Soal tax amnesty jilid dua, CITA: Jangan sampai ada yang merasa dikhianati
Pemerintah berencana meluncurkan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid dua. Bahkan, Presiden Joko Widodo pun telah mengirimkan surat kepada DPR untuk segera membahas hal tersebut di dalam revisi RUU KUP tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Menanggapi hal tersebut, pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, tax amnesty jilid dua ini akan menjadi kontraproduktif dengan tujuan pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak.
Dengan waktu peluncuran tax amnesty jilid dua yang berdekatan setelah jilid pertama di 2016, akan membuat wajib pajak peserta tax amnesty jilid pertama merasa dikhianati, dan berujung pada menurunnya tingkat kepatuhan wajib pajak.
"Kalau desain kebijakannya sama dengan amnesti pajak 2016, saya kira ini kontraproduktif. Wajib Pajak yang ikut amnesti pajak pada 2016/2017 akan merasa dikhianati. Konsekuensinya, tingkat kepatuhan akan turun," katanya kepada Alinea.id, Jumat (21/5).
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk membuat desain kebijakan yang berbeda dengan tax amnesty jilid pertama, jika pengampunan pajak lanjutan tersebut tetap ingin diberikan pada tahun ini.
Hal ini untuk memastikan agar wajib pajak peserta tax amnesty jilid pertama tidak mengalami kekecewaan terhadap sikap inkonsisten pemerintah, dengan munculnya tax amnesty jilid dua.
"Pemerintah perlu menunjukan bahwasanya mereka konsisten, tidak mengkhianati wajib pajak yang telah mengikuti pengampunan sebelumnya, dan memiliki iktikad baik untuk meningkatkan kepatuhan," ujarnya.
Fajry mengusulkan, desain tax amnesty jilid dua nantinya harus lebih selektif, dan secara benefit tidak lebih baik dibandingkan dengan tax amnesty jilid pertama. Sehingga wajib pajak peserta pengampunan pajak jilid pertama tidak merasa dirugikan.
"Mereka yang telah mengikuti program pengampunan yang lalu tidak merasa dirugikan/dikhianati oleh pemerintah. Mereka merasa untung, ikut program yang lalu karena mendapat benefit yang lebih besar dan tidak terlalu selektif," ucapnya.
Pemerintah berencana meluncurkan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid dua. Bahkan, Presiden Joko Widodo pun telah mengirimkan surat kepada DPR untuk segera membahas hal tersebut di dalam revisi RUU KUP tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Menanggapi hal tersebut, pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, tax amnesty jilid dua ini akan menjadi kontraproduktif dengan tujuan pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak.
Dengan waktu peluncuran tax amnesty jilid dua yang berdekatan setelah jilid pertama di 2016, akan membuat wajib pajak peserta tax amnesty jilid pertama merasa dikhianati, dan berujung pada menurunnya tingkat kepatuhan wajib pajak.
"Kalau desain kebijakannya sama dengan amnesti pajak 2016, saya kira ini kontraproduktif. Wajib Pajak yang ikut amnesti pajak pada 2016/2017 akan merasa dikhianati. Konsekuensinya, tingkat kepatuhan akan turun," katanya kepada Alinea.id, Jumat (21/5).
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk membuat desain kebijakan yang berbeda dengan tax amnesty jilid pertama, jika pengampunan pajak lanjutan tersebut tetap ingin diberikan pada tahun ini.
Hal ini untuk memastikan agar wajib pajak peserta tax amnesty jilid pertama tidak mengalami kekecewaan terhadap sikap inkonsisten pemerintah, dengan munculnya tax amnesty jilid dua.
"Pemerintah perlu menunjukan bahwasanya mereka konsisten, tidak mengkhianati wajib pajak yang telah mengikuti pengampunan sebelumnya, dan memiliki iktikad baik untuk meningkatkan kepatuhan," ujarnya.
Fajry mengusulkan, desain tax amnesty jilid dua nantinya harus lebih selektif, dan secara benefit tidak lebih baik dibandingkan dengan tax amnesty jilid pertama. Sehingga wajib pajak peserta pengampunan pajak jilid pertama tidak merasa dirugikan.
"Mereka yang telah mengikuti program pengampunan yang lalu tidak merasa dirugikan/dikhianati oleh pemerintah. Mereka merasa untung, ikut program yang lalu karena mendapat benefit yang lebih besar dan tidak terlalu selektif," ucapnya.
Sementara itu, praktisi perpajakan Ronsianus B Daur mengungkapkan, tax amnesty jilid dua ini akan menjadi oase di tengah pandemi Covid-19.
Pasalnya, dengan anjloknya ekonomi di berbagai sektor saat pagebluk melanda berbagai negara di dunia membuat ketidakmampuan wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya menjadi tinggi, karena itu menurutnya perlu tax amnesty lanjutan.
"Buat kami, berita tersebut (tax amnesty) bagaikan oase di padang gurun. Apalagi dalam pantauan kami masih banyak masyarakat yang tidak 'ngeh' terhadap tax amnesty jilid pertama," ujarnya.
Rosianus pun mendorong agar pemerintah segera meluncurkan pengampunan pajak tersebut untuk mengungkap harta kekayaan warga negara Indonesia, baik yang berada di luar negeri maupun di dalam negeri.
Hal ini pun menurutnya penting di lakukan di tengah kemerosotan perekonomian akibat pandemi Covid-19, untuk menghindari kekacauan ekonomi yang dapat ditimbulkan dari lemahnya kemampuan membayar pajak dari masyarakat.
"Kalau pemerintah dan DPR tidak mengeluarkan tax amnesty jilid dua maka endingnya adalah kekacauan ekonomi karena melemahnya kemampuan membayar akibat pandemi yang tidak berakhir," ucapnya.
Adapun, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diketahui, total wajib pajak yang ikut pada tax amnesty jilid pertama sebanyak 956.793 dengan nilai harta yang diungkap sebesar Rp4.854,63 triliun.
Akan tetapi, komitmen repatriasi pajak hanya sebesar Rp147 triliun atau setara dengan 14,7% dari target yang ditetapkan pemerintah mencapai Rp1.000 triliun.
Sedangkan, nilai harta deklarasi dalam negeri sebesar Rp3.676 triliun. Lalu, nilai harta deklarasi luar negeri sebesar Rp1.031 triliun.
Sementara itu, negara hanya menerima uang tebusan sebesar Rp114,02 triliun atau setara dengan 69% dari target Rp165 triliun.
Jika dirinci, uang tebusan terbesar berasal dari wajib pajak orang pribadi nonusaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang mencapai Rp91,1 triliun. Selanjutnya, uang tebusan dari wajib pajak badan non UMKM sebesar Rp14,6 triliun.
Kemudian, uang tebusan dari orang pribadi UMKM sebesar Rp7,73 triliun. Lalu, uang tebusan dari badan UMKM sebesar Rp656 miliar.
"Sangatlah naif kalau kita mengatakan bahwa kita gagal. No! Sekali lagi, no! Kita berhasil mengumpulkan uang tebusan Rp114,02 triliun, dari jumlah pengungkapan harta sebanyak Rp4.885 triliun. Angka yang fantastis!" ucapnya.