Direktur Utama PT Timah (Persero) Tbk. (TINS), Mochtar Riza Pahlevi mengatakan perusahaan melakukan kebijakan pengurangan produksi hingga menurunkan ekspor untuk mengantisipasi harga komoditas yang tertekan.
Harga timah di pasar dunia telah menyentuh nilai US$16.300 per metrik ton pada akhir September 2019.
Riza melanjutkan, perseroan telah mengeluarkan kebijakan efektivitas dan efisiensi pada operating cost, terutama volume ekspor menyikapi harga timah yang rendah tersebut.
"TINS menahan produksi dan penjualan timah sebagai upaya untuk merespons harga timah dunia yang menurun. Pengurangan produksi dilakukan dengan pemberhentian operasi kapal keruk (dredge)," kata Riza pada keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (8/10).
Sementara itu, untuk tambang darat, perusahaan juga mengurangi jumlah operasional menjadi sebanyak satu shift dari yang semula tiga shift. Selain itu, tujuh kapal isap produksi juga saat ini dalam posisi on hold untuk tidak melakukan operasi penambangan.
Dari sisi pemasaran, kata Riza, TINS telah mengurangi penjualan sejak Juli 2019. Perseroan telah mengurangi ekspor sekitar 1.000 ton-1.500 ton per bulan.
"Saat ini, perseroan akan menambah pengurangan ekspor sekitar 1.000 ton per bulan sehingga total terjadi pengurangan ekspor 2.000 ton-2.500 ton per bulan," ujarnya.
Riza mengatakan harga komoditas saat ini belum menguntungkan bagi perusahaan. Apalagi, sebagai perusahaan tambang, TINS dituntut untuk memperhatikan tanggung jawab lingkungan, reklamasi, bisnis, HAM, dan pemberdayaan masyarakat.
Fluktuasi harga timah terus terjadi sepanjang tahun 2019 ini. Harga timah sempat meroket pada Februari lalu, namun kembali turun drastis pada awal Juli. Lemahnya harga timah ini, kata Riza, dipengaruhi oleh perang dagang antara China dengan Amerika Serikat.
Lalu, bagaimana prospek saham TINS?
Analis Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan tren penurunan harga komoditas menjadi peluang menarik bagi investor untuk mengoleksi saham TINS. Investor berpotensi mendapatkan cuan karena masuk dengan harga murah.
"Saran saya beli saja untuk jangka panjang. Karena saham komoditas pasti akan naik nantinya," kata Hans ketika dihubungi, Selasa (8/10).
Menurut Hans, langkah TINS yang mengurangi produksi untuk mengendalikan harga timah dunia sudah tepat sasaran. Hans juga menilai pemerintah perlu melakukan intervensi terhadap penambangan timah untuk mengendalikan pasokan timah yang ada di dunia.
"Penambangan rakyat ilegal yang menjual timahnya ke luar negeri seperti ke Malaysia dan Thailand juga perlu ditertibkan untuk menjaga suplai timah," ujar Hans.
Hans memprediksi harga komoditas tambang seperti timah masih akan terus mengalami fluktuasi selama perang dagang antara China dan Amerika Serikat. Selain itu, masih berlanjutnya pelemahan ekonomi global juga menahan kenaikan harga timah.
Dukung kurangi produksi
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) Jabin Sufianto mengatakan mendukung rencana TINS untuk mengurangi produksi dan ekspor timah akibat merosotnya harga komoditas.
Menurut Jabin, pengurangan produksi akan memberikan dampak pada harga timah. Sebab, peran Indonesia sangat besar dalam memenuhi kebutuhan timah di pasar global.
"AETI mendukung, kita memang harus berani menurunkan volume produksi selagi harga di level rendah," ujar Jabin.
Jabin melanjutkan, adanya pengurangan produksi dan ekspor akan memberikan dampak bagi harga timah. Jabin juga mengatakan dengan harga komoditas saat ini, produsen timah tak perlu jor-joran melakukan ekspor timah. Selain itu, lanjutnya, Indonesia sebagai produsen timah dunia juga harus menjalankan strategi terhadap permintaan timah dunia.
"Semua kan tergantung supply dan demand, kalau demand lagi jelek, ya tak usah jualan dulu. Toh, timah bisa disimpan dalam waktu ratusan tahun," tutur Jabin.
Rencana pengurangan produksi dan ekspor tersebut membuat harga saham TINS melemah pada penutupan perdagangan Selasa (8/10). Saham TINS melemah 1,11% sebanyak 10 poin ke level Rp890 per lembar saham.