close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
Bisnis
Jumat, 16 Juli 2021 09:33

Target nol karbon tersandera pembangkit batu bara

Pembangunan pembangkit listrik batu bara bertentangan dengan target penurunan emisi.
swipe

Februari lalu, Edi Suriana mengeluhkan debu sisa pembakaran (fly ash) yang mengotori rumahnya. Tidak hanya menyelimuti genting dan teras rumahnya saja, debu berwarna hitam itu juga mengotori pakaian yang dijemur di halaman rumah. 

Warga Kelurahan Suralaya, Cilegon, Banten ini menyebut debu yang berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya itu telah mengganggu aktivitas warga sekitar. Dia dan warga lain juga khawatir, fly ash akan mempengaruhi kesehatan mereka. 

“Enggak cuma saya saja (yang mengeluhkan-red). Tapi warga lain juga merasa terganggu,” katanya kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.

Kejadian seperti itu tak hanya terjadi sekali atau dua kali. Sebelumnya, yakni pada September 2020 lalu, ribuan warga di Kecamatan Motui, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara juga mengeluhkan polusi udara karena batu bara. Kepala Desa Motui Baharudin bercerita, fly ash mulai beterbangan sejak awal Agustus. 

“Sangat meresahkan warga,” katanya belum lama ini.

Bagaimana tidak? Meski ventilasi rumah telah ditutup menggunakan plastik, partikel debu yang halus masih menyelinap ke dalam rumah. Dia takut debu hitam itu akan masuk ke dalam makanan, sehingga dapat mempengaruhi kesehatan warganya. 

Debu yang beterbangan tak hanya mengotori jalanan dan rumah warga, tapi juga membuat mata pedih. Bahkan, menurut Baharudin, tak sedikit anak yang mulai batuk-batuk karena terlalu banyak menghirup udara bercampur debu batu bara. 

“Ini terjadi karena ada bongkar muat batu bara,” kata dia.

Excavator menyusun tumpukan batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Banten. Foto Reuters.

Baharudin melanjutkan, sebelumnya memang ada aktivitas bongkar muat batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) PT Obsidian Stainless Steel (OSS). Perusahaan asal Tiongkok yang membuat pabrik pemurnian feronikel itu mengolah hasil perusahaan induknya, PT Virtue Dragon Nickel Industri (Virtue). 

Adapun yang terdampak serbuan debu batu bara tidak hanya Desa Motui saja, melainkan juga Desa Sama Subur, Wawoluri, Puuwonggia, Ranombopulu, dan Lambuluo. 

“Solusi dari perusahaan batu bara akan disiram dan pengangkutan akan ditutup, sambil membangun salah satu bagian teknis dari batubara ini,” ujar Baharudin.

Ancaman bagi lingkungan

Debu batu bara berimbas negatif bagi lingkungan. Bagi manusia yang terpapar partikel ini dapat mengalami berbagai ancaman penyakit seperti kanker, jantung, diabetes, paru-paru hitam, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), pneumoconiosis dan lain-lain. Karenanya, pemerintah perlu cepat-cepat menanggulangi permasalahan debu batu bara. 

“Karena kalau enggak, akan sangat berbahaya buat manusia dan lingkungan,” tutur Koordiantor Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah, kepada Alinea.id, Minggu (11/7).

Bahkan, jika dibiarkan menahun, tidak menutup kemungkinan akan membuat angka kematian dini nasional makin meningkat. Hal ini pun diamini oleh laporan dari hasil penelitian yang dilakukan Universitas Harvard dan Greenpeace Internasional pada 2017 lalu. 

Hasil penelitian itu menyebutkan angka kematian dini per tahun di negara-negara Asia Tenggara, Korea, Taiwan dan Jepang paling banyak diakibatkan oleh pembangkit-pembangkit listrik batubara. Di Asia Tenggara, negara terparah Indonesia disusul Vietnam.

Penelitian juga menyebutkan jika pembangunan PLTU batubara berlanjut, emisi di Asia Tenggara, Korea Selatan dan Jepang akan naik tiga kali lipat pada 2030 dengan konsentrasi peningkatan terbesar di Indonesia dan Vietnam. 

Dus, pembangkit batubara ini bakal menciptakan 70.000 kematian dini setiap tahun. Indonesia sendiri disebutkan akan menderita tertinggi kematian dini, diikuti Vietnam, lalu Myanmar pada 2030.

Namun, sebelum polusi udara terjadi, pemerintah dapat melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya sistematis dan terpadu untuk mencegah pencemaran. Ini meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

“Harus audit karena dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup ada peran pemerintah dari daerah sampai nasional” tegas Merah.

Selain kesehatan, pencemaran udara juga sebabkan kerugian ekonomi yang dapat mencapai US$8 miliar per hari, atau 3,3% dari produk domestik bruto (PDB) dunia. Di saat yang sama, masifnya penggunaan batu bara sebagai energi utama pembangkit listrik nasional juga menjadi salah satu penyebab meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) dunia.

Ilustrasi pemanasan global/Pixabay.com.

Berdasarkan riset WRI (World Resources Institute), Indonesia menyumbang kenaikan emisi gas rumah kaca sebesar 1,88%. Dalam kurun 2007 sampai 2016, emisi karbon yang dihasilkan Indonesia selalu mengalami peningkatan, dari yang semula 398 juta ton pada 2007 lalu menjadi 530 juta ton di 2016. 

Seolah sadar dengan kondisi itu ditambah adanya Perjanjian Paris yang telah diteken Indonesia, pemerintah pun bertekad untuk menghentikan PLTU berbahan bakar batu bara. 

“Sekarang ini fossil energy sudah menjadi musuh bersama. Secara bertahap pemerintah Indonesia juga sudah bisa mempensiunkan pembangkit-pembangkit batu bara (PLTU-red),” kata Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam Indonesia Investment Forum (IIF) 2021 yang digelar KBRI London secara daring, pada Kamis (27/5) lalu. 

Rencana ini, kata Luhut, bakal dilakukan lantaran sekarang ini sudah tidak banyak lagi perbankan yang ingin mendanai investasi energi fosil. Di sisi lain, pemerintah juga ingin mendorong pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) nasional yang memiliki potensi tak kalah besar.

Pensiunkan pembangkit batu bara

Rencana ini pun diamini pula oleh Direktur Utama PLN Zulkifli Zain. Dia bilang, upaya mempensiunkan PLTU batu bara yang sudah tua dan menggantinya dengan EBT telah tergambar di peta jalan (road map) retirement/pensiun PLTU batu bara. Targetnya, nol karbon atau neutral carbon dicapai pada 2060. 

“Tahap monetasi batu bara sebesar 50,1 gigawatt (GW) hingga tahun 2056 akan dilaksanakan dan menggantinya dengan energi baru terbarukan secara bertahap,” ujarnya, kepada Alinea.id, Rabu (14/7). 

Zulkifli menjelaskan, moratorium akan dilaksanakan pada 2030 mendatang. Pada saat itu, PLN akan mempensiunkan pembangki-tppembangkit listrik tenaga batu bara subcritical sebesar 1 GW, yakni PLTU Muarakarang, Tambaklorok dan Gresik. Selanjutnya, pada 2035 atau tahap kedua, PLN akan kembali mempensiunkan PLTU sub-kritikal sebesar 9 GW.

Kemudian, pada 2040 memasuki tahap ketiga PLN mempensiunkan PLTU yang supercritical sebesar 10 GW. Lalu pada 2045 akan dilaksanakan pemensiunan PLTU ultra supercritical tahap pertama sebesar 24 GW. Terakhir 2055 tahap pemensiunan supercritical terakhir sebesar 5 GW.

Di antara periode tersebut, yakni pada 2028 pengembangan pembangkit EBT akan mengalami peningkatan besar-besaran karena kemajuan teknologi baterai yang semakin murah. Kemudian akan mengalami kenaikan secara eksponensial mulai tahun 2040. 

Adapun pada periode 2045 hingga 2056 mendatang, PLTU akan digantikan dengan renewable energy secara bertahap. “Dekade berikutnya, seluruh pembangkit listrik di Indonesia akan berasal dari EBT," yakin Zulkifli.

Nyatanya, untuk mencapai target zero emisi pada 2060 bukan hal mudah bagi Indonesia. Apalagi kapasitas PLTU batu bara sampai saat ini masih mendominasi pembangkit listrik di Indonesia. 

Greenpeace Indonesia menyoroti rencana Perusahaan Listrik Negara (PLN) terkait pembangunan pembangkit listrik berbasis baru bara. Organisasi ini meminta agar rencana tersebut dihentikan.

Greenpeace juga mengingatkan agar rencana pembangunan pembangkit listrik berbasis batu bara, harus diikuti dengan peta jalan yang jelas. Secara kumulatif, hingga saat ini produksi listrik dari batu bara telah mencapai 65% dari total bauran energi nasional, dengan kapasitas existing mencapai 34,6 GW. 

Peneliti Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari mengatakan, jumlah ini bisa jadi masih akan terus berkembang. Karena pemerintah baru akan berhenti membangun PLTU baru setelah Program 35 GW dan dan Fast Track Program (FTP) II sebesar 7 GW rampung. 

Artinya, kalau program ini terus berjalan, akan ada setidaknya 27 GW PLTU batu bara yang terbangun sebelum 2023.  “Ini jelas akan menutup renewable energy di Indonesia,” ungkap Adila, kepada Alinea.id, Kamis (15/7).

Belum lagi, jika melihat masa operasi PLTU yang rata-rata mencapai 30-40 tahun. Ini berpotensi pula mengunci emisi GRK hingga masa operasi pembangit listrik usai. Alhasil, Indonesia bisa saja menjadi ancaman gagalnya Perjanjian Paris atau perjanjian dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Indonesia juga akan melanggar rekomendasi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Dalam rekomendasi itu, seluruh negara harus menutup 80% dari PLTU existing agar target 1,5 derajat celcius seperti Perjanjian Paris bisa tercapai. 

"Itu hanya jadi sebatas mimpi yang enggak mungkin diwujudkan," ujarnya. 

Bahkan, meskipun menggunakan skema energi terbarukan terbaik sekalipun, pada 2030 nanti Indonesia hanya mampu mencapai 26% energi terbarukan, alih-alih 50% seperti yang diharapkan pemerintah. Sebaliknya, langkah pemerintah yang masih memaksakan pembangunan PLTU baru hingga 2025 justru dikhawatirkan akan menambah produksi emisi karbon mencapai 107 juta ton/tahun. 

“Dengan usia operasi PLTU selama 35-40 tahun, Indonesia berarti akan tetap mengoperasikan PLTU masif hingga 2060-2065,” ungkap peneliti Trend Asia Andri Prasetiyo, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (13/7).

Padahal, untuk mencapai target zero emission global, PLTU harus berhenti total pada 2050. Karenanya, pemerintah harus berani menurunkan emisi dari pembangkit listrik tenaga batu bara secepat mungkin. Hal ini dapat dilakukan dengan menghentikan pembangunan PLTU baru maksimal pada 2025.

Pensiun dini

Pada kesempatan terpisah, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, pihaknya telah mengidentifikasi beberapa PLTU berusia lebih dari 30 tahun yang bisa dipensiunkan sebelum 2030. Diantaranya adalah PLTU Suralaya dan beberapa PLTU milik swasta. Ada juga beberapa pembangkit dengan efisiensi rendah yang bisa mulai dihentikan pengoperasiannya.

Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan energi nasional ke depannya Indonesia harus memiliki tambahan pembangkit listrik dari energi terbarukan. 

“Jika PLN berani mengurangi PLTU drastis atau sama sekali enggak bangun PLTU baru lagi, 14 GW-nya bisa dari energi terbarukan,” kata dia, kepada Alinea.id, Kamis (15/7).

Adapun menurut perkiraan IESR, untuk memenuhi target rencana umum energi nasional (RUEN), harus ada penambahan minimal sekitar 14 GW pembangkit energi terbarukan, atau sekitar 3 GW per tahun. 

Asap mengepul dari corong pembangkit listrik tenaga batu bara. Foto Reuters/Peter Andrews.

Menurut Fabby, selain efektif menurunkan emisi, akselerasi moratorium PLTU juga diyakini dapat meningkatkan investasi dan lapangan kerja di Tanah Air. Hal ini disebabkan banyak negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman hingga Jepang yang sudah enggan mendanai proyek-proyek energi fosil, termasuk PLTU batu bara. 

Sebagai gantinya, kini para investor lebih melirik proyek-proyek ramah lingkungan yang tidak memberikan dampak negatif pada lingkungan. “Makanya peluang investasi untuk pengembangan PLTU pada masa depan akan semakin susah,” imbuhnya.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan