Operator ojek online sudah menerapkan tarif baru pada 1 Mei 2019. Tarif ini mengalami kenaikan dari sebelumnya mulai Rp2.000 per kilometer (km). Dengan kondisi ini, pengemudi dan konsumen ojek online (ojol) jadi korbannya.
Reasearch Institute of Socio-Economic Development (RISED) merilis hasil riset tentang respons terhadap kenaikan tarif ojol. Dari riset tersebut, diketahui bahwa kenaikan tarif ojek online telah menurunkan pengguna sebesar 75% dan berdampak negatif terhadap pendapatan pengemudi.
Ketua tim peneliti Rumayya Batubara mengatakan pihaknya telah mensurvei sebanyak 3000 responden pengguna ojol yang tersebar di 9 zona wilayah di Indonesia yang mencakup tiga zona yakni, Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Semarang, Palembang, Makassar, dan Malang.
Dari hasil penelitian RISED ini, sebanyak 75% yang menolak kenaikan tarif ojol, sedangkan 27,4% tidak mau sama sekali menambah pengeluaran mereka. Sementara, sebanyak 47,6% hanya mau mengeluarkan tambahan untuk ojol sebesar Rp 4500 hingga Rp 5000/hari.
Chief Corporate Affairs GOJEK Indonesia Nila Marita mengatakan, berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi perusahaan selama tiga hari pertama pemberlakuan tarif uji coba, GOJEK melihat adanya penurunan permintaan (order) GO-RIDE yang cukup signifikan.
"GOJEK melakukan uji coba tarif untuk GO-RIDE di lima kota sesuai dengan pedoman tarif Kepmenhub No. 348/2019," kata Nila dalam keterangan resmi.
Untuk itu, dalam penerapan tarif uji coba ini, GOJEK melakukan berbagai program promosi seperti diskon tarif kepada konsumen. Namun, kata Nila, hal ini baik untuk jangka pendek, namun tidak baik untuk keberlangsungan usaha secara jangka menengah dan panjang.
Dalam jangka panjang, subsidi berlebihan akan mengancam keberlangsungan industri, menciptakan monopoli dan menurunkan kualitas layanan dari industri itu sendiri.
"Subsidi berlebihan untuk promosi atau diskon tarif memberikan kesan harga murah, namun hal ini semu karena promosi tidak dapat berlaku permanen," kata dia.
Kenaikan tarif ojek online per zonasi
Sementara, Rumayya mengungkapkan, berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) 348/2019, kenaikan tarif untuk Zona II yang meliputi wilayah Jabodetabek sebesar Rp2.000-Rp2.500/km. Namun, ia mengatakan tarif ini adalah harga bersih yang diterima oleh driver, belum termasuk jasa aplikator.
"Jadi kalau tarif yang dibayar oleh konsumen bisa lebih besar dari itu, jadi sekitar Rp2.500 hingga Rp3.125 tiap kilometernya," katanya di Jakarta, Senin (6/5).
Sementara itu, kata dia, tarif jarak minimum juga naik dari biasanya. Untuk jarak 4 km ke bawah, meningkat dari yang semula Rp8.000 menjadi Rp10.000-Rp12.500.
"Sedangkan jarak tempuh rata-rata konsumen untuk Zona II adalah 7-10km/hari. Ini akan meningkatkan pengeluaran konsumen Rp6.000-15.000/hari," ujarnya.
Kesejahteraan pengemudi menurun
Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal, dalam regulasi tersebut, pemerintah mengalihkan beban biaya operasional yang semestinya ditanggung oleh apliktor kepada konsumen. Hal ini yang menyebabkan tarif ojol harus naik.
Ke depan, kata Fithra, kenaikan tarif ini akan menyebabkan peralihan konsumen dari ojol ke transportasi massa lainnya atau bahkan ke kendaraan pribadi.
Ia mengatakan, hal ini karena sebagian besar pengguna ojol adalah kalangan menengah ke bawah.
"Faktor pertimbangan mereka pertama menggunakan ojol adalah masalah harga. Waktu adalah sesuatu yang masih mereka bisa usahakan, budget sudah tidak bisa lagi," katanya.
Ia melanjutkan, meski memiliki alternatif transportasi massal lainnya. Ia menduga para konsumen akan kembali beralih ke kendaraan pribadi. Sebab, sebagian besar konsumen menggunakan ojol untuk jarak dekat atau sebagai penghubung (feeder) ke transportasi massal.
Ia menilai, hal ini dapat dilihat dari tidak adanya integrasi antar transportasi massal di kota besar seperti Moda Raya Terpadu (MRT), TransJakarta, KRL Commuterline, dan angkutan umum lainnya.
Lebih jauh, ia mengatakan, kenaikan tarif ojol ini akan berdampak pada berbagai sektor. Berkurangnya pengguna ojol jarak dekat, akan turut mengurangi jumlah pengguna transportasi massa lainnya.
"Kalangan kelas menengah ke bawah ini akan meresa lebih hemat untuk menggunakan kendaraan pribadi dibanding transportasi umum, dan ini memukul sektor lainnya," katanya.
Lebih jauh, Fithra mengatakan, berkurangnya konsumen juga akan memangkas pendapatan mitra atau pengemudi ojol. Hal ini, lanjut dia, yang harus diperhatikan dengan baik oleh pemerintah.
"Mereka sudah jadi unicorn, bahkan decacorn. Tapi kok tidak ada transfernya ke arah mitra pengemudi. Padahal kalau kita bicara mitra dia harus dapat shareholder," katanya.
Senada, Rumayya mengatakan, pemerintah harusnya melakukan evaluasi tarif ojol tersebut dengan melakukan kajian berkala sesuai dengan kondisi objektif di masyarakat.