Tiktok caplok Tokopedia: Sisi abu-abu perdagangan digital?
Usai resmi berhenti beroperasi pada 4 Oktober lalu, kehadiran kembali TikTok Shop cukup mengagetkan sejumlah pihak. Di luar dugaan, TikTok Shop hadir dengan format baru melalui marketplace lokal karya anak bangsa, Tokopedia.
TikTok resmi bekerja sama dengan GoTo Gojek Tokopedia, tepat sehari sebelum kampanye belanja tanggal kembar 12.12 atau pada Senin (11/12). Kerja sama ini ditandai dengan investasi TikTok pada marketplace besutan William Tanuwijaya ini sebesar lebih dari US$1,5 miliar atau sekitar Rp22,5 triliun. Suntikan dana segar ini juga menjadi komitmen jangka panjang TikTok untuk mendukung operasional Tokopedia tanpa dilusi lebih lanjut pada kepemilikan GoTo di Tokopedia.
“Kita sambut gembira atau justru khawatir atau malah paranoid karena yang terjadi sekarang tidak seperti yang kita pikirkan sebelumnya. Ini bukan sekadar kongsi bisnis dari dua perusahaan raksasa akuisisi, ini akan berdampak panjang pada landscape industri ekonomi digital Indonesia dan juga kedaulatan negeri ini,” kata Indrawan Nugroho dalam unggahan di kanal Youtubenya dengan judul “Waspada Jebakan TikTok Shop x Tokopedia”.
Kerja sama ini diakui akan memperluas manfaat bagi pengguna dan UMKM melalui peningkatan kapasitas dan kompetensi pelaku UMKM melalui program komprehensif. Bahkan setelah bergabung dengan Tokopedia, TikTok Shop juga akan membawa keuntungan bagi GoTo untuk menjangkau pasar yang lebih luas bagi layanan keuangan digital.
“Terlepas dari semua yang terdengar bagus dan baik itu saya masih bingung. Satu hal apa yang saya pahami adalah Tiktok shop dan Tokopedia tetap menjadi aplikasi yang terpisah Tiktok Shop tetap berada di aplikasi Tiktok, Tokopedia ya Tokopedia bedanya sekarang Tiktok Shop dikelola oleh PT Tokopedia yang memiliki izin e-commerce sementara Tiktok sebagai media sosial tetap beroperasi menggunakan izin media sosial,” sebut konten kreator yang juga CEO dan Co-founder CIAS ini.
Indrawan mengaku sempat mengira aplikasi TikTok Shop dan Tokopedia akan melebur jadi satu. Karena tanpa izin social commerce sebelumnya, TikTok Shop dinilai akan sangat powerfull dan merugikan UMKM. Namun, pada akhirnya kolaborasi ini hanya berbeda dari sisi operator TikTok Shop adalah Tokopedia.
Dia pun mengingatkan agar selalu waspada pada bergabungnya dua entitas besar ini. “Jangan sampai
lengah lebih baik dibilang paranoid daripada bersikap naif. Kita seharusnya sibuk mengajukan sejuta pertanyaan mengupas semua niatan serta membangun pagar panjang yang kokoh bukannya malah sibuk menggelar karpet merah sembari membuka gerbang kedaulatan kita lebar-lebar,” ungkapnya.
Adapun menurut Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda, ketika pemerintah menerbitkan Permendag 31/2023 tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang memisahkan antara social commerce dan e-commerce, maka akan ada wilayah abu-abu.
“Misalkan e-commerce dengan social commerce atau e-commerce/social commerce dengan iklan baris online itu pasti akan ada teknologi di wilayah abu-abu. Karena pasti teknologi berkembang cepat dan berinovasi dan efisiensi operasional dan sebagainya,” ujar dia kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Secara teknis, Huda mencermati pada aplikasi TikTok Shop ada keterangan ‘powered by Tokopedia’ di mana untuk menjual barang baik dengan foto, video, maupun live streaming, TikTok Shop akan menggunakan lisensi dari Tokopedia.
“Yang jadi persoalan TikTok Shop memakai teknologi back end untuk check out dan pembayaran dari Tokopedia, apakah digunakan di aplikasi atau di switch ke Tokopedia, sistem mereka harus kita kawal,” bebernya.
Pasalnya, dia menilai jika check out melalui Tokopedia maka akan sah-sah saja. Mengingat Tokopedia menyokong back end dari sistem TikTok Shop sendiri di mana proses uji cobanya kini masih berjalan pasca kolaborasi kedua entitas terbentuk. Dengan kata lain, proses belanja online TikTok Shop masih dalam proses uji coba pasca keranjang kuningnya kini berubah sebagai keranjang hijau.
Dominasi asing
Huda menambahkan dengan besaran nilai investasi TikTok pada Tokopedia, maka marketplace lokal ini turut masuk dalam jajaran marketplace milik asing. Seperti halnya, Shopee milik Sea Limited, Lazada milik Alibaba Group, dan kini Tokopedia. “Bisa dibilang proses ini kan satu aksi korporasi di mana mereka jual 75% sahamnya ke Bytedance. Bagi perusahaan ini satu yang positif karena ada tambahan dana segar dan bisa bersaing,” ungkapnya.
Dia mengharapkan akan ada pengawasan pada kerja sama ini mengingat Tokopedia semula adalah aplikasi anak bangsa yang digunakan oleh 99% UMKM di tanah air. Hal ini terkait dengan kepentingan nasional, sehingga Tokopedia diharapkan tidak menjadi ‘etalase’ bagi produk-produk impor yang berpeluang masuk pasca terbentuknya kolaborasi.
“Harus ada peraturan batasi barang-barang impor itu di e-commerce. Yang kita dorong adalah tagging barang impor atau lokal, ini belum dilakukan sampai sekarang,” cetusnya.
Menurutnya, tagging cukup efektif merekam berapa banyak barang impor yang dijual marketplace. Pemerintah selanjutnya juga perlu kebijakan turunan dari tagging misalnya dengan pembatasan jumlah etalase barang impor.
Terkait rumor yang mengatakan ByteDance sebagai alat propaganda pemerintah China, Huda menilai investasi ini sangat berharga bagi Tokopedia. Terlebih di tengah seretnya investasi untuk perusahaan teknologi di tengah ‘musim dingin’. Di sisi lain, negara seperti Amerika Serikat juga telah membatasi ekspansi TikTok dengan tujuan menjaga keamanan data pengguna.
“Untuk meminimalisir dampak misal data, apakah perlindungan data pribadi kita sudah kuat? Kalau kuat bisa menuntut apabila data kita disalahgunakan Tiktok seperti terjadi di AS. Makanya saya harapkan aturan ini sempurna, kita dorong juga UU Ekonomi Digital untuk e-commerce, perlindungan data pribadi, dan sebagainya,” tutup Huda.