Tantangan ‘merawat’ sapi perah impor
Kementerian Pertanian (Kementan) berencana mengimpor satu juta ekor sapi perah dalam lima tahun, 2025-2029. Hal itu untuk memenuhi kebutuhan susu segar, termasuk mendukung program makan bergizi gratis. Rencana itu dipaparkan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman saat rapat kerja dengan Komisi IV DPR di Gedung DPR/MPR, Jakarta, bulan lalu.
Seperti dilansir dari Antara, satu juta ekor sapi perah tersebut berasal dari Australia, Selandia Baru, Brasil, Meksiko, dan Amerika Serikat. Rinciannya, pada 2025 mengimpor sebanyak 200.000 ekor, tahun 2026 sebanyak 300.000 ekor, 2027 sebanyak 400.000 ekor, dan 2028 sebanyak 100.000 ekor. Kementan memprediksi, kebutuhan susu segar pada 2029 mencapai 8,5 juta ton.
Belum lama ini, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Agung Suganda mengatakan, ada 141 investor atau perusahaan yang bakal berinvestasi dalam sapi perah di Indonesia.
“Berdasarkan komitmen yang mereka sudah sampaikan, itu sebanyak 1,2 juta (ekor sapi perah) selama lima tahun,” ujar Agung di Jakarta, Rabu (11/12), seperti dikutip dari Kompas.
Di sisi lain, Agung pun mengatakan, sebanyak 50 ekor sapi perah bunting jenis Frisian Holstein asal Australia telah tiba di Indonesia.
Meski begitu, pengamat peternakan dari Universitas Padjadjaran sekaligus Ketua Dewan Pakar Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Rochadi Tawaf mengatakan, merawat sapi perah impor dalam jumlah besar bukan perkara gampang. Sebab memerlukan rekayasa habitat dan pakan yang perlu disiapkan untuk menunjang produksi sapi perah. Dia menyebut, beternak sapi perah impor, apalagi dari Australia, memerlukan lahan yang luas untuk padang rumput sumber pakan.
“Berapa sekian ribu hektare yang harus disiapkan? Pakan itu tidak sederhana, enggak sehari dua hari disulap jadi,” ujar Rochadi kepada Alinea.id, Kamis (12/12).
“Perlu tahunan nyiapin lahannya, nyiapin infrastruktur. Bangun kandang itu butuh waktu. Jadi, kalau sekarang, tahun depan harus ada. Kalau saya bilang tidak mungkin, semisal setahun lagi persiapannya baru sekarang.”
Oleh karena itu, Rochadi ragu bila peternak atau korporasi dalam waktu cepat mampu mengurus sapi perah impor. Soalnya, ada perbedaan cara memelihara di negara asal, dengan kebiasaan cara beternak sapi perah oleh peternak lokal.
“Terus, nanti katanya kerja sama dengan koperasi. Kerja sama bagaimana? Kelihatan juga belum. Ini kan bisnis biasa, kalau dipaksa begitu, bisa enggak? Saya melihatnya ragu,” ucap Rochadi.
Menurut Rochadi, sebaiknya perawatan sapi perah impor untuk memproduksi bahan baku susu program makan bergizi gratis, diserahkan kepada perusahaan susu yang sudah berpengalaman, seperti Nestle atau Cimory.
“Itu saja yang dikembangkan, yang sudah punya pengalaman puluhan tahun atau jutaan liter selama ini. Dia (perusahaan besar) saja suruh (mengembangan) volume lebih besar. Mereka lebih keukur dibanding asosiasi peternak sapi perah yang belum tentu ngerti,” ujar Rochadi.
Bantuan
Sementara itu, Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI) Agus Warsito berpendapat, peternak yang berpengalaman akan memiliki ketelatenan dalam merawat sapi perah, sekalipun impor. Dia mengatakan, para peternak antusias jika dilibatkan dalam mengurus sapi perah impor. Dengan catatan diberi pelatihan, ditopang kredit, dan bantuan teknologi yang menunjang mutu susu.
“Sebenarnya, mereka ini sudah mapan dan terbiasa pelihara sapi perah. Hanya karena situasi pasar yang tidak kondusif, akhirnya para peternak sapi perah kita ini banyak yang beralih ke sapi potong, ada yang beralih pelihara kambing,” ujar Agus, Kamis (12/12).
“Kalau ada program dari pemerintah seperti ini, tentu saya yakin antusias. Hanya pertanyaannya, itu nanti yang membiayai siapa?”
Agus menuturkan, rata-rata peternak sapi perah sudah mengetahui karakteristik sapi impor, yang bisa menghasilkan 15 liter susu pada laktasi pertama. Puncaknya pada laktasi keempat, yang bisa mencapai 30 liter per ekor per hari. Namun, kebiasaan memelihara sapi perah, belum banyak dialami peternak sapi lokal.
Sapi impor yang terbiasa diternak dengan cara pastura alias dilepasliarkan, memerlukan lahan yang luas. Hal itu, menurut Agus, bisa disiasati dengan memeliharanya di luar Pulau Jawa, seperti di Kalimantan. Sementara jika dilakukan di Jawa, bisa bekerja sama dengan meminjam lahan Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani).
Bila peternak lokal diberikan tanggung jawab merawat sapi perah impor, dia menyarankan, pada tahap awal pemerintah perlu memberi bantuan berupa pakan konsentrat sebelum masa pemerahan. Terutama jika dipelihara dengan sistem intensif atau kandang.
“Artinya, kebutuhan pangan ini yang harus dipenuhi oleh pemda, perusahaan, atau pihak yang menyalurkan sapi impor ini. Konsentrat minimal. Kalau hijauan, rata-rata peternak sudah siap,” kata Agus.
Sedangkan dari sisi teknologi penunjang, Agus mengatakan, peternak bisa meningkatkan produksi bila dibantu karpet merah untuk mencegah lutut sapi terluka, alat air minum libitum, dan alat perah modern. Tujuannya, agar pemerahan susu jauh lebih efektif.
Selain itu, untuk menjaga kualitas susu agar tidak mudah rusak tercemar bakteri, Agus berkata, peternak sapi perlu diberi bantuan unit pendingin. Dia menjelaskan, susu yang baru diperah tidak boleh lebih dari dua jam berada di ruangan terbuka karena bakteri mudah berkembang biak.
“Dari 10 atau 20 peternak itu harus ada satu unit pendingin. Begitu selesai pemerahan, susu itu langsung diantar ke unit pendingin. Itu salah satu yang menjamin kualitas susu di pabrik,” kata Agus.
Mesin pendingin, menurut Agus, bisa melindungi kualitas susu tetap terjaga dengan temperatur di bawah lima derajat celsius. Hasilnya, susu bermutu tinggi yang dapat mudah terserap industri.
“Jadi tidak ada lagi cerita susu peternak ditolak industri susu,” ucap Agus.
Tak kalah penting, bantuan pinjaman pembiayaan di muka bagi peternak, sebelum sapi bisa diperah tetapi sudah memerlukan biaya pakan. Sebab, untuk mendatangkan sapi juga perlu biaya besar.
Agus menilai, jika diberi bunga rendah sebesar 3% hingga 6% dan bantuan penunjang produktivitas susu, maka banyak peternak sapi perah yang antusias terlibat dalam pengolahan susu.
“Kalau pemerintah membiayai dulu, tentu peternak sangat senang sekali,” tutur Agus.