Direktur Utama Java Agro Spices Singgih Arie Pratomo, mengungkapkan, beberapa tantangan yang dihadapi oleh perusahaannya dalam rangka menjaga momentum ekspor vanili saat ini.
“Yang pertama adalah keberlanjutan proses bisnis. Harus ada keterikatan satu sama lain antara petani, pengepul, pihak yang memproses, hingga ke eskportir. Itu merupakan satu rangkaian yang harus tetap utuh, dan tidak boleh ada satu pihak yang dirugikan,” ucap Singgih dalam webinar yang diselenggarakan Alinea.id, Sabtu (8/10).
Tantangan lain yang harus dihadapi Singgih adalah terkait masalah harga, terlebih di sektor pertaniannya. Singgih mengungkapkan, harga komoditas vanili mengalami fluktuasi yang sangat drastis selama 20 tahun terakhir.
“Pernah mencapai Rp6 juta, bahkan ada saatnya cuma Rp50.000 per kg vanili kering. Kemudian naik lagi beberapa tahun lalu sampai Rp5 juta di tingkat petani. Sebenarnya fluktuasi tersebut bisa menjadi tantangan, tetapi bisa juga menjadi peluang,” katanya.
Selain itu, dia juga mengakui bahwa ada beberapa kualitas vanili yang tidak memenuhi persyaratan. Hal tersebut disebabkan oleh panen vanili muda yang belum mencapai sembilan bulan, sehingga hanya bisa diproses menjadi barang berkualitas rendah.
“Ini menjadi problem kita yang paling umum. Namun, sampai sekarang ini masih menjadi tantangan yang belum ada solusi konkretnya, khususnya untuk petani tradisional yang membudidayakan vanili di lahan yang luas, dan masih memiliki risiko pencurian sangat tinggi,” jelas Singgih.
Kemunculan pedagang-pedagang baru (pedagang spekulan) rupanya pernah menjadi tantangan tersendiri bagi Singgih untuk mengolah ‘emas hijau’ tersebut. Namun, para pedagang spekulan ini semakin berkurang seiring dengan menurunnya harga vanili selama tiga tahun terakhir.
Di samping itu, Singgih juga harus memerhatikan persyaratan food safety yang menjadi isu dalam kegiatan ekspor. Dalam pemaparannya, dia menyebutkan bahwa mayoritas konsumennya berasal dari perusahaan besar dengan standar keamanan pangan yang cukup tinggi.
“Kita sebagai pelaku eksportir harus menyesuaikan standar keamanan tersebut, seperti menerapkan hazard analysis and critical control points (HACCP). Artinya kesadaran akan standar pangan harus dibangun terlebih dahulu dari eksportir,” ujarnya.