close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
Bisnis
Selasa, 02 Maret 2021 10:01

Thrifting shop: Kala barang lawas jadi primadona 

Bisnis barang bekas semakin marak di tengah larangan impor pakaian lawas.
swipe

Bagi sebagian orang, barang bekas tidak lagi berarti. Namun, bagi sebagian lagi barang seken justru dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah jika dijadikan bisnis. Dengan modal minim, keuntungan yang didapat bisa berlipat.

Thrifting shop atau kegiatan berbelanja barang yang lebih murah dan di luar selera pasar ini makin nge-tren di tengah ketidakpastian ekonomi. Thrifting juga dapat diartikan sebagai kegiatan membeli barang bekas pakai berkualitas.

Ialah Julistian, yang memutuskan untuk menghasilkan cuan dari berjualan barang-barang bekas. Bermodal awal sekitar Rp300.000, pemuda 26 tahun itu bisa membeli 7-8 lembar baju seken. Ia mengulak baju seken dari pedagang-pedagang pakaian bekas di sekitaran Pasar Baru dan daerah Sengkaling atau Blimbing, Malang, Jawa Timur. 

Baju lawas itu, ia foto dan pajang di lapak instagram thrifting shop miliknya, @Duadaritiga. 
Dia merinci, kaos tanpa merek biasa dijual dengan harga Rp5.000 hingga Rp35.000 per lembar. Tapi, untuk baju branded dibanderol dengan harga lebih mahal, yakni Rp70.000 sampai di atas Rp100.000.

Untuk celana jeans misalnya, ia biasa beli seharga Rp35.000 sampai Rp70.000, sweater atau jaket di kisaran Rp40.000 sampai Rp80.000, kemeja flanel dengan harga Rp55.000 sampai Rp85.000 dan dress wanita dengan harga Rp25.000 sampai Rp40.000.

“Dengan modal Rp300 ribu, kalau jeans bisa dapat 5-6 lembar, sweater bisa 6-7, kemeja 6-7,” ujarnya saat berbincang dengan Alinea.id, Senin (22/2).

Ilustrasi thrifting shop. Pixabay.com.

Selain itu, pembelian barang-barang bekas juga bisa dilakukan dengan sistem ‘kiloan’ atau ‘karungan’. Julistian bilang, sistem cakar bongkar ini harganya lebih miring. Namun, cara ini juga gambling mengingat pembeli tidak dapat mengetahui kualitas barang seken yang ada di dalam karung tersebut.

“Kadang bisa dapet barang bagus banget, enggak jarang malah mayoritas dapet barang zonk,” bebernya.

Sejak memulai bisnisnya pada 2016 lalu, Julistian bisa menghasilkan omzet Rp500.000 hingga Rp600.000 per bulan. Bahkan, tak jarang penghasilannya bisa melebihi angka itu jika lapaknya ramai pembeli.

Ia mengaku bisnis thrifting ini bermula dari kegemarannya berburu barang-barang bekas. Selain bisa didapatkan dengan harga murah, pakaian, sepatu atau tas seken juga kondisinya masih bagus.

“Untungnya, kalau buka thrifting kan juga bisa sembari dijual. Barangnya satu atau dua kali masih bisa kita pakai juga,” kata laki-laki yang bekerja di salah satu perusahaan media di Jakarta itu.

Sama halnya dengan Julistian, Arif (bukan nama sebenarnya) juga memiliki thrifting shop yang bermula dari hobi. Lelaki asal Nunukan, Kalimantan Utara itu mulai mengumpulkan barang bekas sejak 2018. Berbekal modal Rp300.000 sampai Rp1 juta, kini ia telah berhasil mengantongi omzet Rp2 juta sampai Rp4 juta per bulan.

“Tapi selama pandemi turun jadi cuma sekitar Rp1,2 jutaan. Ini kayaknya juga karena semakin banyak thrifting shop yang buka,” keluhnya kepada Alinea.id, Jumat (26/2).

Untuk persediaan barang, pria berusia 28 tahun itu biasa berburu barang-barang lawas di pasar pakaian bekas di Nunukan. Namun, tak jarang pula ia mendapatkan stok barang dari pengepul pakaian bekas langganannya dalam bentuk karungan. Setiap karung berisikan sekitar 120 lembar baju bekas dengan harga sekitar Rp1 juta.

“Kalau hunting sendiri biasanya 30-an barang sebulan, tergantung barang yang masuk,” kata pemilik online thrift shop @NSO itu.

Sebelum ramai dipasarkan secara daring, bisnis pakain bekas, baik preloved maupun thrifting sudah banyak dilakukan secara offline. Di Jakarta, pedagang pakaian bekas dapat dengan mudah ditemukan di Pasar Senen dan Pasar Baru. 

Di Bandung, ada Pasar Gedebage, Pasar Lilin hingga Pasar Jumat Pusdai sebagai pusatnya penjualan pakaian dan aksesoris lawas, baik yang berasal dari dalam maupun luarnegeri alias impor. Pasar pakaian bekas juga masih banyak tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Banyaknya pasar bekas itu menunjukkan fenomena thrifting sudah ada sejak lama di Tanah Air. Namun, dengan semakin canggihnya teknologi dan banyaknya pengguna media sosial membuat thrifting banyak dilakukan secara daring. Keberadaan toko-toko thrifting pun makin menjamur, baik yang ada di marketplace maupun media sosial seperti Instagram dan Facebook.

Belanja online lebih praktis

Pengamat Marketing, Yuswohady menilai pamor thrifting shop online semakin meningkat belakangan ini seiring dengan adanya pandemi Covid-19. Sebab, untuk menghindari penyebaran virus, masyarakat lebih memilih untuk berbelanja online. Thrifting daring juga dinilai lebih praktis, karena penjual biasanya telah mengelompokkan produk-produk pakaian dan aksesoris lawas mereka.

“Sedangkan kalau beli di pasar kan mereka (pembeli) harus milih baju-bajunya dari tumpukan yang sangat banyak,” tuturnya kepada Alinea.id, lewat sambungan telepon, Kamis (25/2).

Di sisi lain, barang-barang bekas lebih banyak diincar selama pagebluk ini karena harganya yang murah. Tentunya ini tak lepas dari ketidakpastian pendapatan masyarakat di tengah masa pandemi. Hal itulah yang membuat konsumen beralih dari produk fast fashion ke pakaian dan aksesoris bekas.

Thrifting shop di Amerika Serikat yang menjual sepatu seken. Foto Reuters.

Yuswohady memprediksi bisnis thrifting dunia masih akan terus mengalami peningkatan hingga 2029 nanti. Mengutip data dari GlobalData Market Sizing and Growth Estimates 2020, nilai dari bisnis berjualan pakaian bekas ini berada di kisaran US$21 juta dan akan meningkat hingga US$36 juta pada 2029.

Berbanding lurus dengan pertumbuhan industri fast fashion yang pada dua tahun lalu nilainya ada di kisaran US$36 juta dan akan mencapai US$43 juta pada 2029 nanti.

Yuswohady menambahkan jika sebelumnya barang-barang seken banyak diburu karena harganya yang jauh lebih murah dari pakaian atau aksesoris baru, kini thrifting dilakukan lebih banyak untuk memuaskan rasa penasaran konsumen. Adapun konsumen thrifting shop saat ini didominasi oleh kaum milenial dan Generasi Z (GenZ).

“Jadi ini lebih lebih untuk memenuhi kebutuhan emosional mereka saja. Mereka cuma cari uniknya. Kan kalau barang-barang bekas itu unik, karena modelnya yang sekarang sudah jarang bisa ditemui,” jelasnya.

Dihubungi terpisah, pengamat fesyen Sonny Muchlison menjelaskan, belanja barang bekas via daring semakin banyak dilakukan karena budaya masyarakat Indonesia yang cenderung latah atau ikut-ikut tren saja. 

Dengan kata lain, menurutnya, agar tidak dianggap ketinggalan tren oleh teman-teman sepergaulannya. Namun karena tidak ada value yang diincar, tidak jarang mereka memutuskan untuk tidak lagi membeli pakaian bekas.

“Pada umumnya yang beli thrift shop hanya sekali, dia tidak pernah mengulangi hal yang sama dan menjadi addicted. Jadi hanya untuk mengatakan kepada sesamanya bahwa dia sudah mengalami itu,” ujarnya kepada Alinea.id, Minggu (28/2).

Konsumen thrifting tidak akan merasa minder meski membeli barang bekas. Pasalnya, tren pakaian vintage saat ini memang tengah berkembang di masyarakat. 

“Soalnya yang mereka cari ini pakaian unik, vintage yang jarang dijumpai atau barang limited yang udah enggak diproduksi lagi,” imbuh Sonny.

Ilustrasi fesyen vintage. Pixabay.com.

Sebut saja Erna, dara 23 tahun yang gemar mengoleksi pakaian-pakaian bekas bergaya vintage. Kepada Alinea.id dia bercerita, awalnya ia gemar memakai pakaian lawas milik ibunya. Namun, setelah melakukan thrifting bersama salah seorang temannya, Erna pun ketagihan untuk berbelanja baju-baju bekas di Pasar Senen atau Pasar Baru, Jakarta.

“Karena ternyata seru juga hunting baju bekas. Kadang, kalau beruntung suka nemu baju impor branded dengan harga paling Rp50.000 sampe Rp75.000 doang. Padahal kalau beli bisa ratusan ribu sampai jutaan,” terangnya, Selasa (23/2).

Ancaman bagi industri tekstil

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman menilai, bisnis thrifting dapat memberikan dampak buruk bagi bagi industri tekstil. Terutama pakaian jadi yang diproduksi oleh Industri Kecil Menengah (IKM). 

Pasalnya, harga barang-barang seken jelas lebih murah dibandingkan produk fast fashion lokal. Padahal, kualitas pakaian atau produk tekstil lain yang dihasilkan oleh IKM jauh lebih bagus.

Fenomena thrifting yang kebanyakan produknya berasal dari hasil impor pakaian bekas juga dinilai dapat merugikan negara. Pemerintah sendiri sudah melarang impor pakaian bekas ke Indonesia yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Pakaian bekas juga dikhawatirkan tidak higienis dan menjadi media pembawa penyakit atau virus.

“Ini jelas mengganggu pasar domestik yang merupakan pasar sebagian besar produk pakaian dari IKM,” katanya melalui sambungan telepon, kepada Alinea.id, Sabtu (27/2).

Rizal bilang, karena besarnya industri penjualan pakaian bekas, asosiasi tak bisa berbuat apa-apa. Pihaknya sudah meminta kepada pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan untuk meningkatkan pengawasannya terhadap impor pakaian bekas ke Tanah Air.

“Kami sudah sidak dengan Kemendag (Kementerian Perdagangan) dan itu kita temukan banyak sekali pakaian impor bekas dari Cina, Jepang, Korea, dan masih banyak negara lainnya,” ungkap dia.

Sementara itu, awal Februari lalu Kantor Wilayah (Kanwil) Bea Cukai Jawa Tengah (Jateng) DIY bersama TNI AL (Lanal Semarang) dan KPPBC Semarang telah berhasil menggagalkan upaya penyelundupan 537 koli pakaian bekas dan 5.800 roll tekstil impor dari Pasar Gudang, Malaysia.

Kepala Kantor Wilayah Bea Cukai Jateng DIY Tri Wikanto mengisahkan, pada mulanya dia mendapatkan informasi intelijen tentang adanya kegiatan pembongkaran barang yang berasal dari luar Daerah Pabean, tapatnya di pelabuhan di Kendal. Setelah mendapat laporan itu, tim gabungan segera bergerak ke lokasi bongkar muat barang dari kapal ke truk. 

“Penyelundupan ini menggunakan modus pengangkutan barang antarpulau dan muatan kainnnya ditutupi dengan ballpress, kemudian ditutupi lagi dengan karung kosong,” katanya saat dikonfirmasi Alinea.id, Senin (1/3).


 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan