tersebut bisa saja ter-record, sudah ditonton, tapi tak ada jaminan pesertanya memang menonton dan menguasai materi. Berbeda dengan ikut pelatihan kerja di BLK (Balai Latihan Kerja) atau LPK (Lembaga Pelatihan Kerja),” kata dia.
Policy Brief Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) bertajuk Kartu Prakerja dan Penciptaan Lapangan Kerja di Tengah Pandemi Covid-19 yang diterbitkan September 2020 lalu pun beranggapan kalau program pelatihan yang disajikan Kartu Prakerja agaknya mirip program lawas BLK. Namun dengan kualitas lebih inferior. Selain diberikan dalam bentuk daring tanpa tatap muka, pelatihan juga berdurasi singkat, terlebih tidak ada program magang atau pendampingan usaha seusai pelatihan.
Pada penelitian lembaga survei ini, 19% dari 204 responden karyawan yang mengikuti Program Prakerja dan masih bekerja menilai bahwa Kartu Prakerja sangat berbeda dengan program pelatihan yang pernah mereka dapatkan sebelumnya, baik di BLK maupun LPK. Di mana umumnya memiliki 3 tingkatan kualifikasi, yaitu training saat mencari kerja, magang sebagai sarana mengenal dunia kerja dan sertifikasi saat setelah bekerja untuk meningkatkan kompetensi profesional.
Sedangkan 33% dari 204 responden yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) saat pagebluk, baik yang menerima Program Kartu Prakerja maupun tidak, mengaku tidak siap beralih untuk menjadi wirausahawan. Sementara itu, dari 142 responden wirausahawan, 26% diantaranya pernah mengikuti pelatihan di bidang kewirausahaan, sebagian besar mengikutinya secara gratis. Menariknya, 78% responden wirausahawan tidak mengikuti program kartu prakerja.
Sebagaimana responden karyawan, responden wirausahawan juga menyatakan bahwa program kartu Prakerja sangat berbeda dari pelatihan yang pernah mereka ikuti. Di mana umumnya mengikuti pelatihan dalam 3 tahapan, yaitu training, magang, dan kemudian pendampingan usaha (coaching) oleh mentor ahli.
Sementara itu, mengacu dari data Sakernas Agustus 2020, terungkap bahwa hanya 66% peserta saja yang mengikuti pelatihan hingga selesai. “Dengan desain pelatihan seperti ini, sulit untuk mengukur, kalaupun mereka mendapatkan pekerjaan, apakah memang dari pelatihan setelah ikut Prakerja atau dari kemampuannya sendiri, atau apakah juga karena lapangan pekerjaan yang dimasukinya sedang banyak dan butuh banyak pekerja,” jelas Ronny.
Hal ini diamini pula oleh Peneliti Senior IDEAS Yusuf Wibisono. Mengacu pada penelitian yang pernah dilakukannya pada 2020 lalu dan pengamatan selama berjalannya program hingga 2022, masih saja tidak ada perubahan pada Kartu Prakerja. Baik dari sisi penerima, apalagi keterserapan lapangan kerja. Bahkan, Kartu Prakerja juga dirasa kurang menyentuh rakyat miskin. Padahal, sejak dirilis pada April 2020 hingga program terakhir di November 2022, Kartu Prakerja dimaksudkan pula sebagai bansos.
“Dari data kami (Survey IDEAS) tentang ketahanan keluarga miskin pada Januari-Februari 2021 di 5 kota aglomerasi, Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan Makassar, dari 615 responden kepala keluarga miskin, kami menemukan hanya 2,1% responden yang pernah mengikuti program ini,” beber dia, kepada Alinea.id, Sabtu (21/1).
Meski sudah menggunakan skema anyar, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia ini masih saja khawatir, karena desain besar program ini hampir tidak berubah.
“Hanya pelatihan singkat, dengan tema-tema spesifik yang populer. Ini tidak akan membentuk kompetensi yang dibutuhkan angkatan kerja,” nilainya.
Untuk diketahui, pada tahun 2020-2022, bidang keterampilan yang ditawarkan dalam Kartu Prakerja diantaranya seperti, pelatihan bahasa Inggris, administrasi dan sekretaris, teknik menjual apapun, sukses bisnis online shop, desain grafis, menjadi content creator di Youtube, menjadi barista dan membuka warung kopi, hingga teknik melamar pekerjaan dan teknik wawancara kerja.
“Semakin terlihat ketidaksesuaian antara tujuan dan desain program,” kata Yusuf.
Perkuat BLK dan LPK
Alih-alih ‘membuang’ uang anggaran untuk program yang tidak memiliki efek besar bagi ketenagakerjaan nasional, Yusuf dan Ronny sepakat, ada baiknya jika pemerintah mengalokasikan anggaran Kartu Prakerja untuk pengembangan BLK dan LPK. Pasalnya, dua lembaga pelatihan ini telah memiliki desain pelatihan berbasis kompetensi yang kuat. Bahkan beberapa BLK kini telah berspesialisasi pada jenis keterampilan kerja yang spesifik.
Dari hitungan Yusuf, dengan anggaran Kartu Prakerja yang demikian besar, seharusnya yang dilakukan adalah pelatihan vokasi berbasis BLK atau LPK.
Anggaran Kartu Prakerja dan realisasi 2020-2023 (Rp triliun)
Program pelatihan vokasi akan ditopang setidaknya oleh 300 BLK pemerintah dan 1.000 BLK komunitas. Tidak hanya itu, pemerintah juga berpotensi untuk bersinergi dengan sekitar 5.000 LPK swasta, 100 Lembaga Pelatihan Kementerian/Lembaga Negara, dan sekitar 1.750 training center industri.
“Alternatif lain yang juga sangat menjanjikan adalah mengembangkan dan menguatkan SMK,” imbuh dia.
Ronny P. Sasmita juga menilai, akan lebih tepat bagi pemerintah fokus mengembangkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan formal, mulai dari Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), serta Diploma I, II, III, atau Strata I (S1). Sebab, sampai saat ini pendidikan formal lah yang menjadi penentu pekerjaan.
Dalam hal ini, selama ini para pemberi kerja selalu mempertimbangkan kemampuan calon pekerjaannya dengan melihat pendidikan formal apa yang sudah ditempuhnya. “Sementara sertifikat dari program kartu prakerja hanya akan dipandang sebagai pelengkap semata. Karena tidak formal dan tidak ada perusahaan yang hanya melihat sertifikat Pra Kerja sebagai syarat utama penerimaan kerja. Berbeda kalau itu sertifikat dari BLK atau LPK,” tutur Ronny.
Meski banyak dikritik sejumlah kalangan, niat pemerintah mencetak SDM unggul dengan Kartu Prakerja nyatanya masih besar. Terbukti dengan berlanjutnya program ini memasuki tahun keempat pada 2023. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 113 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja. Aturan ini selanjutnya diturunkan dalam Peraturan Menko Perekonomian No 17 tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja melalui Program Kartu Prakerja.
Berbeda dengan sebelumnya yang menggunakan skema semi bansos, kali ini Kartu Prakerja yang akan diluncurkan pada kuartal-I 2023 menggunakan skema Normal. Hal ini seiring dengan dicabutnya kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Dus, pelaksanaan pelatihan pun juga berubah, menjadi daring, luring dan campuran (hybrid). Uji coba pelaksanaan pelatihan tatap muka bakal dilakukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
“Beberapa hal baru yang dilakukan dalam skema normal yaitu skema bansos atau online minimal 6 jam menjadi 15 jam. Kemudian bauran bantuan atau biaya adalah per orang Rp4,2 juta dan biayanya pelatihan lebih tinggi, yaitu Rp3,5 juta,” jelas Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Adapun biaya lainnya, seperti insentif pascapelatihan atau uang pengganti transport sebesar Rp600.000 akan dibayarkan satu kali. Kemudian ada pula insentif survei senilai Rp100.000, untuk dua kali pengisian survei.
Rencananya, program ini akan diluncurkan dalam dua tahap, pertama dibuka untuk 595 ribu orang dan selanjutnya 405 ribu orang. Sehingga, total target penerima program menjadi 1 juta orang.
“Total anggaran di tahap awal adalah Rp2,67 triliun. Skema berubah drastis, anggaran turun. Target untuk 595 ribu (penerima) dan di tahun ini diputuskan jumlah peserta 1 juta orang. Sehingga kita membutuhkan tambahan anggaran Rp1,7 triliun,” imbuh Ketua Umum Partai Golkar itu.
Dengan berakhirnya skema Kartu Prakerja yang semi bansos, pemerintah lantas mempersilakan seluruh masyarakat termasuk penerima bantuan seperti subsidi upah, Bantuan bagi Pelaku Usaha Mikro (BPUM) dan Program Keluarga Harapan (PKH) untuk ikut serta.
“Karena ini untuk retraining dan reskilling, bukan bansos lagi,” tegas Airlangga.
Adapun jenis pelatihan dibuka di berbagai bidang, meliputi: digital marketing; data specialist; manager logistic; surveyor; manajer produksi operasi; dan ahli teknik industri produksi. Kemudian ada juga inspektur keselamatan, kesehatan dan kualitas; ahli kesehatan, kebersihan dan lingkungan kerja; desain grafis; layout animator; teknisi jaringan; keahlian komputer; power plant operator; skill farmer; kurir pengantar; hospitality; serta shopkeeper.