Target pajak meleset Rp140 triliun, defisit bengkak
Kementerian Keuangan memastikan target pajak bakal meleset pada 2019 alias shortfall hingga Rp140 triliun dari proyeksi APBN.
Direktur Jenderal Pajak (DJP) Robert Pakpahan mengatakan shortfall pajak disumbang oleh Dirjen Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC).
"Outlook perpajakan DJP dan DJBC kan 91%, shortfall kurang lebih Rp143 triliun, khususnya DJP outlook-nya 91,1% dari target. Shortfall diperkirakan 140 triliun," ujarnya di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (16/7).
Hingga paruh pertama tahun ini, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp603,34 triliun. Capaian itu 38,25% dari target APBN 2019 sebesar Rp1.577,56 triliun.
Penerimaan pajak semester I-2019 tercatat tumbuh 3,75% year-on-year (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Capaian itu juga naik tipis 2,43% jika dibandingkan periode Januari-Mei.
Kendati demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai secara umum kinerja penerimaan pajak menunjukkan peluang untuk meningkat pada semester II-2019.
"Setelah sempat mengalami lonjakan restitusi pada Februari dan Maret yang menekan pertumbuhan netto secara umum di akhir semester I ini, pertumbuhan penerimaan pajak mulai menunjukkan tanda-tanda recovery, seiring kembali normalnya pertumbuhan restitusi," ujar Menkeu.
Dia berharap perkembangan positif perang dagang antara Amerika Serikat-China dan rekonsiliasi Pemilu 2019 dapat memberikan dampak positif terhadap penerimaan pajak.
Menkeu menuturkan, dengan didukung membaiknya perekonomian domestik, peningkatan kepatuhan wajib pajak, perluasan basis pembayar pajak, DJP juga cukup optimistis dengan semakin meningkatnya kinerja penerimaan pajak pada paruh kedua tahun ini.
Defisit APBN
Sementara itu, Sri Mulyani menuturkan defisit APBN pada tahun ini diperkirakan mencapai Rp310,8 triliun setara 1,93% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Proyeksi itu lebih tinggi dari asumsi APBN 2019 senilai Rp295 triliun setara 1,84% dari PDB.
Menteri Terbaik di Dunia di World Government Summit itu menjelaskan, peningkatan proyeksi defisit itu disebabkan oleh tekanan terhadap penghimpunan pendapatan negara, sebagai imbas dari perlambatan perekonomian global.
"Hal ini karena ada tekanan penerimaan dan perlambatan ekonomi global," ujar Sri Mulyani.
Meskipun demikian, Sri Mulyani menegaskan bahwa bergesernya target defisit ini tidak akan menjadi masalah yang signifikan. Hal itu disebabkan oleh deviasi yang tidak terlalu jauh dari sisi pembiayaan.
"Enggak masalah, dan enggak ada persoalan yang signifikan karena hanya meningkat lebih sedikit dibandingkan dengan yang ada di Undang-undang APBN," ujarnya.
Akan tetapi, sambungnya, tekanan dan risiko fiskal terhadap kinerja instrumen fiskal hingga saat ini masih dapat dikendalikan.
"Kinerja fiskal sampai dengan semester I-2019 cukup baik, ditandai dengan pendapatan negara yang tetap tumbuh dan kinerja belanja negara yang meningkat serta manajemen pengelolaan kas semakin baik ditandai dengan Silpa (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) yang lebih rendah," kata dia.
Total defisit anggaran semester I-2019 mencapai Rp135,8 triliun. Pencairan belanja negara mencapai Rp1.034,5 triliun dan pendapatan negara sebesar Rp898,8 triliun.
Di sisi lain, Kemenkeu melaporkan penyaluran Anggaran Transfer Dana ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sampai dengan 30 Juni 2019 telah terealisasi sebesar Rp403,95 triliun atau 48,86% dari pagu alokasi. Angka itu tumbuh 4,77% (yoy) bila dibandingkan dengan realisasi tahun lalu sebesar Rp385,57 triliun.
Secara rinci, Kemenkeu juga merilis realisasi penyaluran Dana Desa dari RKUN (rekening kas umum negara) ke RKUD (rekening kas umum desa) Per 30 Juni 2019 telah mencapai Rp41,83 triliun atau 59,76% dari pagu alokasi. Angka itu tumbuh 16,65% (yoy) jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun lalu.
"Capaian positif tersebut disebabkan dana desa tahap I dan tahap II telah disalurkan seluruhnya pada bulan Juni 2019 kepada 434 daerah penerima," ujar Menkeu.
Selain itu, untuk realisasi penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) per 30 Juni 2019 sebesar Rp42,39 triliun atau 39,86% dari pagu alokasi. Realisasi tersebut lebih tinggi 23,77% (yoy) dibandingkan dengan realisasi periode yang sama tahun 2018.
Menurut Sri Mulyani, capaian ini disebabkan oleh adanya penyaluran sebagian Kurang Bayar (KB) DBH pada Mei 2019.
Hal itu berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.07/2019 sebesar Rp2,21 triliun (Rp1,40 triliun untuk KB DBH Sumber Daya Alam Mineral dan Batubara; Rp0,81 triliun untuk KB DBH Sumber Daya Alam Gas Bumi).
Kemudian, untuk realisasi penyaluran Dana Insentif Daerah (DID) per 30 Juni 2019 sebesar Rp5,17 triliun atau 51,75% dari pagu alokasi.
Menkeu menjelaskan, realisasi DID mengalami peningkatan yang cukup signifkan jika dibandingkan dengan realisasi periode yang sama tahun sebelumnya.
"Capaian ini merupakan hasil koordinasi yang intensif antara Kementerian Keuangan dengan Pemerintah Daerah penerima DID serta pemahaman Pemerintah Daerah yang baik terhadap peraturan terkait DID," urainya.
Tercatat, sebanyak 336 Pemda yang telah menerima penyaluran DID tahap I, 13 di antaranya adalah Pemda penerima DID yang terdampak bencana gempa, tsunami dan likuifaksi di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah.
Terakhir, Menkeu melaporkan Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan dana keistimewaan telah disalurkan sebesar Rp3,69 triliun atau 17,60% dari pagu alokasi.
Angka ini lebih rendah jika dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu. Hal tersebut disebabkan Provinsi Papua belum melengkapi persyaratan penyaluran Dana Otsus.
#InfoKeu
— #UangKita (@KemenkeuRI) July 16, 2019
Senin (15/07) Presiden Joko Widodo (@jokowi) memberikan arahan penyusunan pagu indikatif RAPBN 2020 dalam rapat kabinet terbatas di Istana Presiden.
Presiden menyebutkan ada empat hal yg perlu mendapat perhatian dalam penyusunan pagu indikatif RAPBN 2020, diantaranya: