close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Pixabay
icon caption
Ilustrasi. Pixabay
Bisnis
Kamis, 19 Agustus 2021 16:47

Target cukai dikerek, industri hasil tembakau akan makin "remuk"

Realisasi penjualan rokok legal diyakini bakal makin turun jika pemerintah tetap meningkatkan target cukai tembakau pada 2022.
swipe

Nota keuangan RAPBN 2020 yang dibacakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut menyasar kenaikan target penerimaan negara dari cukai sebesar 11,9% menjadi Rp203,9 triliun. Peningkatan ini mayoritas akan kembali dibebankan kepada industri hasil tembakau (IHT), kontributor utama pendapatan cukai.

Menyikapi hal tersebut, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menyampaikan keberatannya. Alasannya, kondisi IHT terpuruk akibat pandemi Covid-19 berkepanjangan.

Lebih lagi, realisasi penjualan rokok legal kini menurun drastis. Produksi sigaret kretek mesin (SKM) legal 2020 turun sekitar 17,4%. Pada kuartal II-2021, tren penurunan masih terjadi di kisaran negatif 7,5% dibandingkan 2020 dan diprediksi perununan mencapai lebih dari 15% hingga akhir 2021.

"Hal ini akan sangat memukul tidak hanya produsen, tapi juga petani hingga potensi penerimaan negara yang tidak akan tercapai dari pos CHT (cukai hasil tembakau)," katanya, Kamis (19/8).

Karenanya, Henry kembali meminta pemerintah mengambil keputusan yang bijak dengan tidak menaikkan CHT 2022, terlebih di saat pandemi. "Situasi Covid-19 yang belum terkendali berdampak luas terhadap keberlangsungan usaha dan penghidupan masyarakat luas."

Pada saat yang sama, dorongan untuk menaikkan tarif CHT menjadi sinyal bagi oknum rokok ilegal untuk meraup untung. Dalam kajian yang dilakukan GAPPRI, peredaran rokok ilegal bertumbuh subur hingga 15% dari total produksi legal. 

Awal Agustus lalu, misalnya, petugas Bea Cukai Semarang menggagalkan peredaran 384.000 rokok ilegal. Data Bea Cukai 2020 menyatakan, pemerintah menindak 8.155 kasus rokok ilegal dengan jumlah sekitar 384 juta batang atau 41,23% lebih banyak dibandingkan 2019.

“GAPPRI terus berkomitmen mempertahankan tenaga kerja; memberikan nafkah pekerja sepanjang rantai nilai IHT mulai dari petani, pemasok/logistik, pabrik, sampai pedagang eceran; menjaga nadi penerimaan negara pajak dan cukai sekitar Rp200 triliun yang merupakan sumbangsih nyata kami dalam menangani pandemi Covid-19,” tutur Henry.

Para pelaku IHT pun berharap, pemerintah memberi perlindungan yang adil layaknya perhatian ke sektor industri lain. Sebagai perbandingan, upaya pemerintah melindungi IHT di tengah pandemi sudah dilakukan negara lain.  

Pemerintah India, Korea Selatan, Malaysia, Kamboja, Thailand, dan Bangladesh, contohnya, tidak menaikkan tarif cukai. Hal tersebut juga diikuti Singapura yang memiliki aturan ketat terhadap IHT dan fokus pada aspek kesehatan. 

Sedangkan pemerintah Filipina hanya menaikkan 5% sesuai kebijakan jangka panjangnya 2020-2024, yang tertuang dalam peta jalan IHT nasional lengkap dengan berbagai skenario terburuk, seperti pandemi Covid-19.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI), Sudarto, sependapat. Pihaknya meminta pemerintah menjaga kelangsungan industri yang masih bertahan, tidak terkecuali IHT.

Menurutnya, seluruh sendi perekonomian saat ini terimbas pandemi, termasuk pelaku penggerak sektor IHT, seperti para petani dan buruh pabrik. Apalagi, tantangan yang mendera sudah kompleks. "Mulai dari isu musiman yaitu kenaikan tarif cukai hingga wacana revisi PP 109 Tahun 2012."

Bagi Sudarto, kedua hal tersebut cukup memicu kegaduhan sektor IHT. Imbas dari berbagai isu itu tentu mencemaskan pelaku industri yang harus memutar otak demi menjaga kelangsungan usaha, termasuk mempertahankan tenaga kerja.

Dia berpendapat, akan sulit bagi IHT untuk tetap tumbuh atau bertahan hidup di tengah pandemi yang sudah berimbas pada realisasi angka pengangguran sebanyak 9,7 juta orang. Karenanya, wacana kenaikan tarif cukai diurungkan.

Kalaupun dinaikkan, besarannya merupakan hasil musyawarah pemerintah dengan seluruh pelaku sektor IHT. 

"Sebab begitu tarif cukai dirasa tinggi oleh produsen IHT, keputusan paling cepat biasanya diarahkan pada efisiensi tenaga kerja. Bisa jadi upah yang dipangkas, jam kerja dikurangi, sampai PHK," tuturnya.

img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan