Pemerintah berencana menerapkan pajak karbon untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mulai 1 April 2022 mendatang sebesar Rp30 per kilo gram (kg). Tidak hanya untuk PLTU, ke depan pajak karbon juga akan berlaku di sektor lain.
Peneliti Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Joko Tri Haryanto mengatakan selain PLTU pajak karbon akan berlaku untuk sektor transportasi, bangunan dan sektor yang berbasis lahan.
"Ini ada jenjangnya, di roadmap pajak karbon akan dimulai 2022 secara bergiliran sampai 2024. Setelah 2024-2025 akan dimulai pungutan pajak karbon sektor lain," papar Joko dalam diskusi Investasi Energi Baru dan Terbarukan dalam Pengembangan Biomassa di Indonesia, Rabu (16/2).
Menurutnya ini merupakan pilihan bagi masing-masing sektor. Misalnya sektor berbasis lahan yang mereka pilih adalah pembayaran berbasis kinerja, mereka akan menahan untuk tidak masuk ke perdagangan karbon terlebih dahulu.
"Atau skenario industri, lebih baik pajak karbon saja ya silahkan. Tapi pada intinya ini yang akan dikerjakan oleh pemerintah," lanjutnya.
Joko menjelaskan ini yang akan jadi rezim baru penyelenggaran nilai ekonomi karbon di Indonesia. Ini menjadi era baru untuk meningkatkan kinerja pencapaian target emisi di tahun 2030.
Lebih lanjut dia menjelaskan yang sudah pasti dikerjakan adalah mekanisme carbon tax pada 1 April 2022 mendatang. Di sektor energi yang menjadi pilot adalah PLTU batu bara.
Sebelumnya, Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Pande Putu Oka Kusumawardani mengatakan, pajak karbon ini diperkenalkan sebagai salah satu instrumen untuk mendukung upaya mitigasi perubahan iklim.
"Sebagaimana kita ketahui Indonesia adalah salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, yang memang di antaranya karena posisi atau letak geografis kita yang kepulauan, kemudian juga mayoritasnya perairan laut," jelasnya.
Menurutnya risiko perubahan iklim ini dikhawatirkan berdampak pada kelangkaan air, kerusakan ekosistem lahan, kerusakan ekosistem lautan, penurunan kualitas kesehatan, dan kemudian pangan pun bisa langka, dan hilangnya keanekaragaman hayati.