Tarot reading: Alternatif tetap waras kala pandemi
Pembatasan sosial di masa pandemi membuat tingkat stres dan kecemasan Irine (32) meningkat. Sebagai tipikal orang yang aktif berkegiatan, ia merasa begitu tertekan kala harus berdiam diri di rumah.
Berbagai masalah kehidupan, beban pekerjaan hingga kisah asmara pun, menjadi terasa semakin berat. Sementara, aktivitas jalan-jalan maupun nongkrong sambil berkeluh kesah bareng teman-temannya sulit dilakukan.
Karyawan swasta yang berdomisili di Jakarta itu pun tak tinggal diam untuk menjaga kesehatan mentalnya. Dia akhirnya menggunakan jasa psikolog profesional. Namun tak sebatas itu, Irine juga acap kali menghubungi pembaca tarot (tarot reader) baik untuk sekadar ngobrol atau mendapat masukan dari penyelesaian masalahnya.
Selama pandemi, intensitas tarot reading Irine bisa meningkat paling banyak seminggu dua kali. Baginya, tarot reading dalam kondisi tertentu, seolah sudah menjadi emergency call 911 (siaga). Terlebih, di kala psikolognya masih sulit dihubungi karena panjangnya antrean.
"Bukan untuk hal serius sih, biasanya untuk ngebaca yang butek (pikiran ruwet). Sebenarnya kita ngeh tapi kita enggak tau poinnya gimana. Mereka (tarot reader) ngebuka jalan," cerita Irine kepada Alinea.id, Kamis (15/7).
Perkenalannya dengan tarot pertama kali terjadi saat dirinya masih berkuliah di Yogyakarta Jawa Tengah. Kala itu, banyak lingkaran pertemanannya yang erat dengan dunia tarot. Dia pun sempat menjajal untuk dibacakan oleh beberapa tarot reader hingga akhirnya mengetahui mana yang paling cocok untuk dirinya.
"Aku suka yang interaktif," ujar perempuan asal Semarang, Jawa Tengah itu.
Dia menyebut layanan psikolog dan tarot reader bisa saling melengkapi untuk menjaga kewarasannya kala pandemi. Selain tentu saja kegiatan lain seperti memasak yang berguna sebagai meditasi.
"Psikolog itu kayak mandatory supaya tetap stabil seperti how to handle anxiety (menangani kecemasan). Nah, tarot itu kayak mengevaluasi, kenapa ada di tahap seperti itu," kata dia.
Irine kini mempunyai beberapa langganan tarot reader dengan rate sekali konsultasi mulai dari puluhan ribu per sesi/jam hingga ratusan ribu rupiah. Tarif ini mirip dengan harga konseling psikolog profesional.
"Kalau lagi butuh yang interactive reading memang yang lebih mahal," ujarnya.
Pengalaman serupa dialami oleh Ana (25). Sampai saat ini, sudah sebanyak tiga kali Ana mengakses layanan pembacaan tarot berbayar. Dalam sekali sesi tarot reading, Ana mengaku mengeluarkan ongkos sekitar Rp100.000-an hingga Rp150.000-an.
Suatu ketika, Ana sedang mendapatkan suatu masalah, dan temannya kebetulan menawarkan layanan tarot reading dengan harga diskon.
"Pas pertama kali itu, pas ngerasa buntu. Dibacakan lumayan terbantu," ujar Ana kepada Alinea.id, Rabu (14/7).
Sebagai orang yang juga mengakses layanan profesional psikologi untuk kesehatan mentalnya, Ana mengaku menjadikan tarot sebagai alternatif masukan dalam pengambilan keputusan. Dia menyebutnya, second opinion.
"Tapi jangan dijadikan tarot sebagai first opinion. Tetap asking for help (minta pertolongan) ke profesional," kata perempuan yang tinggal di Jakarta Selatan tersebut.
Di sisi lain, perbedaan karakteristik tarot reader juga menjadi pertimbangan tersendiri bagi Ana. Dari pengalamannya selama ini, tarot reader yang cukup cocok dengan dirinya adalah yang mempunyai kemampuan menjelaskan babak kehidupan yang dialami terkait dengan berbagai pengetahuan. Sebut saja, psikologi, perspektif gender, mental health issues, hingga isu sosial sampai astrologi.
"Dia juga enggak kayak menasihati dan judgmental, kayak teman ngobrol aja," katanya.
Aneka persoalan pernah Ana tanyakan saat tarot reading. Baik ketika berbayar ataupun secara cuma-cuma. Mulai dari masalah asmara, keuangan, hingga kondisi masalahnya sehari-hari.
"Kalau untuk berbayar, pasti udah gue siapin pertanyaannya karena lumayan kan ngeluarin duit. Kalau buat have fun biasanya sama teman sendiri atau lewat aplikasi tarot," kata lulusan universitas di Bandung itu.
Lain lagi cerita Reni (30). Ia mengenal kartu yang kemungkinan asal usulnya disebutkan dalam sebuah surat dari Duke of Milan ini di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.
Kala itu, ia hanya merogoh kocek sekitar Rp30.000-an. Kini, ia mempunyai satu geng pertemanan yang mempunyai agenda kegemaran bersama yaitu tarot reading.
"Aku punya teman kuliah di AS. Sambil kuliah dia belajar tarot dan dia sering bacain gitu. Kalau sama stranger (orang tak dikenal) dia udah berbayar, tapi kalau sama kita-kita ya dibacain saja," ujar Reni kepada Alinea.id, Kamis (15/7).
Semula membaca kartu tarot hanyalah kegiatan mengisi waktu luang di masa pandemi bersama teman-temannya. Namun, kegiatan ini ternyata cukup membantu dirinya. Utamanya, sebagai afirmasi positif dan saran untuk memahami kondisi kehidupannya.
"Dia tahu teori dalam psikologi dan gimana menghadapi masalah, jadi kayak ngerasa resonated (bergetar)," kata perempuan yang berdomisili di Jakarta itu.
Meski begitu, kata Reni, temannya di akhir sesi selalu mengingatkan bahwa tarot reading hanya sebagai alternatif yang sebaiknya diambil sisi positifnya. Jadi, tidak mematoknya sebagai satu-satunya panduan mengambil keputusan.
Terguncang kala pandemi
Masa pandemi memang menyebabkan gejolak terhadap kondisi kejiwaan masyarakat. Lembaga riset kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) mengungkap, berdasarkan data swaperiksa yang dihimpun Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) per April hingga Agustus 2020, sebanyak 3.443 orang yang melakukan swaperiksa ternyata mengeluhkan masalah psikologis.
Sekitar 47,9% diantaranya memperlihatkan gejala kecemasan, diikuti 36,1% menunjukkan gejala depresi dan 16% lainnya menyampaikan permasalahan trauma psikologis. Dari seluruh data responden dari 34 provinsi tersebut, 85% di antaranya ialah perempuan.
Psikolog sekaligus Therapeutic Play Practitioner Alva Paramitha (@alvaparamitha) mengatakan selama masa pandemi, jumlah permintaan layanan konselingnya tercatat meningkat signifikan yaitu sampai tiga kali lipat.
"Kalau lagi penuh banget, maksimal sehari bisa tangani klien 5 sampai 7 klien," ujar Alva dihubungi Alinea.id, Rabu (14/7).
Dia tak memungkiri, peningkatan itu tak lepas dari kondisi pandemi yang membuat banyak orang menjadi lebih tertekan dan mengalami stres. Tak jarang, pasiennya juga sudah mengalami gangguan klinis seperti ada kecenderungan emosi bergejolak drastis (swing) sampai depresi berat.
Kaitannya dengan ini, penggunaan metode kartu therapeutik menjadi salah satu langkahnya saat konseling dengan klien. Tekniknya, dia menggunakan kartu-kartu yang mempunyai visual fotografi tertentu yang digunakan sebagai media dalam menginterpretasikan emosi hingga menjadikan alat bantu konseling.
“Sebenarnya tekniknya kayak menguak alam bawah sadar. Memilih kartu mau terbuka atau tertutup kan, secara rumus, segala sesuatu pilihan kita didasari oleh alam bawah sadar,” ujarnya yang membuka praktik di Rawamangun, Jakarta Timur.
Adapun kartu tarot, menurutnya, berguna sebagai alat dalam membantu konseling. Itu menjadi bagian dalam proses healing (penyembuhan) yang membutuhkan kemampuan konselor secara pengetahuan seperti psikologi dan intuisi.
“Sudah pasti pemahaman psikologinya harus jalan. Selain pengetahuan, dia butuh jam terbang yang menajamkan intuisi,” imbuh dia.
Penulis The Healing Flowers tersebut juga menggunakan pembacaan astrologi hingga ramuan remedi yang diperuntukkan bagi kliennya.
"Untuk range harga, Rp1 juta/sesi tiap 1-1,5 jam sudah include dengan pulang membawa remedi batchflower. Karena pandemi sekarang online," kata pemilik akun instagram @mswellbeing_jakarta itu.
Sementara itu, Salah seorang praktisi tarot reader yang berdomisili di Bali, Arin (@sadwardhartitarot) mematok tarif sekitar Rp150.000 untuk sekali sesi per jam. Sedangkan untuk paket astrologi reading sebesar Rp400.000 dan couple reading Rp250.000 per sesi/jam.
"So far, paling sepi seminggu sekali. Paling ramai, tahun lalu pertengahan, seminggu 3 kali," ujar Arin ketika dihubungi Alinea.id, Rabu (14/7).
Arin mengaku memang tidak hanya berbekal bakat intuisinya dalam membaca tarot. Dia juga elaborasikan dengan berbagai pengetahuan. Seperti, ilmu psikologi, pemahaman soal mental health issues hingga astrologi.
Arin yang mempunyai klien sampai Dubai, Uni Emirat Arab ini, mengatakan pembacaan tarot bisa dikatakan seperti membaca kemungkinan. Sehingga, bukan penentu akhir atau pedoman utama dari pengambilan keputusan.
"In the end, this is probability. Tergantung diri sendiri," ujar Arin.
Alat bantu
Intuitive Tarot Reader sekaligus Associate Mindfulness Facilitator Rumah Remedi, Bentara Bumi mengatakan dirinya mempunyai kode etik tersendiri dalam perannya sebagai tarot reader dan konselor.
"Meskipun ada kesamaan tapi ada perbedaan mendasar," ujar Bumi kepada Alinea.id, Jumat (16/7).
Sebagai tarot reader, Bumi bisa lebih fleksibel memberikan solusi taktis. Namun sebagai konselor, fungsinya lebih pada menemani proses hingga klien bisa menemukan jawabannya sendiri.
Meski demikian, dia menjadikan tarot sebagai salah satu 'jembatan' untuk bisa melanjutkan sesi konseling. Semisal pada kasus yang permasalahannya kompleks.
"Aku mengarahkan dia mengambil sesi konseling atau meditasi sama aku," katanya.
Jika ditilik secara teorinya, Human Design Analyst & Psychotherapist Rishita Dewi, menjelaskan tarot yang terdiri dari 78 kartu sarat dengan simbol. Co-Founder Rumah Remedi ini menyebut, menurut Carl Jung, Bapak Analytical Psychology (Psikologi Analitik) tarot merupakan penggambaran dari arketipe (archetype), yaitu struktur-struktur psikis yang identik dan universal yang membentuk warisan arkais (kuno) manusia.
Arketipe ini bersumber dari ketidaksadaran kolektif (collective unconscious). Sebagai struktur yang bersifat universal, Arketipe diwariskan dari masa lampau untuk kemudian 'diisi' dengan pengalaman hidup manusia.
"Saya lebih merujuk tarot sebagai alat bantu untuk proses mengenal diri dan alat bantu untuk konseling," ujar Sitha kepada Alinea.id, Jumat (16/7).
Dengan bantuan tarot, menurutnya, seorang fasilitator dapat memandu klien untuk mengenal layer demi layer potensi dan tantangan dalam diri. Termasuk, membantu untuk memetakan masalah yang terkadang tak dapat terlihat karena terlalu larut di dalamnya.
Tarot kata dia, juga berperan sebagai cermin, menangkap hal-hal yang ada di area unconscious yang dapat membantu klien untuk menyadari situasi serta kemungkinan-kemungkinan solusi dari masalah.
"Ketika klien dapat berbagi kisah hidupnya dan bisa melihat masalah dengan lebih jelas maka ini akan membuat klien untuk dapat membuat pilihan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah yang dia hadapi," jelasnya.
Hal terpenting yang diperhatikan dalam tarot reading, menurut Sitha adalah sosok dibalik tarot, kapasitas dan skill dari fasilitator/tarot reader karena pada akhirnya tarot adalah tool (alat).
"Memiliki empati, fokus dan peduli dan tidak memaksa atau mengarahkan klien, memberikan pilihan kepada klien untuk memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri," terang praktisi yang telah menyandang Certified Therapeutic Play tersebut.
Tarot reading, menurut Sitha, memang bisa dijadikan alternatif untuk mendapatkan second opinion atau curhat. Namun, dia menekankan, ketika kondisi psikologis sudah berdampak pada sensasi tubuh yang tidak nyaman, mengganggu produktivitas sampai relasi sosial, maka sebaiknya perlu menghubungi praktisi kesehatan mental profesional. Utamanya yang terdaftar dan teregistrasi seperti psikolog, psikiater hingga psikoterapis.