Kenaikan tarif kargo yang diterapkan oleh maskapai penerbangan membuat sejumlah perusahaan logistik terpaksa gulung tikar.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo) Budi Paryanto mengatakan empat perusahaan anggota Asperindo menutup bisnisnya.
"Dua di antaranya berada di Pekanbaru, satunya lagi di Palembang, dan satu lagi berada di Jakarta. Mereka sudah mulai merumahkan karyawan, tinggal proses administrasi penutupan perusahaan saja," ujar Budi di Jakarta, Rabu (28/2).
Keempatnya merupakan perusahaan pengiriman kargo berukuran menengah ke bawah sehingga rentan terimbas kenaikan tarif Surat Muatan Udara (SMU).
Budi mengatakan, akibatnya, kemungkinan ada sekitar 100 hingga 200 pekerja dari keempat perusahaan tersebut yang terpaksa dirumahkan setelah operasionalnya tak berjalan.
Selain empat perusahaan tadi, ada pula sekitar 20 perusahaan anggota asosiasi yang melapor bahwa kondisi usahanya kian goyah karena tingginya tarif muatan udara maskapai. Adapun, saat ini, Asperindo tercatat memiliki 287 anggota perusahaan.
"Di luar anggota Asperindo, saya pikir bahkan lebih banyak usaha yang sudah goyah," ucapnya.
Budi mengatakan, kenaikan tarif SMU ini, membuat perusahaan pengiriman harus mengerek ongkos kirim hingga 20%. Namun, menurut Budi, kenaikan ini masih tergolong kecil. Sebab, ada selisih kenaikan biaya yang ditanggung perusahaan logistik.
Di sisi lain, naiknya tarif pengiriman kepada pihak pengguna telah mengakibatkan penurunan pasar sebesar 30%-40%. Hal ini lah yang membuat perusahaan logistik kecil tidak dapat menyesuaikan diri sehingga mengalami kebangkrutan.
"Yang daya tahannya bagus masih bisa bertahan, tapi yang kecil sudah goyang," katanya.
Boikot transportasi udara
Di samping itu, kini sejumlah perusahaan jasa pengiriman logistik rata-rata mulai berpindah transportasi dari udara ke moda transportasi lainnya.
"Sebagian besar sudah beralih ke angkutan darat dan laut. Kalau persentase sekitar 50% sudah beralih," katanya.
Namun, perpindahan pilihan moda transportasi oleh para pengusaha logistik ini menimbulkan perpecahan antara pihak logistik dan maskapai. Pihak maskapai menganggap perpindahan moda transportasi ini merupakan bentuk boikot dari para pengusaha logisitik.
"Padahal kami tidak memboikot. Ini pilihan bisnis," ucapnya.
Budi menjelaskan, setelah berpindah ke transportasi laut, para pengusaha logistik tetap mengalami kendala. Pasalnya, pengiriman barang melalui jalur laut membutuhkan waktu yang panjang.
“Salah satu yang menghambatnya, yakni di proses bongkar muatnya,” kata dia.
Atas dasar itu, Budi mengimbau pemerintah dan pihak maskapai untuk mengambil sikap dan mengeluarkan sejumlah kebijakan guna memulihkan kembali usaha jasa pengiriman kargo.
"Pertama, ada baiknya pemerintah mengurangi anak cucu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta di sektor logistik untuk memberi ruang swasta," ujarnya.
Jalan tengah lain yang diusulkan kepada pemerintah ialah pengadaan angkutan khusus untuk mengangkut kargo.
"Kedua, memulai penggunaan pesawat khusus kargo (freighter) untuk mengurangi biaya pengiriman dengan begitu maka biayanya bisa ditekan sekurangnya 50%," ujarnya.
Kenaikkan tarif kargo pesawat sudah mulai terasa sejak akhir 2018 dan belum mengalami penurunan hingga saat ini. Asperindo mengklaim kenaikkan tarif kargo ini jika ditotal telah mencapai 350% dari tarif awalnya.
Tercatat kenaikan tarif kargo pada maskapai Garuda Indonesia paling tinggi bahkan mencapai sebesar 352% untuk penerbangan Jakarta-Palembang dari kisaran Rp2.100--Rp5.400 per kilo per jam penerbangan pada Juni 2018 menjadi Rp9.100 per kilo per jam penerbangan pada Januari 2019.
Sementara itu, maskapai Lion Air menaikkan tarif kargo penerbangan Jakarta-Padang tertinggi sebesar 176% dari Rp5.000 per kilo per jam penerbangan pada awal Oktober 2018 menjadi Rp13.800 per kilo per jam penerbangan pada Januari 2019.
Maskapai lainnya, Sriwijaya Air menaikkan tarif kargo paling besar pada penerbangan Jakarta-Maumere sebesar 225% dari Rp14.000 per kilo per jam penerbangan menjadi Rp45.450 per kilo per jam penerbangan.
Selain itu, tarif yang diterapkan pun menjadi flat tidak membedakan penerbangan pagi dan siang. Padahal sebelumnya, penerbangan siang hari tarifnya selalu lebih murah ketimbang waktu lainya.