Tantangan elektronika 4.0: Gempuran barang impor dan minimnya tenaga terampil
Pada 2018, pemerintah mengidentifikasi elektronik sebagai salah satu sektor industri utama untuk dikembangkan, guna menjawab tantangan perkembangan industri ke depan. Atas dasar itu pula, pemerintah lantas memasukkan elektronik ke dalam Program Making Indonesia 4.0, bersama enam sektor industri prioritas lainnya, seperti industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian jadi, otomotif, alat kesehatan, farmasi, serta kimia.
Ini terjadi bukan tanpa sebab. Sama seperti enam sektor industri lainnya, elektronik menjadi prioritas lantaran dianggap telah memberikan sumbangan besar terhadap pertumbuhan industri nasional. Terutama dari golongan manufaktur dan non-migas.
Hal tersebut terlihat dari kontribusi elektronik yang masuk ke dalam golongan industri barang logam, komputer, optik, dan peralatan listrik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) industri non-migas. Di mana, sektor ini selalu masuk ke dalam lima industri dengan sumbangan terbesar.
Pada 2020 misalnya, industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik menjadi penyumbang terbesar ketiga PDB industri non-migas setelah industri makanan dan minuman serta industri kimia, farmasi dan obat tradisional, dengan nilai kontribusi sebesar 9,1%. Kondisi ini masih berlanjut pada kuartal-III 2021 lalu, dengan nilai kontribusi industri ini mencapai 8,11%.
Meski memiliki peran besar di dalam pertumbuhan sektor non-migas, pada kenyataannya kinerja industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik telah mengalami kemerosotan sejak beberapa tahun terakhir.
Kontribusi sektor ini terhadap PDB industri non-migas misalnya pada 2020-2021 ada di kisaran 8%. Kemudian, pada 2010 tercatat mencapai 10,2% dan meningkat sebesar 11% di tahun 2013. Dari sisi pertumbuhan, industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik pernah mengalami pertumbuhan sangat tinggi, mencapai 11,64% secara tahunan (year on year/yoy) pada 2012.
Namun, pada 2013 pertumbuhan industri ini mulai melambat, di angka 9,22% dan anjlok menjadi 2,94% di tahun 2014. Lalu pada 2015, kembali melonjak di level 7,83%.
Sayangnya, sejak saat itu, kinerja industri industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik terus melambat. Bahkan, mulai 2018 hingga saat ini pertumbuhan industri ini tak jarang berada di zona negatif.
Dengan penurunan paling dalam terjadi pada kuartal-II 2020, yakni mencapai -9,29%. Pada 2021, industri ini terlihat mulai mengalami perbaikan, meski masih tetap mengalami kontraksi.
Makin redup saat pandemi
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid menilai, lesunya industri industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik pada masa pandemi, terutama terjadi karena masih rendahnya permintaan domestik terhadap produk industri ini.
Apalagi, selama pagebluk masyarakat lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan pokok dan kesehatan mereka terlebih dulu, ketimbang untuk membeli barang-barang dari golongan tersier. Sebut saja, peralatan elektronik, komputer, atau yang sejenisnya.
“Selain itu, industri ini juga harus menghadapi tantangan lain, seperti mahalnya bahan baku, kenaikan biaya energi, atau bahkan barang-barang elektronik impor yang masih sangat banyak jumlahnya,” katanya, kepada Alinea.id, Selasa (8/2).
Seperti yang telah diketahui, saat ini kian banyak produk-produk elektronik dari negara lain, seperti ASEAN dan Cina ke Indonesia. Selain itu, industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik juga masih sangat bergantung dengan impor bahan baku.
Diperkirakan sekitar 60% - 70% bahan baku industri elektronik masih didatangkan dari luar negeri. Bahkan, pada kuartal-I 2021, impor industri ini tercatat mengalami kenaikan hingga 25,32% dari 2020, yang saat itu hanya senilai US$23,57 miliar.
Jika melihat peta jalan Program Making Indonesia 4.0 di sektor elektronik, kondisi ini jelas tidak sesuai dengan target pemerintah yang menargetkan penurunan impor bahan baku hingga 20% pada tahun lalu.
Tingginya impor bahan baku ini, menurut Marketing Specialist TADA Nuraini, terjadi karena masih sedikitnya pemasok bahan baku industri elektronik yang berasal dari dalam negeri. Utamanya dari kalangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Pada 2018 misalnya, dari sekitar 510 UKM yang ada di tanah air, hanya 80 unit saja yang berhasil terintegrasi dan memasok bahan baku untuk industri elektronik besar.
“Selain itu, mayoritas perusahaan domestik yang memasok perusahaan elektronik asing menghasilkan input bernilai rendah seperti kotak bergelombang, plastik, dan kemasan. Karena itu, makanya lebih banyak impornya,” beber dia, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (10/2).
Hal ini tak lain terjadi karena masih rendahnya sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Dengan rata-rata hanya 1,4% yang menyelesaikan pendidikan tinggi, Indonesia masih didominasi oleh penduduk tidak terampil.
Berdasarkan data BPS per Agustus 2021, penduduk usia kerja di Indonesia sebanyak 206,71 juta orang. Angka ini terdiri atas 140,15 juta orang merupakan angkatan kerja dan 66,56 juta orang merupakan bukan angkatan kerja.
Angkatan kerja tersebut terdiri dari penduduk yang bekerja sebanyak 131,05 juta orang dan pengangguran terbuka sebanyak 9,1 juta orang dengan Tingkat Pengangguran Terbuka sebesar 6,49%. Menurut data tersebut, penduduk yang bekerja dari sisi pendidikan mayoritas masih lulusan SMP ke bawah. Hal ini menggambarkan bahwa pekerja di Indonesia masih didominasi pekerja yang kurang terampil (low-skill).
“Permasalahan ini menyebabkan industri elektronika dan komponen elektronika nasional hanya bersifat sebagai perakit saja,” imbuh Nuraini.
Jika kondisi ini tidak segera dibenahi, dalam jangka panjang dikhawatirkan Indonesia akan menuju fase deindustrialisasi, khususnya sektor industri elektronika. Padahal, dengan mengandalkan jumlah penduduk yang mencapai 273,87 juta jiwa hingga 31 Desember 2021, Indonesia setidaknya bisa menjadi raja di negeri sendiri.
Sayangnya, dari subsektor industri elektronik, hanya segmen elektronik rumah tangga saja yang mengalami perkembangan cukup signifikan. Pada 2020, pendapatan industri ini tercatat senilai US$5.553 juta, atau meningkat 39,4% dari tahun sebelumnya. Sementara secara spesifik, pertumbuhan elektronik dari golongan peralatan rumah tangga tercatat senilai US$866 juta, pada periode yang sama.
“Ini karena alat elektronik rumah tangga bukan lagi dianggap sebagai kebutuhan tersier, melainkan sudah bertransisi menjadi barang sekunder dan terjangkau,” jelas dia.
Selain penjualan domestik, industri elektronik rumah tangga juga mengalami peningkatan ekspor, pada periode Januari-September 2021, yang tercatat mencapai US$1,8 miliar, atau naik 98% dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya.
Sementara itu, di saat impor produk dan bahan baku produk elektronik terus mengalami peningkatan, ekspor industri ini pun juga perlahan-lahan mulai menggeliat. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Elektronika (Gabel), di sepanjang 2021, ekspor industri elektronik tercatat mencapai US$11,77 miliar atau setara Rp168,74 triliun.
Angka ini naik tipis, dibandingkan nilai ekspor di tahun sebelumnya yang sebesar US$11,66 miliar. Kenaikan ekspor tersebut, disumbang oleh penjualan komputer, barang elektronik dan optik di luar negeri.
Tantangan di tengah Omicron
Sekretaris Jenderal Gabel Daniel Suhardiman khawatir, kinerja positif ini tidak bisa berlanjut di tahun 2022, lantaran terhambat oleh naiknya harga bahan baku hingga tarif logistik. Kenaikan tarif ini disebabkan kelangkaan kapal dan kontainer.
Padahal, untuk berproduksi, industri harus melakukan impor bahan baku. Dus, secara otomatis ongkos produksi juga akan ikut mengalami kenaikan.
“Belum lagi, ada kelangkaan chip semi konduktor yang sampai saat ini masih terjadi,” ungkapnya, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (11/2).
Dengan berbagai kondisi tersebut, Daniel dibuat kian khawatir, jika pemerintah tetep kekeuh untuk menerapkan kembali Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM ke level 4. Karena jika kebijakan tersebut tetap dilaksanakan, mau tak mau para pengusaha harus mengoreksi kapasitas produksi elektronik nasional.
Oleh karena itu, pihaknya berharap, pemerintah khususnya Kementerian Perdagangan dapat melakukan kontrol ketat terhadap barang jadi impor. Di saat yang sama, pemerintah juga diharapkan untuk bisa mengendalikan kasus positif Covid-19, varian Omicron yang saat ini tengah meledak.
“Dengan itu, kami baru optimistis bisa mengungguli negara-negara lain dan meningkatkan ekspor elektronik,” imbuh Daniel.
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier mengatakan pihaknya berkomitemen untuk dapat menekan impor industri elektronik, baik bahan baku maupun produk-produk jadi.
Untuk mencapai tujuan itu, saat ini Kementerian Perindustrian tengah berusaha mengakselerasi program substitusi impor 35% hingga akhir tahun ini. Dengan komoditas impor unggulan meliputi industri mesin, kimia, logam, elektronika, makanan, peralatan listrik, tekstil, kendaraan bermotor, barang logam, serta karet dan barang dari karet.
Di saat yang sama, kemenperin juga tengah melakukan perbaikan pengelolaan dan iklim usaha industri elektronik. Hal ini dilakukan agar produksi komponen elektronik dalam negeri dapat berkembang.
Pun dengan perluasan industri dan investasi di sektor ini. Selain juga memacu daya saing industri elektronik tanah air dengan mendorong pemenuhan persyaratan SNI.
Sebagai informasi, peningkatan realisasi investasi industri elektronik terlihat pada periode Januari-September 2021, yang tercatat sebesar Rp659,4 triliun. Angka ini mengalami kenaikan 7,8% dibandingkan pada periode yang sama di tahun 2020.
Kondisi tersebut merupakan indikasi dari pengakuan pasar internasional terhadap persyaratan dasar yang ditetapkan dalam SNI. Selain menjadi persyaratan teknis dalam menjamin berbagai aspek lainnya, seperti kesehatan, keselamatan kerja dan lingkungan hidup. Di sisi lain, SNI juga menjadi suatu nilai tambah yang memperbesar peluang penetrasi industri domestik di pasar ekspor.
“Selain SNI, kita juga punya instrumen seperti TKDN dan lartas. Kalau ada produk yang nilai TKDN sudah di atas 40%, maka wajib untuk kementerian dan lembaga membeli produk tersebut. Nilai TKDN ini disusun dan dirumuskan oleh Kemenperin, dengan melihat kemampuan industri itu sendiri,” jelasnya, kepada Alinea.id belum lama ini.