Pemerintah terus mendorong pemanfaatan pembangkit dari energi baru terbarukan, dan secara bertahap pembangkit fosil akan ditinggalkan. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan RI punya target net zero emission di tahun 2060.
Luhut mengatakan operasi dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) akan berhenti total di 2031. Kemudian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara juga akan dipensiunkan bertahap hingga tahun 2060.
Untuk jangka yang lebih pendek lagi pemerintah menargetkan bauran energi bisa mencapai 23% pada tahun 2025 mendatang. Penurunan emisi gas rumah kaca tahun 2030 akan mencapai 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional.
"Tahun 2031 tidak lagi pemakaian PLTD dan PLTU passing out bertahap hingga 2060, tidak ada lagi PLTU beroperasi," papar Luhut dalam Energy Outlook 2022, Kamis (24/2).
Untuk mengejar target jangka pendek bauran energi 23%, menurut Luhut, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong PT PLN (Persero) menetapkan green Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
"Jauh lebih hijau dari RUPTL sebelumnya. Target persentase EBT dalam bauran energi dinaikkan jadi 52% di tahun 2030," jelasnya.
Dalam sepuluh tahun ke depan, menurut Luhut, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) akan mendominasi dengan kisaran 25,6%, disusul Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 11,5%, dan tidak menutup kemungkinan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) juga akan ambil posisi.
"Menyukseskan ini, pemerintah terbuka dengan pihak swasta partisipasi bangun EBT dan perkirakan kepemilikan swasta 64% dari pembangkit operasi 2030," tuturnya,
Lebih lanjut Luhut mengatakan, pemerintah telah menerbitkan Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Melalui UU ini pajak karbon diatur, sebesar Rp30 per kg karbon dioksida ekuivalen.
"Ini akan mengubah posisi PLTU dari pembangkit murah ke pembangkit mahal, mulai berlaku pada 1 April 2022," kata Luhut.