Pemerintah menyebut ketersediaan lahan menjadi kendala investasi pengolahan garam. Karenanya, industrialisasi garam untuk menekan impor sukar terwujud.
"Banyak lahan garam di berbagai lokasi masih terkendala," ucap Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves), Safri Burhanuddin, dalam keterangan tertulis, Rabu (7/10).
Dirinya menerangkan, lahan yang hendak dikembangkan harus berstatus clear and clean. Perlu peran pemerintah daerah (pemda) agar lahan yang hendak dikembangkan tak bermasalah. "Sehingga dapat bekerja dengan tenang."
Safri melanjutkan, infrastruktur menjadi kendala lain menekan ketergantungan garam impor. Pangkalnya, masih banyak lokasi tambak garam menuju pengolahan aksesnya terbatas dan berbiaya tinggi.
“Biaya transpornya mahal, sedangkan harga beli garam di market itu sama. Sehingga, daya beli garam rakyat turun," jelasnya.
Untuk menyelesaikan masalah ini, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) ditugaskan membangun jalan agar transportasinya lebih murah.
Tantangan berikutnya, pengolahan. Dia mencontohkan dengan kerja sama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan PT Garam (Persero) di Manyar, Madura.
Di sana, keduanya melakukan pengolahan untuk proses pembersihan garam dari kandungan pengkotor (washing plant) agar garam rakyat dapat dimurnikan. Dengan demikian, kadar natrium klorida (NaCl) meningkat.
“Garam rakyat kita rata-rata kualitasnya NaCl-nya 89%, lalu dimurnikan untuk garam kebutuhan industri," ujarnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya menyebut, kebutuhan garam nasional 2020 sebesar 4 juta ton. Namun, produksi dalam negeri baru mencapai setengahnya.
"Sehingga cari yang paling gampang, yaitu impor garam. Dari dulu gitu terus dan tidak pernah ada penyelesaian," katanya, beberapa waktu lalu.