TikTok Indonesia merespons rencana pemerintah merevisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, Dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Di mana, salah satu poin yang akan direvisi adalah terkait dengan social commerce hanya boleh memfasilitasi promosi barang atau jasa. Artinya, tidak boleh ada transaksi langsung atau bayar langsung.
Menurut TikTok Indonesia, sejak pengumuman pemerintah tersebut, pihaknya menerima banyak keluhan dari penjual lokal yang meminta kejelasan terhadap peraturan yang baru.
"Perlu kami tegaskan kembali bahwa social commerce lahir sebagai solusi bagi masalah nyata yang dihadapi UMKM dan membantu mereka untuk berkolaborasi dengan kreator lokal guna meningkatkan traffic ke toko online mereka," kata TikTok Indonesia dalam keterangan resminya, Senin (25/9).
TikTok Indonesia menegaskan, akan tetap menghormati hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia.
"Namun, TikTok Indonesia juga berharap pemerintah mempertimbangkan dampak terhadap penghidupan enam juta penjual lokal dan hampir tujuh juta kreator affiliate yang menggunakan TikTok Shop," kata TikTok Indonesia.
Seperti diketahui, Mendag Zulkifli Hasan telah membocorkan beberapa poin revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Di antaranya, social commerce hanya boleh memfasilitasi promosi barang atau jasa. Tidak boleh ada transaksi langsung atau bayar langsung.
Serta, e-commrece tidak boleh ada sosial media. Alias harus ada pemisahan antara sosial media dengan e-commerce. Pemerinta akan memberlakukan sama sama antara produk yang dijual di sistem online dengan offline.
Sementara itu, Kementerian Koperasi dan UkM menginformasikan kalau para pelaku usaha dan industri tekstil di Jawa Barat (Jabar) terancam berhenti berproduksi karena imbas praktik predatory pricing di platform social commerce.
Praktik predatory pricing tersebut secara nyata mulai dirasakan khususnya oleh para pelaku usaha tekstil yang mengalami turunnya permintaan sehingga menekan omzet bahkan lebih lanjut berdampak pada penurunan produksi dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pegawai UMKM.
Di Kabupaten Bandung, Kecamatan Majalaya, Jawa Barat misalnya, sebagai kawasan yang penduduknya menjalani usaha pertekstilan pada hari biasa ramai aktivitas produksi. Namun sejak Lebaran hingga saat ini, penurunan produksi terus terjadi hingga beberapa pabrik tak mampu lagi bertahan untuk terus berproduksi.
"Kami bersama para pelaku industri pakaian jadi dan tekstil membahas tentang hal ini dan memang ada penurunan yang cukup drastis karena pelaku UMKM yang memproduksi pakaian muslim, kerudung, pakaian jadi yang dijual di pasar grosir seperti Tanah Abang, ITC Kebon Kelapa, Pasar Andir terpantau anjlok. Akibatnya permintaan terhadap pakaian, kain, dan tekstil menurun drastis," ucap Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki, dalam keterangan resminya, Minggu (24/9).
Menteri Teten mengatakan, produk mereka kalah bersaing bukan karena kualitas, tetapi soal harga yang tidak masuk Harga Pokok Penjualan (HPP) pelaku UKM/IKM tekstil yang tidak mampu bersaing.
"Saya mendapat informasi ada indikasi marak impor pakaian jadi maupun produk tekstil yang tak terkendali. Harga yang murah ini adalah predatory pricing di platform online, memukul pedagang offline dan dari sektor produksi konveksi juga industri tekstil dibanjiri produk dari luar yang sangat murah," kata MenKopUKM.
Menurut MenKopUKM, hal itu terjadi juga karena didorong adanya aturan safe guard yang tidak berjalan dengan semestinya. Untuk itu, pemerintah berupaya untuk membenahi dan berkoordinasi dengan Mensesneg untuk langkah ke depan.