Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam menilai tax amnesty jilid dua adalah bentuk insentif yang diberikan pemerintah atas ketidakpatuhan pengemplang pajak.
Ia berpendapat, seharusnya insentif diberikan kepada para wajib pajak yang dianggap berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Bukan malah memberikan insentif kepada pengemplang pajak, yang justru kontradiktif.
"Kalau tax amnesty jilid dua benar-benar akan dimunculkan, maka ini adalah insentif atas ketidakpatuhan wajib pajak," katanya dalam diskusi Berharap Tax Amnesty Jilid 2, di Hotel Milenium, Jakarta, Rabu (14/8).
Dia mengatakan, berdasarkan teori piramida yang dikeluarkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), ada empat model bagaimana perlakuan otoritas pajak terhadap wajib pajak.
Kelompok pertama, diklasifikasi berdasarkan wajib pajak patuh. Kedua, yang ingin patuh. Ketiga, yang perilakunya situasional, ketika aturannya ketat akan patuh dan ketika aturanya longgar akan lari. Dan klasifikasi terakhir yang memutuskan untuk tidak patuh.
"Kalau kita kembali ke jilid pertama dia masuk ke klasifikasi kelompok kedua. Kita berpikir wajib pajak yang belum patuh itu ingin patuh, makanya kita jembatani dengan memberikan tax amnesty," ujarnya.
Namun, akunya, sebagai seorang yang ikut terlibat dalam menginisiasi, saat itu diberi peringatan bagi peserta tax amnesty.
"Kita beri kelonggaran, tapi 'ini terkahir lho', karena teorinya begitu, kalau ada wajib pajak yang ingin patuh kita layani. Kita beri karpet merah, ya insentif-insentif itulah," ucapnya.
Namun, lanjutnya, jika wajib pajak berada pada kelompok ketiga, otoritas berwenang harus melakukan pemerikasan dan melihat rekam jejaknya. Sementara untuk kelompok yang tidak ingin patuh, harus ditempuh jalur hukum.
"Nah kalau yang berada di klasifikasi tidak ingin patuh silakan pergunakan upaya hukum apapun yang dipunyai otoritas pajak bagi mereka yang tidak patuh," tuturnya.
Berdasarkan empat klasifikasi itu, ia mempertanyakan berada di kelompok mana para penganjur tax amnesty jilid dua berada.
"Yang minta itu berada dalam spesifikasi yang mana gitu lho. Jangan sampai wajib pajak patuh itu yang dikejar-kejar, wajib pajak tidak patuh dikasih insentif, jangan sampai terbolak-balik," katanya.
Tak sampai 5%
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam mengatakan penerimaan negara dari pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2016-2017 lalu tak sampai 5%.
Pasalnya, lanjut Piter, berdasarkan potensi yang pernah ia hitung dengan Bank Indonesia, jumlah uang yang tidak dilaporkan pajaknya nominalnya mencapai ribuan triliun.
"Dari yang pernah CORE hitung, tax amnesty jilid 1 tak sampai 5%, saya lupa angkanya, tapi kalau dibandingkan dengan data dari Kemenkeu, itu jauh lebih besar lagi. Ribuan triliun," katanya pada kesempatan yang sama.
Dia mengatakan, potensi yang dihitung Kementerian Keuangan lebih besar karena memasukan sejumlah bisnis gelap yang sudah berjalan sejak tahun 90-an.
"Di Kementerian Keuangan jauh lebih besar lagi. Lebih amazing. Karena angka itu adalah akumulasi dari semua harta ilegal pada masa 90-an, dari penggelapan, penebangan hutan, penambangan pasir, drugs itu terhitung semua. Belum lagi yang sifatnya penggelapan pajak, nilainya luar biasa," ucapnya.
Sementara itu pelaporan pajak dari program tax amnesty tahun 2016-2017 lalu, telah diikuti oleh 956.000 wajib pajak, dengan deklarasi harta sebesar Rp4.855 triliun, dana repatriasi sebesar Rp147,1 triliun, dan uang tebusan sebesar Rp135 triliun.
Hanya saja, lanjut Piter, belum ada tindak lanjut bagi para pengemplang yang belum melaporkan pajaknya tersebut. Padahal, katanya, Kementerian Keuangan pun sudah memiliki semua data dari para pengemplang tersebut.
"Harus ada konsekuensi yang harus diberikan pada para pengemplang untuk membuktikan bahwa pemerintah komitmen dengan kebijakan yang dia buat," ujarnya.
Lebih lagi, belakangan memunculkan suara-suara pengusaha yang menginginkan diberikannya tax amnesty jilid dua bagi pengusaha yang tidak mengikuti pengampunan pajak sebelumnya.
Namun demikian ia mahfum dengan tindakan yang diambil pemerintah. Menurut dia, dengan besaran kekayaan yang dimiliki oleh pengemplang menandakan bahwa mereka bukan "orang biasa".
"Saya kira untuk menindak ini memang enggak gampang ya, posisi mereka dan mereka ini bukan orang-orang biasa. Enggak mungkin dengan harta kekayaan seperti itu mereka adalah orang biasa, saya kira pendekatan dan eksekusinya pasti tidak mudah," selorohnya.
Oleh karena itu, tuturnya, pemerintah lebih memilih untuk mengejar yang mudah dikejar, dan terjangkau.
"Makanya langkahnya yang mudah dan patuh yang dikejar. Mereka yang tidak patuh tetapi potensinya besar dan berada di luar negeri kan pendekatannya tidak mudah, ya kemungkinan cari yang gampang-gampang saja daripada yang sulit, yang risikonya kecil," tuturnya.