Tergiur impor daging murah, PMK pun kembali mewabah
Bertarikh 28 April 2022, Dinas Peternakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendapat laporan adanya 402 ekor sapi potong yang terserang Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di lima kecamatan dan 22 desa di Kabupaten Gresik. Sampai Senin (9/5), ada 729 ekor sapi terinfeksi PMK di Gresik.
Sebanyak 13 ekor sapi di antaranya telah mati karena penyakit tersebut. Sementara 10 ekor sapi dinyatakan sembuh dan terbebas PMK setelah menjalani perawatan insentif. Sedangkan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, pada hari yang sama, sudah ada 142 ekor sapi positif PMK.
“Di Lamongan, pertama kali ditemukan di peternakan salah satu peternak di Kecamatan Tikung. Dia beli sapi dari Balongpanggang (Kabupaten Gresik). Tidak tahunya, sapi itu terjangkit PMK dan menular ke sapi lain di kandang ternaknya,” jelas Bupati Lamongan Yuhronur Efendi, Senin (9/5).
Selain di Jawa Timur, penyakit yang disebut juga Foot and Mouth Disease (FMD) ini ditemukan pula di Aceh, tepatnya di Kabupaten Aceh Tamiang pada 6 Mei 2022. Kepala Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan (Distanbunak) Aceh Tamiang Safuan bilang, PMK pertama kali teridentifikasi di Kecamatan Lhoknga.
Kini, tepatnya hingga 9 Mei 2022, tercatat ada 1.881 kasus positif PMK yang menyerang lembu di 10 kecamatan. Dari jumlah itu 13 ekor sapi di antaranya dilaporkan mati mengenaskan.
“Dari 12 kecamatan, hanya Tenggulun dan Tamiang Hulu yang belum kami identifikasi. Bisa jadi jumlah sapi yang terjangkit PMK akan lebih banyak,” ujar Safuan, saat dihubungi Alinea.id, Senin kemarin.
Guru Besar Virologi dan Imunologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga Fedik Abdul Rantam menjelaskan, Virus Foot Mouth Disease (FMDV) yang merupakan agen penyebab PMK memiliki daya tular yang sangat tinggi, yakni sekitar 90% sampai 100%. Bahkan, melalui udara penyebaran FMDV dapat mencapai 200 kilometer.
Selain itu, air liur ternak terjangkit PMK yang menempel pada kendaraan pengangkut ternak, kandang, peralatan, dan pakan ternak, hingga tanah atau aliran air juga dinilai efektif menularkan FMDV pada hewan berkuku genap yang peka terhadap PMK, seperti sapi, kerbau, domba, kambing, dan babi.
Belum lagi, kontak langsung antar ternak di satu kandang. Tak heran, jika dalam hitungan hari saja FMD dari Jawa Timur dapat menyebar ke Aceh.
“Dulu, pada saat PMK ada di Indonesia, PMK itu menyebar dari Sungai Bengawan Solo (di hulu di Jawa Tengah) sampai ke Jawa Timur hanya dalam satu hari. Hanya karena leleran liur sapi yang masuk ke aliran sungai,” kisah Fedik, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (10/5).
Penyakit sejak dulu
PMK yang kini telah menjadi wabah (outbreak) di Jawa Timur dan Aceh ini sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Mengutip penelitian Peneliti Utama di Badan Litbang Kementan RM Abdul Majid yang diterbitkan pada Juni 2020, PMK pertama kali ditemukan di Malang, Jawa Timur pada 1887. Kala itu, Indonesia masih menjadi negara jajahan Belanda.
Selanjutnya, penyakit menyebar ke daerah lainnya ke arah Timur sampai ke pantai Banyuwangi, Jawa Timur. Laporan kejadiannya secara berturut-turut dimulai di Jakarta pada tahun 1889, Aceh tahun 1892, Medan dan Kalimantan tahun 1906, Sulawesi dan Medan pada tahun 1907.
Pada tahun 1907 tercatat 1.201 ternak di Pulau Jawa terserang PMK, yaitu di Jakarta, Cirebon, Priangan, Pasuruan, Besuki, Banyumas, Kedu, Malang, dan Madura. Pada saat itu kejadian PMK di luar pulau Jawa terbatas hanya di Sumatera Timur dan Sulawesi.
Lalu, mulai 1974 pemerintah melakukan ‘crash program’ vaksinasi untuk memberantas PMK dengan mengutamakan vaksinasi di daerah sumber ternak, yaitu Bali, Sulawesi Selatan, dan Jawa. Upaya pemberantasan penyakit dengan vaksin O1 BFS memperlihatkan hasil yang memuaskan karena pada tahun 1980 tidak ada lagi kasus PMK dilaporkan. Pada tahun berikutnya Bali dan Sulawesi Selatan berhasil dibebaskan.
Namun, PMK meletup kembali di Kabupaten Blora, Jawa Tengah yang kemudian dengan cepat merambat ke wilayah Barat sampai ke Banten. Untuk daerah Jawa Timur, penyebaran PMK terbatas di daerah-daerah yang berbatasan dengan Jawa Tengah. Dalam kurun waktu singkat PMK dilaporkan menyerang 13.987 ekor ternak sapi dan kerbau dengan angka kematian 1%.
Beberapa ekor domba dan babi dilaporkan terjangkit PMK. Hasil pengujian virus oleh Animal Virus Research Institute (AVRI) di Pirbright, Inggris menunjukkan bahwa penyebabnya adalah virus PMK tipe O, dan isolat virus dikenal dengan nama O ISA 3/83 atau O java 83.
Upaya pemberantasan penyakit dilakukan melalui vaksinasi massal menggunakan virus PMK O java 83 mulai tahun 1983-1985. Dalam waktu tiga bulan setelah vaksinasi terakhir, PMK dapat dikendalikan bahkan tidak ada kasus lagi.
Masuknya daging impor
Hasil studi serologi memperlihatkan bahwa vaksinasi yang dilaksanakan telah membuahkan hasil yang memuaskan dan disarankan untuk dapat diikuti dengan keputusan pembebasan penyakit pada tahun 1986. Upaya pemerintah membebaskan kembali Indonesia dari PMK telah berhasil dan Indonesia dinyatakan bebas PMK pada tahun 1990 dengan Resolusi OIE (Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan) Nomor XI.
“Tapi upaya pembebasan Indonesia yang dilakukan lebih dari 100 tahun ini sia-sia. Kita kecolongan dan sekarang PMK masuk lagi ke Indonesia,” sesal mantan Menteri Pertanian era Kabinet Indonesia Bersatu Anton Apriyantono, saat berbincang dengan Alinea.id, Senin (9/5).
Dia sebelumnya memang telah memprediksi bahwa virus yang saat ini masuk dalam daftar penyakit hewan menular strategis (PHMS) itu akan lebih mudah masuk ke Indonesia. Apalagi, setelah pemerintah melalui Kementerian Pertanian mengizinkan adanya impor daging lembu dan sejenis lembu dari negara yang tidak bebas PMK, salah satunya India.
Volume dan Nilai Impor Daging Sapi Selama Lima Tahun Terakhir
Tahun |
Volume |
Nilai |
2017 |
160.197,5 ton |
US$572 juta |
2018 |
207.427,3 ton |
US$707,7 juta |
2019 |
262.251,3 ton |
US$829,9 juta |
2020 |
223.423,7 ton |
US$689,2 juta |
2021 |
273.532,6 ton |
US$948,4 juta |
Sumber: Badan Pusat Statistik
Padahal, kala dirinya menjabat sebagai Menteri, Anton enggan membeli daging sapi atau kerbau jenis apapun dari negara tersebut. Sebab, baik secara negara maupun zona, India tidak bebas PMK.
“Kalaupun ada zona yang bebas PMK, saya juga tidak mau, karena dari segi kesehatan hewan, di sana tidak bagus. Coba lihat, sapi dan kerbau di sana kan dilepas begitu saja, bisa berkeliaran di mana saja, makan apa saja. Belum dari segi pengangkutannya, kebersihannya juga kita enggak bisa jamin,” jelasnya.
Oleh karena itu, meskipun mengizinkan impor daging berdasarkan zona bebas PMK (zone based), pengajar di IPB University ini hanya mengizinkan impor dari zona-zona bebas PMK di Brazil, yang diaturnya dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3.026 Tahun 2009.
Alasannya, tracking ternak berpenyakit mulut dan kuku di sana sangat bagus, selain juga sistem kesehatan hewan yang sudah terjamin. Belum lagi, ada lebih dari 150 negara yang mengimpor daging dari negara tersebut, termasuk Amerika Serikat dan Australia.
Keputusan ini juga merupakan upaya untuk mengurangi ketergantungan impor daging Indonesia dari Australia dan Selandia Baru, yang keduanya merupakan negara bebas PMK. Ketergantungan itu merupakan imbas dari ketentuan pemerintah yang hanya mengizinkan impor daging dari negara bebas PMK.
Sementara itu, di Brazil sendiri ada enam negara bebas PMK tanpa vaksin dan telah dinyatakan oleh OIE sebagai negara dengan zona bebas PMK. “Maka sebetulnya aman, berdasarkan zona. Karena Brazil luas sekali,” imbuh dia.
Meski telah diberlakukan sejak 2009, impor daging dari Brazil belum juga dilaksanakan, hingga masa jabatan Anton berakhir pada 20 Oktober 2009. Pada tahun 2009, beleid terkait impor daging berdasarkan zona bebas PMK, yakni UU Nomor 18 Tahun 2009, digugat oleh Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) yang dipimpin Teguh Boediyana. Teguh menggandeng sejumlah pihak.
Mereka berharap agar impor daging sapi menggunakan basis negara (country based) untuk menghindari masuknya PMK ke Indonesia. Sebab, jika PMK kembali merebak di Tanah Air, industri peternakan akan amburadul dan pada akhirnya akan menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit bagi Indonesia.
Hingga pada Agustus 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi para pemangku kepentingan peternakan dan kesehatan hewan itu. Dasarnya, di Indonesia saat itu tidak ada otoritas veteriner. Indonesia juga belum memiliki sistem kesehatan hewan nasional atau siskewanas. Impor berbasis negara dinilai penting untuk melindungi peternak kecil lokal.
"Meskipun kita negara kepulauan, tidak bisa dijamin pengendalian PMK lebih mudah," kata Dewan Pakar PPSKI Rochadi Tawaf kepada Alinea.id, Senin (9/5). Rochadi adalah eks Sekjen PPSKI saat Teguh Boediyana menjabat ketua umum.
Setelahnya, impor daging sapi berdasarkan country based pun berlaku. Sayangnya, pada 2014, pemerintah kembali merevisi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan tersebut dan menggantinya menjadi UU 41/2014 yang lagi-lagi mengizinkan impor daging berbasis zona.
“Setelah itu, kita gugat lagi. Dua kali. Tapi kita kalah, hingga akhirnya sampai sekarang zone base diterapkan,” imbuh Rochadi.
Pasal yang digugat PPSKI kala itu adalah Pasal 36 C, yang bertentangan dengan keputusan MK sebelumnya. Terpisah, Ketua Umum Pendayagunaan Pertanian Teguh Boediyana menguraikan, keputusan MK sebelumnya, yakni putusan MK Nomor 137/PUU-Vll/2009 menyebutkan bahwa pemasukan produk hewan segar (daging) harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona yang tercantum dalam Pasal 59 ayat 2 pada UU Nomor 18/2009 dibatalkan.
“Setelah UU 41/2014 berlaku, impor dari negara yang masih ada PMK bisa masuk. Baik dari Brazil maupun negara lainnya. Setelahnya, tidak tahu berdasarkan apa landasannya. Pada 2016 impor daging kerbau dan sapi dari India juga mulai masuk,” kata Teguh kepada Alinea.id, Senin (9/5).
Izin masuknya daging kerbau dan sapi dari India tercantum dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2.556/kpts/Pk.450/F/06/2016 tentang Penetapan Negara India dan Unit Usaha di Negara India sebagai Negara Asal dan Unit Usaha Asal Pemasukan Daging Kerbau Beku Tanpa Tulang ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.
Beleid tersebut ditandatangani oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Muladno dan disetujui oleh Menteri Pertanian saat itu, Amran Sulaiman.
Pada saat itu, pertimbangan dimasukkannya India sebagai pemasok daging kerbau ke Indonesia adalah untuk menekan harga daging sapi yang melonjak menjelang Ramadan dan Lebaran.
Muladno juga mengklaim bahwa daging kerbau yang didatangkan dari India berasal dari zona steril PMK dan sudah dijamin kesehatannya. Namun, baik Rochadi maupun Teguh memandang pengesahan Keputusan Menteri tersebut sebagai sebuah keanehan. Sebab, selain sudah jelas India bukan merupakan negara maupun tidak ada zona bebas PMK, juga tidak ada kajian akademis yang melandasi terbitnya peraturan itu.
“Waktu rapat sama DPR dan Kementan, ditanya soal dasar akademisnya. Mereka bilang kajiannya menyusul. Ini yang jadi pertanyaan kami kemudian, apa alasan mereka mengizinkan daging dari india masuk? Apa cuma karena harganya yang murah?” tutur Rochadi.
Daging kerbau maupun sapi di India, lanjut dosen Fakultas Peternakan Universitas Pdjadjaran itu, memang murah. Sebab, di sana masyarakat tidak mengonsumsi daging sapi dan kerbau karena dianggap suci, sehingga jumlah hewan berkuku katup itu pun melimpah.
Terbukti, setelah aturan tersebut berlaku, pemerintah melalui Bulog menjual daging kerbau asal India seharga Rp60 ribu per kilogram. Sedangkan harga daging sapi saat itu, yakni di bulan September 2016, menurut laman Kementerian Perdagangan dibanderol senilai Rp114.950 per kilogram.
“Kalau tidak ada kajiannya, kami kira ini hanya politik perdagangan, daging India bisa masuk dengan alasan untuk menurunkan harga daging sapi di dalam negeri,” imbuh Rochadi.
Sejak saat itu, daging impor dari India pun semakin menggemuk dari tahun ke tahun, bahkan dapat mengalahkan impor daging dari Amerika Serikat dan Selandia Baru. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020 impor daging India ialah sebanyak 76,3 ribu ton, atau senilai US$263 juta.
“Karena itu, saya pikir wabah PMK ini masuk karena impor daging dari India,” tegas Rochadi.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menduga bahwa PMK yang saat ini menyebar itu berasal dari kambing atau domba yang diimpor secara ilegal dari negara belum bebas PMK. Namun, hal ini ditampik oleh Ketua Umum Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Muhammad Munawaroh.
“Kalau memang dari impor domba ilegal, harusnya ada bukti dan segera ditangkap itu pengekspornya. Setahu saya, sampai saat ini belum ada,” kata Munawaroh saat dihubungi Alinea.id, Senin (9/5).
Ketimbang mengkambinghitamkan sesuatu hal yang belum pasti, Munaworoh menyarankan agar pemerintah segera gerak cepat menangani PMK. Beberapa penanganan yang dapat dilakukan antara lain dengan vaksinasi untuk mencegah ternak tertular PMK, pemberian antibiotik untuk mengobati penyakit sekunder atau penyerta pada ternak yang telah tertular dan memusnahkan hewan ternak yang sudah tertular FMD.
Di sisi lain, Ketua Umum PPSKI Nanang Purus Subendro mengimbau agar pemerintah segera menyetop impor daging kerbau dan sapi dari India. Selain juga menghentikan lalu lintas ternak antar kabupaten atau kota, pun dengan produk-produk pertanian mentah maupun olahan.
“Pejabat Kementerian Pertanian, dokter hewan, atau siapa saja yang merekomendasikan kepada pemerintah untuk impor daging dari wilayah endemik atau dari wilayah atau negara bebas PMK dengan vaksinasi perlu dipanggil dan dimintai pertanggungjawabannya,” ujar Nanang, kepada Alinea.id, Senin (9/5).
Hal ini, lanjut Nanang, sangat perlu dilakukan demi penuntasan kasus FMDV dan pembelajaran demi masa depan pertanian yang optimal.
Sementara itu, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan Nasrullah menjelaskan, bahwa pihaknya bersama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur tengah melakukan berbagai upaya untuk mencegah penyebaran PMK.
Beberapa upaya tersebut antara lain, penetapan wabah oleh Menteri Pertanian berdasarkan surat dari Gubernur dan rekomendasi dari otoritas veteriner nasional sesuai dengan PP nomor 47/2014, pendataan harian jumlah populasi yang positif PMK, dan pemusnahan ternak yang positif PMK secara terbatas.
Kemudian penetapan lockdown zona wabah tingkat desa/kecamatan di setiap wilayah dengan radius 3-10 kilometer dari wilayah terdampak wabah, melakukan pembatasan dan pengetatan pengawasan lalu lintas ternak, pasar hewan dan rumah potong hewan, dan melakukan edukasi kepada peternak terkait SOP pengendalian dan pencegahan PMK.
Kementan juga membentuk gugus tugas tingkat provinsi dan kabupaten, pengawasan ketat masuknya ternak hidup di wilayah-wilayah perbatasan dengan negara tetangga yang belum bebas PMK oleh Badan Karantina pertanian, hingga menyiapkan vaksin PMK.
“Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) di Surabaya juga tengah melakukan penelitian lanjutan untuk memastikan tingkat dan jenis serotype PMK yang menyebar di Indonesia,” kata Nasrullah, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (10/5).
Sembari menunggu diketahui serotype PMK apa yang menyebar di tanah air, Pusvetma juga sedang mencoba mengembangkan vaksin edogenous alias vaksin dari virus yang menyerang sapi dan ternak lainnya di Jawa Timur. Namun, dibutuhkan waktu kurang lebih dua minggu untuk menyelesaikan pembuatan vaksin dan mengetahui berapa banyak vaksin yang dapat disediakan untuk ternak.
“Jadi, sampel virus kita ambil dari sapi yang tertular PMK di Jawa Timur dan Aceh,” ungkap Ahli Virologi dari Universitas Airlangga Fedik Abdul Rantam.