close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
Bisnis
Rabu, 13 Januari 2021 07:57

Telemedicine, layanan praktis nan laris manis

Pengguna layanan telemedicine meningkat signifikan karena pandemi Covid-19.
swipe

Sekitar awal Juli 2020, Taufik (28) mengalami nyeri lambung selama beberapa hari. Tak menunggu lama, dia pun menjajal salah satu penyedia layanan telemedicine, Halodoc.

Pengalaman pertama itu ia jalani setelah mendapat rekomendasi dari seorang teman. Karyawan swasta di kawasan Jakarta itupun langsung berkonsultasi dengan dokter melalui website Halodoc. Setelah melakukan pendaftaran dengan mengisi identitas, dia diarahkan untuk memilih dokter dengan spesialisasi serta tempat praktiknya. Hanya sekali klik, konsultasi langsung dilakukan dengan saling berkirim pesan. 

"Chatting sama dokternya cuma 15 menit, ditanya soal gejala yang dirasakan sampai punya alergi atau enggak. Terus dokternya kayak yang sudah paham, ya sudah dikasih resep dan obatnya datang diantar ojek online," ujar Taufik saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (10/1). 

Meski begitu, sang dokter tetap mengingatkannya untuk datang ke klinik terdekat jika selama 2-3 hari tidak ada tanda-tanda perbaikan kondisi. "Tapi syukurnya, waktu itu cocok sih," imbuhnya.  

Alasan kemudahan dan kepraktisan, menjadi pendorong lelaki asal Malang Jawa Timur itu untuk menggunakan salah satu akses layanan telemedicine. Di samping itu, layanan konsultasi online ini harganya juga lebih terjangkau. Dia juga tak perlu merogoh kocek untuk ongkos transportasi menuju fasilitas layanan kesehatan. 

Taufik mengeluarkan biaya Rp10.000 untuk sekali konsultasi daring selama sekitar 60 menit. Jika ditotal dengan biaya obat serta ongkos antarnya, total biaya tidak lebih dari Rp40.000. 

"Sudah kerjasama dengan apotek sama ojek daring gitu kan, jadi bayarnya ya sekalian pakai saldo e-wallet," katanya. 

Layanan konsultasi dokter secara online ini rupanya tak hanya untuk penyakit ringan saja. Pasien Covid-19 pun bisa melakukan konsultasi via telemedicine. Pengalaman ini dialami Harits (26). 

Sekitar Agustus 2020 lalu, dia dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan hasil tes usap. Dalam kondisi bingung dan kalang kabut, Harits sempat menelepon rumah sakit terdekat di tempat tinggalnya di Jakarta. Namun nyatanya, ia tak bisa langsung dirujuk. Akhirnya, ia mengaku mendapatkan layanan virtual untuk berkonsultasi dengan dokter di RS. 

"Pakai zoom, tapi harganya cukup lumayan, merogoh kocek," kata Harits kepada Alinea.id, Minggu (10/1). 

Kemudian, dia memutuskan untuk mengakses aplikasi penyedia konsultasi daring seperti Halodoc. Dalam sekali sesi konsultasi, biaya yang dikeluarkan hanya sekitar Rp10.000. "Beda sama konsultasi dokter daring sebelumnya, bisa sampai 10 kali lipatnya lebih, ratusan ribu rupiah," imbuhnya.  

Ilustrasi telemedicine. Pexels.com.

Sebagai pasien Covid-19 yang melakukan isolasi mandiri (isoman) di rumah, Harits mengandalkan informasi yang didapat dari konsultasi dengan dokter di aplikasi Halodoc. Mulai dari anjuran untuk mengatur gizi hingga jadwal makanan setiap hari seperti konsumsi sayur, buah, dan vitamin 1000 mg. Selain itu, ia juga dianjurkan meningkatkan imun dengan olahraga. 

Setelah melalui isolasi kurang lebih dua minggu dan tes usap dua kali, Harits akhirnya dinyatakan negatif Covid-19. Sehari kemudian, dia kembali memberi laporan kepada dokter secara daring.

"Sempat tanya, Dok saya perlu ke RS enggak buat cek paru? Kata dia enggak perlu, ya udah," katanya menirukan ucapan dokter kala itu.   

Berkonsultasi via telemedicine sebenarnya bukan hal baru bagi penyintas Covid-19 ini. Sebelumnya, Harits sudah beberapa kali menggunakan layanan itu. Mulai dari konsultasi kesehatan ringan sampai membeli obat dan vitamin yang jarang ditemukan di apotek terdekat rumahnya. 

"Taunya dari iklan-iklan di Youtube sih, teman juga ada yang pakai. Dari situ mulai kebiasaan, seperti pakai aplikasi ojek online biasa mudah," ucap dia. 

Lebih praktis

Di era modern ini, layanan telemedicine hadir sebagai bentuk kepraktisan. Pasien tidak perlu datang berduyun-duyun ke rumah sakit. Antre berjam-jam hanya untuk menebus resep obat pun bisa dihindari. Bermodalkan gawai yang terhubung internet, layanan medis pun lebih mudah didapat.

Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization) mendefinisikan telemedicine sebagai pelayanan kesehatan oleh tenaga medis menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Layanan ini bisa bertujuan untuk mendiagnosis, mengobati, mencegah, dan mengevaluasi kondisi kesehatan seseorang yang berada jauh dari fasilitas kesehatan. 

Satu dekade lalu, konsultasi jarak jauh ini dilakukan melalui teknologi sederhana. Seperti perawat kesehatan di daerah terpencil berkonsultasi dengan dokter di rumah sakit besar di kota melalui pesan singkat (SMS) ataupun sambungan telepon. 

Namun kini, perkembangan telemedicine sudah makin pesat. Telemedicine bahkan bisa digunakan untuk membaca hasil rekam jantung ultrasonografi (USG) pasien. Medianya juga sudah bisa melalui situs dan aplikasi daring di gawai yang terhubung dengan internet. Konsultasi praktis tanpa tatap muka langsung bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun.

Aplikasi daring penyedia telemedicine ini memungkinkan para pasiennya untuk berkonsultasi real-time dengan para dokter. Tidak sampai satu jam, pasien sudah bisa mendapatkan resep obat yang bisa diantar langsung ke alamat tujuan.  

Makin populer kala pandemi

Saat pandemi, telemedicine makin populer di tengah masyarakat. Jika dulu tak banyak orang tahu, sekarang banyak yang berbondong-bondong untuk sekadar menjajal atau mengandalkannya sebagai alternatif konsultasi medis jarak jauh.

VP Marketing Halodoc Felicia Kawilarang menyebut ada kenaikan transaksi konsultasi dokter berbayar di Halodoc pada semester pertama 2020. Peningkatannya mencapai 6x lipat dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Hingga saat ini, platform Halodoc telah dimanfaatkan oleh lebih dari 20 juta pengguna aktif bulanan sepanjang kuartal-II 2020. 

“Secara umum pengguna Halodoc mengalami peningkatan 10 kali lipat di Indonesia,” ujar Felicia kepada Alinea.id, Selasa (12/1). 

Halodoc mampu menangani konsultasi secara virtual bermodalkan lebih dari 20.000 dokter umum dan dokter spesialis. Adapun produk kesehatan bisa dipesan dari lebih 3.000 apotek yang bisa diantar langsung ke rumah dan dapat diakses di 100 lebih kota. Bentuk-bentuk layanan di Halodoc yang saat pandemi paling laris adalah Chat dengan dokter, Toko Kesehatan, Tes Covid-19, Buat Janji RS dan Kesehatan Jiwa. 

Senada, Deputy CEO Klikdokter Bonny Mateus Anom juga mengakui tren telemedicine melonjak signifikan. Terutama sesaat setelah Covid-19 terdeteksi ada di Indonesia pada awal Maret 2020.

"Karena banyak user yang mencari info tentang Covid-19, gejala atau ciri, penanganan, RS terdekat, dan seterusnya," ujar Bonny kepada Alinea.id, Senin (11/1). 

Berdasarkan data internal Klikdokter, teleconsultation dan online booking mengalami peningkatan sampai 3 kali lipat. Adapun, jumlah MAU (Monthly Active User) di Klikdokter mencapai 12 juta orang/bulan. 

Aplikasi anak usaha dari Kalbe tersebut memiliki berbagai layanan kesehatan secara daring. Di antaranya, layanan konsultasi free chat 24 jam dan premium chat. Di sini, user dapat memilih spesialisasi dokter yang diinginkan serta chatbot untuk screening awal Covid-19. 

Ada pula layanan e-Prescription atau peresepan secara online. Obat ini bisa dikirim menggunakan kurir Grab atau diambil di apotek terdekat. Selain itu, Klikdokter juga melayani booking atau medical reservation secara real time, baik untuk booking klinik atau RS maupun booking kebutuhan pengecekan rapid test hingga tes polymerase chain reaction (PCR).

Di sisi lain, Klikdokter juga menyediakan fitur “Belanja sehat” untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan pembelian obat, EMR (Electronic Medical Record) hingga pengembangan layanan video call.

"Untuk telemedicine terkait Covid-19 (sekarang) lebih kecil dibandingkan konsultasi di luar topik Covid-19 dari total live chat. Kalau dulu saat pandemi awal, telemedicine Covid-19 lebih banyak usernya," jelasnya. 

Sekitar awal Juli 2020, Taufik (28) mengalami nyeri lambung selama beberapa hari. Tak menunggu lama, dia pun menjajal salah satu penyedia layanan telemedicine, Halodoc.

Pengalaman pertama itu ia jalani setelah mendapat rekomendasi dari seorang teman. Karyawan swasta di kawasan Jakarta itupun langsung berkonsultasi dengan dokter melalui website Halodoc. Setelah melakukan pendaftaran dengan mengisi identitas, dia diarahkan untuk memilih dokter dengan spesialisasi serta tempat praktiknya. Hanya sekali klik, konsultasi langsung dilakukan dengan saling berkirim pesan. 

"Chatting sama dokternya cuma 15 menit, ditanya soal gejala yang dirasakan sampai punya alergi atau enggak. Terus dokternya kayak yang sudah paham, ya sudah dikasih resep dan obatnya datang diantar ojek online," ujar Taufik saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (10/1). 

Meski begitu, sang dokter tetap mengingatkannya untuk datang ke klinik terdekat jika selama 2-3 hari tidak ada tanda-tanda perbaikan kondisi. "Tapi syukurnya, waktu itu cocok sih," imbuhnya.  

Alasan kemudahan dan kepraktisan, menjadi pendorong lelaki asal Malang Jawa Timur itu untuk menggunakan salah satu akses layanan telemedicine. Di samping itu, layanan konsultasi online ini harganya juga lebih terjangkau. Dia juga tak perlu merogoh kocek untuk ongkos transportasi menuju fasilitas layanan kesehatan. 

Taufik mengeluarkan biaya Rp10.000 untuk sekali konsultasi daring selama sekitar 60 menit. Jika ditotal dengan biaya obat serta ongkos antarnya, total biaya tidak lebih dari Rp40.000. 

"Sudah kerjasama dengan apotek sama ojek daring gitu kan, jadi bayarnya ya sekalian pakai saldo e-wallet," katanya. 

Layanan konsultasi dokter secara online ini rupanya tak hanya untuk penyakit ringan saja. Pasien Covid-19 pun bisa melakukan konsultasi via telemedicine. Pengalaman ini dialami Harits (26). 

Sekitar Agustus 2020 lalu, dia dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan hasil tes usap. Dalam kondisi bingung dan kalang kabut, Harits sempat menelepon rumah sakit terdekat di tempat tinggalnya di Jakarta. Namun nyatanya, ia tak bisa langsung dirujuk. Akhirnya, ia mengaku mendapatkan layanan virtual untuk berkonsultasi dengan dokter di RS. 

"Pakai zoom, tapi harganya cukup lumayan, merogoh kocek," kata Harits kepada Alinea.id, Minggu (10/1). 

Kemudian, dia memutuskan untuk mengakses aplikasi penyedia konsultasi daring seperti Halodoc. Dalam sekali sesi konsultasi, biaya yang dikeluarkan hanya sekitar Rp10.000. "Beda sama konsultasi dokter daring sebelumnya, bisa sampai 10 kali lipatnya lebih, ratusan ribu rupiah," imbuhnya.  

Ilustrasi telemedicine. Pexels.com.

Sebagai pasien Covid-19 yang melakukan isolasi mandiri (isoman) di rumah, Harits mengandalkan informasi yang didapat dari konsultasi dengan dokter di aplikasi Halodoc. Mulai dari anjuran untuk mengatur gizi hingga jadwal makanan setiap hari seperti konsumsi sayur, buah, dan vitamin 1000 mg. Selain itu, ia juga dianjurkan meningkatkan imun dengan olahraga. 

Setelah melalui isolasi kurang lebih dua minggu dan tes usap dua kali, Harits akhirnya dinyatakan negatif Covid-19. Sehari kemudian, dia kembali memberi laporan kepada dokter secara daring.

"Sempat tanya, Dok saya perlu ke RS enggak buat cek paru? Kata dia enggak perlu, ya udah," katanya menirukan ucapan dokter kala itu.   

Berkonsultasi via telemedicine sebenarnya bukan hal baru bagi penyintas Covid-19 ini. Sebelumnya, Harits sudah beberapa kali menggunakan layanan itu. Mulai dari konsultasi kesehatan ringan sampai membeli obat dan vitamin yang jarang ditemukan di apotek terdekat rumahnya. 

"Taunya dari iklan-iklan di Youtube sih, teman juga ada yang pakai. Dari situ mulai kebiasaan, seperti pakai aplikasi ojek online biasa mudah," ucap dia. 

Lebih praktis

Di era modern ini, layanan telemedicine hadir sebagai bentuk kepraktisan. Pasien tidak perlu datang berduyun-duyun ke rumah sakit. Antre berjam-jam hanya untuk menebus resep obat pun bisa dihindari. Bermodalkan gawai yang terhubung internet, layanan medis pun lebih mudah didapat.

Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization) mendefinisikan telemedicine sebagai pelayanan kesehatan oleh tenaga medis menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Layanan ini bisa bertujuan untuk mendiagnosis, mengobati, mencegah, dan mengevaluasi kondisi kesehatan seseorang yang berada jauh dari fasilitas kesehatan. 

Satu dekade lalu, konsultasi jarak jauh ini dilakukan melalui teknologi sederhana. Seperti perawat kesehatan di daerah terpencil berkonsultasi dengan dokter di rumah sakit besar di kota melalui pesan singkat (SMS) ataupun sambungan telepon. 

Namun kini, perkembangan telemedicine sudah makin pesat. Telemedicine bahkan bisa digunakan untuk membaca hasil rekam jantung ultrasonografi (USG) pasien. Medianya juga sudah bisa melalui situs dan aplikasi daring di gawai yang terhubung dengan internet. Konsultasi praktis tanpa tatap muka langsung bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun.

Aplikasi daring penyedia telemedicine ini memungkinkan para pasiennya untuk berkonsultasi real-time dengan para dokter. Tidak sampai satu jam, pasien sudah bisa mendapatkan resep obat yang bisa diantar langsung ke alamat tujuan.  

Makin populer kala pandemi

Saat pandemi, telemedicine makin populer di tengah masyarakat. Jika dulu tak banyak orang tahu, sekarang banyak yang berbondong-bondong untuk sekadar menjajal atau mengandalkannya sebagai alternatif konsultasi medis jarak jauh.

VP Marketing Halodoc Felicia Kawilarang menyebut ada kenaikan transaksi konsultasi dokter berbayar di Halodoc pada semester pertama 2020. Peningkatannya mencapai 6x lipat dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Hingga saat ini, platform Halodoc telah dimanfaatkan oleh lebih dari 20 juta pengguna aktif bulanan sepanjang kuartal-II 2020. 

“Secara umum pengguna Halodoc mengalami peningkatan 10 kali lipat di Indonesia,” ujar Felicia kepada Alinea.id, Selasa (12/1). 

Halodoc mampu menangani konsultasi secara virtual bermodalkan lebih dari 20.000 dokter umum dan dokter spesialis. Adapun produk kesehatan bisa dipesan dari lebih 3.000 apotek yang bisa diantar langsung ke rumah dan dapat diakses di 100 lebih kota. Bentuk-bentuk layanan di Halodoc yang saat pandemi paling laris adalah Chat dengan dokter, Toko Kesehatan, Tes Covid-19, Buat Janji RS dan Kesehatan Jiwa. 

Senada, Deputy CEO Klikdokter Bonny Mateus Anom juga mengakui tren telemedicine melonjak signifikan. Terutama sesaat setelah Covid-19 terdeteksi ada di Indonesia pada awal Maret 2020.

"Karena banyak user yang mencari info tentang Covid-19, gejala atau ciri, penanganan, RS terdekat, dan seterusnya," ujar Bonny kepada Alinea.id, Senin (11/1). 

Berdasarkan data internal Klikdokter, teleconsultation dan online booking mengalami peningkatan sampai 3 kali lipat. Adapun, jumlah MAU (Monthly Active User) di Klikdokter mencapai 12 juta orang/bulan. 

Aplikasi anak usaha dari Kalbe tersebut memiliki berbagai layanan kesehatan secara daring. Di antaranya, layanan konsultasi free chat 24 jam dan premium chat. Di sini, user dapat memilih spesialisasi dokter yang diinginkan serta chatbot untuk screening awal Covid-19. 

Ada pula layanan e-Prescription atau peresepan secara online. Obat ini bisa dikirim menggunakan kurir Grab atau diambil di apotek terdekat. Selain itu, Klikdokter juga melayani booking atau medical reservation secara real time, baik untuk booking klinik atau RS maupun booking kebutuhan pengecekan rapid test hingga tes polymerase chain reaction (PCR).

Di sisi lain, Klikdokter juga menyediakan fitur “Belanja sehat” untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan pembelian obat, EMR (Electronic Medical Record) hingga pengembangan layanan video call.

"Untuk telemedicine terkait Covid-19 (sekarang) lebih kecil dibandingkan konsultasi di luar topik Covid-19 dari total live chat. Kalau dulu saat pandemi awal, telemedicine Covid-19 lebih banyak usernya," jelasnya. 

Hingga kini, Klikdokter tengah berupaya memperluas pasar. Salah satunya, melalui kolaborasi Kalbe Group dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait Gugus Tugas Covid-19. Mulai dari kerja sama beberapa RS dan klinik dalam pelayanan rapid test antibodi dan PCR test. Juga, layanan perlindungan kesehatan keluarga (home care).

"Kolaborasi dengan MOSHealth untuk menjangkau apotek di Indonesia sampai fitur video call untuk mempermudah dokter dalam melakukan analisa atau diagnosa," katanya. 

Tak hanya pengembang swasta, pemerintah RI pun juga sebetulnya mempunyai layanan telemedicine yang bisa diakses untuk masyarakat umum. Kasub Advokasi Hukum dan Humas Kementerian Kesehatan Rico Mardiansyah mengatakan setidaknya saat ini Kemenkes telah mempunyai 2 jenis telemedicine

Pertama, telemedicine hospital based, yaitu telemedicine antar fasilitas pelayanan kesehatan, yang diberi nama Telemedicine Indonesia (temenin.kemkes.go.id). Kedua, ada telemedicine community based, yaitu telemedicine dari fasilitas kesehatan kepada masyarakat yang diberi nama SehatPedia. 

Kedua telemedicine ini, telah dikembangkan sejak tahun 2017 dan terus melalui berbagai tahap pengembangan. Utamanya, saat adanya pandemi Covid-19 yang menjadikan telemedicine sebagai alternatif praktis dalam mengakses layanan kesehatan. 

"Kita kembangkan ke berbagai versi yang lebih baik, agar semakin mampu memberikan kemudahan pelayanan kesehatan yang mampu menjangkau seluruh masyarakat Indonesia," ujar Rico kepada Alinea.id, Senin (11/1). 

Sampai saat ini, Temenin telah mengembangkan 4 fitur telemedicine, meliputi Teleradiology, Tele USG, Tele EKG, dan Tele Consultation. Temenin dikembangkan untuk pengembangan telemedicine yang hanya diakses antar rumah sakit (hospital based).

Data lokus telemedicine Kemenkes 2012-2018
Tahun Pengampu nasional Pengampu regional RS diampu Puskesmas diampu Jenis layanan 
2012 2 - 21 9 Teleradiologi dan Tele EKG
2014 4 - 11 - Teleradiologi &Telekonsultasi
2016 6 - 10 9 Teleradiologi,Tele EKG, Tele USG dan Telekonsultasi
2017 3 8 12 16 Teleradiologi, Tele EKG, Tele  USG dan Telekonsultasi
2018 6 13 9 15 Teleradiologi, Tele EKG, Tele USG dan Telekonsultasi
Jumlah 21 21 63 35  
           

Prinsip kerja dari Temenin ini menggunakan prinsip rumah sakit jejaring, yaitu rumah sakit pengampu dan rumah sakit terampu. RS pengampu di sini adalah RS yang memberikan bantuan layanan kesehatan sementara RS terampu sebagai penerimanya. 

Sebagai ilustrasi, seorang dokter umum dari rumah sakit terampu yang tidak memiliki dokter spesialis jantung, namun pasien terindikasi gangguan jantung yang dibuktikan dengan  hasil EKG (Elektrokardiogram). Pasien dapat mengkonsultasikan hasil EKG tersebut dengan menggunakan Tele EKG ke dokter spesialis jantung di RS pengampunya. 

Saat ini, Kemenkes masih membangun sistem integrasi penghubung antara Temenin dan SehatPedia. Nantinya, kedua fitur ini juga akan diintegrasikan dengan sistem pendaftaran online di RS dan Sistem Rujukan Terintegrasi (Sisrute), hingga penghantaran obat.

"Sehingga, dapat mempermudah pelayanan kesehatan yang lebih efektif dan efisien, serta mampu menghasilkan satu big data kesehatan yang mampu digunakan pemerintah dalam menentukan kebijakan kesehatan," ucap Rico.

Dalam upaya pengembangan telemedicine yang makin baik di Indonesia, kata dia, Kemenkes tengah menjaring berbagai peluang. Termasuk memperkuat kerja sama baik dengan pengembang telemedicine swasta, startup bidang IT, aplikasi  transportasi online, hingga menggandeng negara lain. 

Baru-baru ini misalnya, Kemenkes bekerja sama dengan Inggris dalam bidang pengembangan Temenin dan SehatPedia serta dalam hal penyusunan regulasi terkait telemedicine

"Hingga saat ini, Kemenkes dan pihak Kedutaan Besar United Kingdom tengah melakukan berbagai pertemuan teknis membahas hal tersebut bersama tim ahli dan konsultan dari United Kingdom," terangnya. 

Hambatan dan peluang 

Rico mengakui pengembangan telemedicine di Indonesia memang tidak mudah. Masih ada berbagai faktor yang jadi hambatan pelaksanaanya. Telemedicine pada prinsipnya, perlu diingat bukan sebagai pengganti atau menghilangkan pelayanan kesehatan secara langsung. Namun, hanya meminimalisir kesenjangan (disparitas) kesehatan yang belum merata. 

Oleh karena itu, kata dia, persebaran internet yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia menjadi satu tantangan tersendiri. Ditambah lagi, perbedaan usia penduduk antara yang sudah dan belum melek teknologi. 

"Perbedaan usia user, usia produktif lebih mudah dan paham tentang penggunaan telemedicine," imbuh Rico.

Selain itu, pengembangan telemedicine juga masih memiliki "PR" untuk mengakomodir kebutuhan kesehatan masyarakat. Misalnya pasien dengan kerentanan medis, kesehatan orang miskin, penyandang cacat dan layanan berbasis gender yang mesti lebih merata. 

"Namun, setidaknya walaupun banyak hambatan, penggunaan telemedicine mampu menjadi alternatif pertolongan pertama ketika sakit, serta dapat meminimalisir kunjungan ke fasilitas kesehatan," katanya. 

Data pribadi harus aman

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Digital Heru Sutadi menilai tantangan pengembangan telemedicine juga terkait dengan aturan. Terutama soal lisensi atau perizinan bagi dokter atau tenaga medis yang melakukan praktik telemedicine kepada pasien.   

Selain itu, yang tidak kalah penting adalah perlindungan data pribadi pasien. "Apalagi, ini layanan kesehatan yang seharusnya memiliki keamanan tingkat tinggi begitu juga privasi," kata Heru. 

Menyoal itu, Bonny dari Klikdokter mengatakan pihaknya menjamin keamanan data pasien ketika mengakses layanannya. Perlindungannya itu terjamin melalui secured API atau Application Programming Interface (API) yang memiliki kontrol agar data tidak bobol. 

Dia menambahkan file data pasien disimpan di gudang penyimpanan data yang aman (secured). "Kita tidak bisa di akses dari luar Klikdokter dan akan dibuat url file hanya bisa diakses dalam waktu tertentu," kata Bonny. 

Hal serupa juga diterapkan Halodoc. Upaya menjamin keamanan data pasien dilakukan dengan mengimplementasikan teknologi terkini di server. Sistem keamanan Halodoc juga diaudit dan dievaluasi secara berkala untuk senantiasa memastikan keamanannya.

Tidak jauh berbeda dengan penyedia layanan telemedicine swasta, Kementerian kesehatan pun mengaku juga tidak sembarang dalam hal perlindungan data pasien. Seluruh sistem server ada di Kementerian Kesehatan yang dijamin keamanannya.

"Keandalan sistem aplikasi juga telah di uji Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk keamanan datanya," sambung Rico. 

Sementara itu, menyoal lisensi para dokter yang ada di telemedicine, Akademisi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, dr. Tonang Dwi Ardyanto, SpPK. Phd. mengatakan pelayanan telemedicine diberikan oleh tenaga Kesehatan yang memiliki surat ijin praktik (SIP) berbasis fasyankes (fasilitas layanan kesehatan). 

Dengan begitu, para dokter yang telah memiliki SIP itu bisa untuk menjalankan konsultasi online via telemedicine. Termasuk pada berbagai aplikasi kesehatan yang kini banyak beredar. 

"Platform itu hanya sarana komunikasinya saja," ujar dr Tonang kepada Alinea.id, Senin (11/1).

img
Nurul Nur Azizah
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan