Tatkala penggilingan padi dan pedagang beras kebingungan
Pelaku usaha penggilingan padi dan pedagang beras di berbagai daerah dilanda kebingungan. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2023 ini banyak anomali atau penyimpangan melanda dunia perberasan. Kondisi saat ini sulit 'dibaca' dengan menggunakan pola dan pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya.
Pemilik penggilingan dan pedagang beras di Lampung, kepada Alinea.id, Kamis (9/3), mengungkapkan kebingungannya.
"Pengalaman tahun-tahun sebelunya jika daerah Mesuji panen, harga gabah akan turun. Saat ini harga gabah justru naik. Bingung kita," kata narasumber yang tak mau disebutkan namanya itu.
Ia menerangkan, panen di Provinsi Lampung belum merata. Masih mencakup Kabupaten Mesuji, daerah Rawa Jitu di Kabupaten Tulang Bawang, dan wilayah Tugu Mulyo di Lampung Tengah. Berbatasan dengan Sumatera Selatan, gabah di Lampung sebagian mengalir ke Palembang, tempat sejumlah penggilingan besar berdiri.
Linglung juga menerpa pemilik penggilingan padi di Karawang, Jawa Barat. Saat ini, jelas narasumber Alinea.id, panen padi di Jawa Barat baru mulai di beberapa daerah. Seperti di Indramayu, Sumedang, dan Cirebon. Ia memperkirakan, panen padi merata di Jawa Barat baru terjadi pada April mendatang.
Karena itu, ia yakin harga gabah tidak akan turun dalam waktu dekat. "Ajaib tahun ini. Sepertinya pasokannya (terbatas). Agak susah membacanya. Setiap pabrik rata-rata stoknya kosong. Jadi, mereka menyerap gabah dulu. Setelah kenyang, baru harga turun," jelas narasumber yang tak mau disebut namanya itu, Kamis (9/3).
Yang dia khawatirkan, ketika panen padi di Jawa Barat merata justru provinsi ini 'diserbu' pembeli dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Harga akan meroket. Sebab, April nanti panen di Jawa Tengah diperkirakan hampir habis. Puncak panen di Jawa Timur pun sudah lewat. Panen padi melimpah tinggal di Jawa Barat dan Lampung.
Pasar panik
Analisis dua pemilik penggilingan padi dan pedagang beras itu diamini oleh narasumber Alinea.id yang ada di Yogyakarta. Pemilik penggilingan yang juga pedagang beras itu menerangkan, panen padi di Jawa Tengah bagian selatan sudah mencapai 70%. Namun, kata dia, padi dari Jawa Tengah banyak 'lari' ke Jawa Timur.
"Dua minggu ini, ada kepanikan seolah-olah barang akan habis. Walau surat edaran tentang batas atas pembelian gabah atau beras Badan Pangan Nasional (Bapanas) dicabut (7 Maret 2023), kekuatan pasar menentukan. Karena di Jakarta penjualan beras medium super sebesar Rp10.500 gak kenceng-kenceng banget saat ini ini," kata narasumber yang tak mau disebutkan namanya itu, Kamis (9/3).
Saat panen di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Februari 2023 lalu, padi 'lari' keluar daerah. Meskipun tiap daerah di Jawa Tengah sedang panen, pada awal Maret 2023 itu harga gabah tetap tak terkendali. Para pedagang bergerilya mencari informasi harga termurah di berbagai daerah, dari Demak, Weleri hingga Kendal.
Tidak mudah juga mendapatkan gabah di pasar. "Saya bisa dapat barang dengan taruh uang di penebas. Kalau gak naruh uang di penebas, gak dapat (barang). Dahulu, ambil barang saya bayar dua hari kemudian bisa dapat gabah. Cari berapa pun dapat. Hari ini kita taruh uang, gabah baru didapat besok," kata narasumber itu.
Kepanikan ini terjadi, urai narasumber itu, dipicu oleh kemudahan akses informasi. Semua orang bisa mengakses informasi harga dengan mudah. Masalahnya, informasi itu seringkali tidak komplet. Misalnya, harga gabah kering panen (GKP) di Jawa Timur lebih mahal Rp300 hingga Rp400/kg ketimbang harga di Jawa Tengah.
Informasi yang bertaburan di grup-grup aplikasi percakapan WhatsApp (WA), kata dia, menuntut harga GKP di Jawa Tengah sama dengan di Jawa Timur. Padahal, urai dia, harga GKP di Jawa Timur lebih mahal karena rendemen gabah ketika digiling jadi beras lebih bagus ketimbang di Jawa Tengah. Rendemen gabah yang dibeli di Lamongan dan Tuban, Jawa Timur, bisa 67-70% saat diolah jadi beras pecah kulit.
GKP di Purworejo dan Cilacap, Jawa Tengah, urai sumber itu, rendemennya lebih rendah ketimbang di Lamongan dan Tuban. Rendemen selalu ia cek melalui mesin pengering (dryer) yang ada di penggilingan miliknya. "Hari-hari ini, quality control tidak terpakai," kata narasumber itu sembari tertawa lebar.
Yang berduit manfaatkan situasi
Dari Sidoarjo, Jawa Timur, pemilik penggilingan yang juga pedagang beras mengamini dunia perberasan saat ini acak adut. Sejak surat edaran batas atas pembelian gabah atau beras Bapanas dicabut, pasar bergerak tanpa acuan. "Ini dibaca berbagai kalangan, bukan hanya penggilingan kecil, menengah, dan besar," kata narasumber yang tak mau disebutkan jati dirinya itu, Kamis (9/3).
Kepada Alinea.id, narasumber itu memastikan situasi tanpa acuan ini dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk mengail keuntungan besar. Salah satu yang bertaruh, kata dia, mereka yang berduit tebal dengan cara berbelanja gabah untuk disimpan.
Penggilingan padi berskala besar juga ikut berselancar sebagai penentu harga dengan menawarkan harga pembelian yang lebih tinggi. Akan tetapi, kata sumber itu, situasi ini telah dibaca oleh para penebas yang bergentayangan di desa-desa untuk membeli gabah petani. Persaingan harga semakin tidak terkendali.
"Dalam sehari, harga bisa naik antara Rp500 hingga Rp1.000/kg," urai sumber itu.
Sebagai ilustrasi, pada saat surat edaran Bapanas dicabut 7 Maret 2023, harga GKP di tingkat penggilingan di Ngawi dan Mojokerto baru Rp4.650/kg. Besoknya, 8 Maret 2023, merujuk informasi yang beredar di kalangan pemasok gabah dan beras ke PT Wilmar Padi Indonesia, harga pembelian GKP naik menjadi Rp5.700/kg.
"Per hari ini (Minggu, 12 Maret 2023), harga GKP di penggilingan jadi Rp6.200/kg. Harga pagi dan siang berubah. Situasi ini berlanjut sampai Harga Pembelian Pemerintah (HPP) diterbitkan. Jika ini berlanjut, pasar terus tak terkendali. Kalau dibiarkan, April harga Rp6.500/kg bahkan Rp7.000/kg bisa terlampaui," kata dia.
Pasokan-permintaan tak imbang
Narasumber itu meyakini, kondisi ini menandakan tidak seimbangnya pasokan dan permintaan di pasar. Salah satu indikatornya, kata dia, adalah munculnya fenomena panen raya padi tapi harga tinggi dan mencari gabah/beras susah.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2023 ini potensi produksi beras mencapai 5,27 juta ton. Dikurangi kebutuhan konsumsi bulanan sebesar 2,51 juta ton, ada surplus 2,76 juta ton beras. Jumlah ini lebih besar ketimbang surplus pada Februari (1,17 juta ton) dan April (1,0 juta ton beras) 2023.
Jika proyeksi ini tidak meleset berarti Maret adalah puncak panen raya. Menurut sebaran wilayah, BPS mencatat, 10 kabupaten/kota dengan potensi surplus beras terbesar pada Maret adalah Indramayu (sebesar 123,38 ribu ton), Banyuasin (115,95 ribu ton), Majalengka (114,73 ribu ton), dan Kebumen (106,56 ribu ton).
Lalu, Sidenreng Rappang (95,14 ribu ton), Cilacap (90,32 ribu ton), Ngawi (84,05 ribu ton), Grobogan (77,22 ribu ton), Bojonegoro (76,98 ribu ton), dan Blora (76,66 ribu ton).
Kalau kondisi di lapangan tidak membaik, narasumber Alinea.id itu meyakini, ini awal munculnya rawan pangan yang berawal dari krisis beras. Bagi pemerintah dan Bulog, kata dia, pertaruhan waktu hanya di bulan Maret 2023 ini.
"Jika HPP baru tak diterbitkan pada Maret, Bulog gak dapat barang. Pada Mei, panen di Jatim dan Jateng habis, tinggal Jabar. Kalau Bulog hanya mennyerap 300.000 ton dari target 2,4 juta ton beras, ketahanan pangan akan guncang," jelas dia.
Karena kondisi inilah, kata dia, penggilingan padi besar berani menaikkan harga pembelian. "Berapapun penggilingan besar punya barang, akan habis di bulan September, Oktober, dan November hingga Desember. Tinggal dia punya modal dan daya tampung. Selagi (daya tampung) belum penuh, masih liar, buas. Ibarat harimau, akan terus memangsa. Dari manapun beras berasal," urai dia.