close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Wakil Presiden Direktur Hutchison Tri Indonesia Danny Buldyansah dalam diskusi Alinea Live di Jakarta Selatan, Senin (25/3). Alinea.id/Ahmad Rifwanto.
icon caption
Wakil Presiden Direktur Hutchison Tri Indonesia Danny Buldyansah dalam diskusi Alinea Live di Jakarta Selatan, Senin (25/3). Alinea.id/Ahmad Rifwanto.
Bisnis
Selasa, 26 Maret 2019 19:10

Tantangan konsolidasi operator telekomunikasi dan 5G di Indonesia

Untuk menekan kerugian dan meringankan biaya operasional, konsolidasi operator bisa menjadi solusi.
swipe

Pada 2018, pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia mengalami tekanan yang cukup berat. Seperti dilansir dari Antara, Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menyebut, pendapatan industri telekomunikasi pada 2018 sebesar Rp148 triliun, minus 6,4% dibandingkan tahun 2017 yang mencapai Rp158 triliun.

Akan tetapi, tekanan itu tak dialami operator Tri Indonesia. Wakil Presiden Direktur Hutchison Tri Indonesia Danny Buldyansah mengatakan, Tri Indonesia malah mengalami pertumbuhan sebesar 30%, dengan laba operasional meningkat tiga kali lipat.

“Melihat pertumbuhan tersebut, target penjualan Tri Indonesia tahun 2019 kami mengharapkan naik dua digit lagi,” kata Danny saat berdiskusi Alinea Live bertajuk “Strategi Bisnis Tri Indonesia” di Kafe Brood en Boter, Jakarta Selatan, Senin (25/3).

Danny mengatakan, saat ini industri telekomunikasi sedang berada dalam periode peralihan. Sebelumnya, pendapatan industri ini berasal dari telepon dan layanan pesan singkat, belum fokus ke pemakaian data internet.

“Menghadapi tantangan ini, Tri Indonesia terbilang beruntung karena dari awal kita sudah fokus pada 3G (teknologi generasi ketiga), sehingga kita cepat beradaptasi dengan kebutuhan saat ini,” ujar Danny.

Porsi pengguna data dan non-data di Tri Indonesia, kata Danny, sebesar 90% berbanding 10%. Tri Indonesia, lanjut Danny, memang sangat fokus untuk memberikan layanan data pada pelanggan mereka.

Dihubungi terpisah, Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, sektor industri telekomunikasi memang cukup tertekan pada 2018. Namun, kata Nico, sektor ini seharusnya masih akan terus menggeliat, terutama pada 2019.

“Memang ekspansi yang terus menerus menyebabkan tergerusnya laporan keuangan. Namun, hal ini justru dibutuhkan oleh perusahaan telekomunikasi untuk bisa terus mendapatkan pendapatan yang baik,” kata Nico saat dihubungi, Selasa (26/3).

Nico melanjutkan, salah satu yang harus dilakukan operator adalah membangun infrastruktur dan menggapai daerah terpencil. Nico pun meyakini, kerugian yang dialami operator sepanjang 2018 tidak akan terjadi selamanya.

“Apalagi penggunaan data serta telepon yang meningkat akan menjaga pendapatan sektor telekomunikasi,” ucap Nico.

Konsolidasi operator

Sementara untuk menekan kerugian dan meringankan biaya operasional, Danny mengatakan, konsolidasi operator bisa menjadi solusi bagi masalah ini.

“Secara logis industri telekomunikasi itu persaingannya memang cukup keras, sehingga operator untuk untung itu sangat susah. Makanya konsolidasi itu diperlukan,” ujar Danny.

Menurutnya, setiap menit atau setiap megabyte yang digunakan pelanggan, lanjut Danny, disubsidi oleh operator. Otomatis setiap bulan, operator atau pemegang saham harus mengeluarkan uang untuk menutup biaya operasional perusahaan tersebut.

Danny pun menjelaskan, dirinya pernah berbincang-bincang dengan salah seorang pemilik perusahaan operator yang mengilustrasikan subsidi data bagaikan membeli satu mobil Kijang setiap hari.

“Kemudian, satu tahun lagi si pengusaha bilang dia harus mengeluarkan uang seharga satu mobil Mercedes Benz setiap hari untuk operasi perusahaan. Semakin tahun, semakin berat,” tutur Danny.

Danny menyadari, konsolidasi perusahaan operator tidak mudah dilakukan. Sebab, masih butuh persetujuan dari pemegang saham. Selanjutnya, Danny menjelaskan, manfaat konsolidasi yang bisa didapatkan operator, pertama, persaingan akan semakin berkurang. Kedua, operator mendapatkan manfaat dari pembangunan jaringan.

Ia mencontohkan, bila perusahaan telekomunikasi berkonsolidasi, pembangunan jaringan hanya dibutuhkan satu kali saja, dan bisa mengurangi belanja modal hingga separuhnya.

“Misalnya ada operator yang butuh biaya Rp7 triliun setahun, dua operator berarti Rp14 triliun. Kalau konsolidasi, itu hanya butuh Rp5 triliun hingga Rp6 triliun setahun, sangat efisien. Perkembangannya akan semakin luas, sehingga kualitas yang diberikan pelanggan akan semakin baik. Manfaatnya sangat luar biasa baik ke pelanggannya maupun operatornya,” ujar Danny.

Selain itu, Danny pun melihat jumlah operator yang ada di Indonesia belum ideal dengan melihat kondisi geografis dan demografis. Menurutnya, yang ideal hanya ada tiga operator, karena akan menyehatkan industri telekomunikasi.

 

Tantangan 5G

Internet seluler generasi kelima (5G) belakangan ramai dibahas akan menggantikan 4G yang selama ini masih digunakan masyarakat. Jaringan 5G menjanjikan kecepatan unduhan 10 hingga 20 kali lebih cepat dan stabil.

Tri Indonesia, kata Danny, masih akan menunggu regulasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, terutama mengenai spektrum 5G. Tri Indonesia, ujar Danny, rencananya akan mulai melakukan uji coba 5G mulai April 2019. Namun, dengan mempertimbangkan beberapa kendala, pihaknya akan melakukan ujicoba setelah pemilu.

“Jadi mungkin mulai Mei 2019. Kita akan uji coba 5G bersama dengan Kominfo untuk semua aspek dan lebih banyak di bidang pendidikan, bersama dengan beberapa lembaga pendidikan dan universitas,” ujar Danny.

Danny melanjutkan, operator sudah cukup siap menghadapi 5G, tetapi Indonesia sendiri masih belum siap sampai satu tahun ke depan untuk menghadirkan 5G tersebut.

Sementara itu, Maximilianus Nico Demus khawatir hadirnya 5G belum tentu akan memberikan keuntungan bagi operator. Sebab, menurut Nico, ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya menghadirkan jarigan 5G di Indonesia.

“Faktor pertama, Indonesia harus membangun infrastruktur untuk 5G. Kedua, peralatan yang harganya masih mahal,” kata Nico.

Nico pun melihat, 5G hanya akan terkonsentrasi di Jawa Barat dan Bali. Semua hal itu juga membutuhkan waktu yang lama hingga 5G benar-benar siap digunakan.

“Sehingga 5G memberikan potensi mengurangi keuntungan dalam waktu yang tidak sedikit,” ujar Nico.

 

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan