Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan menetapkan skema batas atas dan batas bawah untuk besaran tarif ojek online. Penghitungan tarif ini juga berdasarkan komponen langsung dan tidak langsung.
"Akan ditentukan formula tarif batas atas dan tarif batas bawah. Ini juga sesuai masukan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), agar tarif tidak dimainkan," kata Direktur Angkutan Multimoda Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Ahmad Yani di Jakarta, Selasa (19/3).
Sebelumnya, Permenhub 12/2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat sudah diterbitkan pada 11 Maret 2019.
Dalam beleid ini disebutkan penghitungan tarif ojek online akan ditentukan berdasarkan biaya operasional yang terdiri atas penyusutan kendaraan, bunga modal, pengemudi, asuransi, pajak kendaraan bermotor, dan bahan bakar minyak.
Selain itu, pemeliharaan dan perbaikan, serta penyusutan telepon seluler, pulsa atau kuota internet dan profit mitra atau pengemudi. Untuk komponen biaya langsung, yang diperhitungkan adalah jasa penyewaan aplikasi.
Selain itu, kata Yani, regulasi tersebut juga mengatur aspek keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan, dan keteraturan. Misalnya, pengemudi juga tidak boleh melebihi satu orang dan harus menguasai wilayah operasi.
Perusahaan aplikasi juga harus memenuhi ketentuan, antara lain mencantumkan identitas pengemudi dan sepeda motor yang tercantum dalam aplikasi. Selain itu, mencantumkan nomor telepon layanan pengaduan dalam aplikasi dan menyediakan tombol darurat untuk penumpang dan pengemudi.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiadi mengatakan, apabila pengemudi ojek online menolak usulan tarif dari Kemenhub yang sebesar Rp2.400/km, pihaknya akan melakukan rapat lanjutan dengan aplikator untuk menetapkan tarif dengan kesepakatan bersama.
"Kalau aplikator rata-rata usulannya Rp2.000 sampai Rp2.100 per kilometer. Tapi, kalau dari pengemudi Rp2.400/km itu sudah bersih," kata Budi.
Nantinya, besaran tarif pun bisa berubah sesuai hasil evaluasi Kemenhub setiap tiga bulan sekali. Adapun hal yang dievaluasi mencakup perkembangan ekonomi dan moneter.
Budi juga menyampaikan, dalam aturan Permenhub 12/2019 ini disebutkan, aplikator dan pemerintah daerah harus menyediakan shelter untuk penurunan dan penjemputan penumpang di beberapa titik di daerah.
"Aplikator, Kemenhub, pemerintah daerah, wajib sekali menyediakan shelter. Kami dorong semuanya untuk menyiapkan itu," kata Budi.
Batasan tarif menguntungkan pengemudi dan penumpang
Pengamat dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai penetapan batas atas dan batas bawah untuk ojek online akan menguntungkan pengemudi dan pengguna.
Jika tarif ojek online dipatok terlalu rendah, maka pengemudi tidak bisa mendapatkan haknya dengan optimal. Sedangkan, untuk konsumen akan membahayakan keselamatan.
"Sehingga dengan tarif atas dan bawah, gak ada lagi kericuhan. Jadi, sama halnya seperti pengenaan tarif jika menggunakan taksi reguler," kata Djoko kepada Alinea.id, Selasa (19/3).
Djoko mengaku dirinya juga sudah mengikuti rapat bersama oleh Kementerian Perhubungan, juga bersama para pengusaha aplikasi ojek online. Dia menyebut dalam rapat itu telah diusulkan batas bawah sebesar Rp2.600/km dan batas atas Rp3.500/km. Adapun juga ditetapkan batas dasarnya sebesar Rp3.000/km.
"Pengenaan tarif itu dibagi beberapa wilayah. Tarif batas atas dan bawah itu hanya untuk di Jakarta saja. Di luar Jakarta, dibagi lagi beberapa wilayah, tapi saya lupa di mana saja. Tapi ini masih belum final," ujarnya.
Tarif batas atas itu, kata Djoko, telah memperhitungkan waktu sibuk (peak hour) seperti ketika musim hujan atau di saat terjadi macet. Harapanya, dengan pengenaan tarif atas dan bawah ini, pemerintah bisa tahu ruas mana saja yang aktif.
Hal yang penting dalam penentuan tarif ini, kata Djoko, pemerintah juga harus mementingkan persoalan keselamatan, kemitraan, dan biaya jasa.