Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve kembali mengerek suku bunga acuannya sebanyak 75 basis poin (bps) pada Rabu (2/11) menjadi di level 3,75% hingga 4%. Kenaikan ini tentu saja menjadi kenaikan suku bunga keenam kalinya berturut-turut, dan mencatatkan kenaikan 75bps yang keempat berturut-turut.
Keputusan menaikkan suku bunga ini sejalan dengan sejumlah ekspektasi pasar dan menjadi yang tertinggi sejak tahun 2008. Tujuan kenaikan ini tentu saja untuk mengendalikan inflasi agar kembali ke target 2%, namun tercatat per September 2022 lalu inflasi di AS masih tinggi yaitu 8,2% secara tahunan, dan masih ada di level tertinggi dalam kurun 40 tahun.
Dilansir dari Reuters, menurut ketua The Fed Jerome Powell, The Fed masih akan terus mengambil kebijakan kenaikan suku bunga hingga target inflasi tercapai.
“Sangat prematur untuk berpikir tentang berhenti,” kata Powell dikutip dari Reuters, Kamis (3/11).
Artinya, The Fed sangat mungkin akan terus menaikkan suku bunga yang lebih tinggi ke depannya. Meski demikian, para pembuat kebijakan juga menilai The Fed tetap akan mempertimbangkan pengetatan kumulatif kebijakan moneter, kelambatan yang mempengaruhi kebijakan moneter terhadap aktivitas ekonomi dan inflasi, dan perkembangan ekonomi dan keuangan.
Powell sendiri mengaku belum tahu pasti hingga level berapa suku bunga acuan akan dinaikkan sampai berhasil menekan inflasi. Namun Powell bertekad akan tetap menaikkan hingga inflasi terkendali.
“Sangat tidak pasti, kami akan menemukannya seiring waktu,” imbuhnya.
Lebih lanjut, dampak dari menaikkan suku bunga sudah mulai terlihat yaitu inflasi yang tekanannya mulai mereda, upah dan gaji yang naik 1,2% di kuartal III setelah sebelumnya turun dari 1,6% di kuartal II.
Selain itu pasar tenaga kerja juga tetap ketat. Lowongan pekerjaan terpantau naik secara tiba-tiba yang melonjak pada bulan September yaitu ada 1,9 lowongan pekerjaan untuk setiap pekerja yang tersedia. Hal ini menunjukkan ekonomi AS terpantau kembali pulih dan berjalan dengan baik.