close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi investasi bodong berkedok syariah. Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Ilustrasi investasi bodong berkedok syariah. Alinea.id/Dwi Setiawan
Bisnis
Senin, 13 Januari 2020 16:34

Tipu-tipu investasi syariah palsu

Rata-rata penipuan berkedok syariah membawa nama-nama tokoh agama beken dalam promosinya. Harga dan keuntungan yang ditawarkan juga janggal.
swipe

Irvan Narsun (41 tahun) tidak menyangka uangnya sebanyak Rp417 juta harus raib setelah berinvestasi di perusahaan investasi berbasis syariah, Kampoeng Kurma. Ia tertarik berinvestasi karena perusahaan ilegal berkedok perkebunan kurma ini menjanjikan imbal hasil yang besar dengan embel-embel antiriba.

“Dia (Kampoeng Kurma) menawarkan investasi syariah, kavling produktif dengan lima pohon kurma. Itu mereka kelola selama lima tahun sampai berbuah. Setelah berbuah kita dapat bagi hasil 50:50,” kata Irvan kepada reporter Alinea.id saat dijumpai pada akhir pekan lalu.

Keuntungannya menggiurkan. Satu kavling dapat menghasilkan Rp150 juta dalam lima tahun. Setelah itu, setiap tahun pohon kurma bakal terus berbuah dan keutungannya akan mengalir ke kocek investor. Belum lagi kalau ditambah dengan peningkatan harga tanahnya.

Menurut Irvan, pada 2017 harga satu kavling dengan luas 400-500 meter persegi di Kampoeng Kurma hanya dibanderol sekitar Rp79 juta. Namun setahun setelah itu, harganya meningkat jadi Rp99 juta.

“Keuntungan segitu ‘kan gede, mas. Sudah gitu mereka janji juga mau bangun kawasan islam sama bikin pesantren buat penghafal Quran (Alquran). Kapan lagi bisa investasi sambil beramal,” tuturnya.

Selain menjanjikan untung besar dan kesempatan beramal, promosi Kampoeng Kurma juga membawa nama tokoh-tokoh agama seperti Syekh Ali Jaber dan almarhum Ustaz Arifin Ilham. Promosi itu dapat dilihat di akun Youtube Kurma Tv dengan judul “Gathering Kampoeng Kurma Cipanas – Syekh Ali Jaber”.

Dalam video berdurasi 28 menit 49 detik itu, Syekh Ali Jaber sempat mengatakan Kampoeng Kurma sebagai bisnis yang luar biasa karena berorientasi pada kepentingan umat. Bahkan, Ali Jaber juga mengaku sebagai penasihat dan investor di bisnis ilegal tersebut.

Alhamdulillah sudah ikut menjadi penasihat di Kampoeng Kurma sekaligus menjadi investor di sini. Karena kenapa? Karena saya ingin ekonomi yang Allah akan bantu, yang Allah akan tolong ini benar-benar bisa membangkitkan umat, dan bisa jadi bermanfaat,” kata Ali Jaber.

Meski kini pernyataan tersebut telah dibantah Dermawan selaku Manager Eksekutif Yayasan Syekh Ali Jaber, namun kehadiran tokoh agama sekelas Syekh Ali Jaber kadung membuat orang-orang seperti Irvan menaruh percaya lebih pada entitas ilegal itu.

Itu pula alasan mengapa Irvan sempat ngotot untuk berinvestasi di Kampoeng Kurma, walau koleganya yang lain sudah mengajukan komplain beberapa waktu sebelumnya. Tidak kurang 180 orang dengan total kerugian mencapai Rp10 miliar menjadi korban atas investasi ilegal berkedok syariah tersebut.

“Saya tidak curiga sama sekali. Saya kira mereka orang-orang syariah. Saya percaya saja,” katanya.

Dia mengaku baru merasa curiga pada awal 2019 dan akhirnya menjadi yang paling vokal menuntut ganti rugi atas penipuan investasi bodong yang dilakukan Kampoeng Kurma. Irvan menjadi satu di antara puluhan orang yang menggeruduk Kantor Pemasaran Kampoeng Kurma, di Jalan Pangeran Asogiri, Tanah Baru, Bogor, Jawa Barat, pada akhir 2019.

Media ramai-ramai mengangkat berita ini dengan kata kunci “investasi bodong berkedok syariah”. Setelah peristiwa itu, kata dia, manajemen Kampoeng Kurma menjadi sulit dihubungi dan terkesan menghindar. Alinea.id berkunjung ke kantor pemasaran Kampoeng Kurma di Bogor untuk mengetahui kebenarannya.

Saat kami berkunjung, kantor pemasaran yang berada di sebuah petak ruko itu memang tampak sepi tanpa aktivitas berarti. Di dinding kantor hanya terpampang pigura dan foto sejumlah kavling Kampoeng Kurma di wilayah Jasinga, Jonggol, Cirebon dan Banten Selatan. Persis di depan muka ruko tergantung spanduk bertuliskan “DIJUAL”.

Tidak satu orang pun pihak manajemen yang dapat kami temui. Kami hanya disambut seorang karyawan laki-laki yang berjaga tanpa mau disebutkan namanya. Ia irit bicara saat reporter Alinea.id bertanya soal keberadaan Arfah Al Hafidz, Direktur Utama PT Kampoeng Kurma dan sang istri Sari Kurniawati.

“Bapak-ibu lagi enggak berada di tempat,” jawabnya singkat. Ia kemudian meminta kami pergi dan melarang kami mengambil gambar karena takut dimarahi bos. “Intinya sekarang, manajemen lagi berusaha untuk kelarin semua, pada waktunya nanti kami akan ada konferensi pers.”

Tris, seorang pemilik bengkel yang berada dekat dengan lokasi mengakui bahwa aktivitas di Kampoeng Kurma memang sudah tidak seramai dulu.

“Setelah ada itu tuh, mas, demo-demo itu memang sepi sih. Bukanya kadang dua hari sekali, kadang tiga hari sekali,” katanya.

Sementara terkait spanduk “DIJUAL”, ketua RT setempat Raden Lukman menyebut bahwa ruko lima pintu itu dijual karena Kampoeng Kurma sedang berupaya mengganti kerugian para korban.

“Katanya sih buat ganti rugi ke korban. Tapi baru katanya-katanya. Enggak tahu kalau benarnya gimana,” kata ia.

Alinea.id berulang kali menghubungi Sari Kurniawati untuk meminta keterangan atas kabar tersebut. Namun hingga artikel ini terbit, Sari tak kunjung mau ditemui atau bahkan sekadar mengangkat telepon kami. Sedangkan, sang suami sampai sekarang tidak diketahui di mana keberadaannya. 

Kantor pemasaran Kampoeng Kurma di Bogor, Jawa Barat, dijual untuk menutupi ganti rugi kepada konsumennya. Alinea.id/Annisa Rachmawati

Properti Syariah Bodong

Kasus bisnis bodong syariah yang memanfaatkan popularitas dan kepercayaan umat terhadap tokoh-tokoh agama, tidak hanya terjadi di Kampoeng Kurma. Beberapa waktu lalu, seorang ustaz beken Yusuf Mansur juga sempat terseret dalam kasus investasi bodong perumahan Multazam Islamic Residence di Kalanganyar, Sidoarjo, Jawa Timur.

Foto Yusuf terpajang dalam brosur pemasaran yang disebar PT Cahaya Mentari Pratama selaku developer. Namun hal tersebut buru-buru dibantah sang ustaz melalui akun Instagram-nya. 

“Hal-hal begini mencederai gerakan ekonomi syariah yang lagi bagus-bagusnya,” kata Yusuf dalam akun instagram-nya @yusufmansurnew, Senin (6/1).

Namun begitu, kebekenan sang ustaz telah kadung membuat banyak korban terjerat muslihat developer. Tidak kurang 32 orang menjadi korban atas investasi bodong tersebut. Kerugiannya mencapai Rp5,1 miliar. 

Pada November 2019, developer syariah bernama PT ARM Cipta Mulia juga terjerat kasus serupa. Korbannya 11 orang dengan kerugian Rp23 miliar.

Sementara yang fantastis terjadi di Tangerang, atas nama PT Wepro Citra Sentosa. Korbannya mencapai 3.680 orang dengan total kerugian Rp1 triliun. 

Modusnya serupa, para penipu memajang wajah-wajah pendakwah atau alim-ulama sebagai representasi syariah dalam bisnisnya. Harga yang ditawarkan pun rata-rata jauh di bawah standar dengan embel-embel antiriba. Dan, pembeli diwajibkan beragama islam dengan alibi akan membangun kawasan islam.

MB (34 tahun), salah seorang korban mengaku terjerat penipuan berbasis syariah itu karena ditawari rumah dengan harga yang sangat murah. Bayangkan, rumah berukuran 22/36 meter persegi hanya dijual seharga Rp57 juta. Jauh di bawah standar rumah bersubsidi (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan/FLPP) yang berkisar Rp140 juta-Rp200 juta.

Udah gitu bebas BI checking , enggak ada bunga, enggak ada penalti kalau belum mampu lunasin atau ada tunggakan enggak ada denda kayak begitu. Pokoknya dia nawarin syariahnya sih mas,” kata wanita yang tinggal kawasan Bekasi itu.

Kerugian MB atas penipuan berkedok syariah itu mencapai Rp35 juta. Sejumlah langkah hukum mulai melapor ke LBH, kepolisian dan Ombudsman telah dilakukan MB demi bisa menyelamatkan uangnya kembali. Namun, semua upaya itu nihil hasil sampai sekarang.

“Perusahaan sih janji mau refund. Terakhir Desember mereka janjinya. Tapi sampai sekarang mana tuh? ‘Kan direkturnya (Direktur PT Wepro Citra Sentosa) juga sudah dipenjara,” terangnya.

Kantor pemasaran PT Wepro Citra Sentosa atau Amanah City Islamic Superblock di Kebayoran Square pun saat ini sudah ditutup. Sejak Maret 2019, kantor developer syariah bodong itu tidak lagi beroperasi.

Alinea.id lantas melakukan penelusuran nama PT Wepro Citra Sentosa, PT ARM Cipta Mulia, dan PT Cahaya Mentari Pratama melalui laman sireng.pu.id, namun nihil. Padahal, setiap perusahaan properti legal wajib terdaftar dalam portal milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) ini.

Pun ketika kami mengecek nama ketiga perusahaan tersebut dalam daftar asosiasi perumahan resmi yang terafiliasi dengan pemerintah seperti Real Estate Indonesia (REI), Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi), dan Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra).

Kami juga melakukan penelusuran nama perusahaan-perusahaan bodong itu melalui media sosial Facebook. Masih terdapat jejak digital seorang sales yang sempat menawarkan properti PT Wepro Citra Sentosa.

Kami menghubungi nomor yang tertera di dalam akun Facebook bernama Andre Seven. Sepanjang perbincangan kami, sang empunya akun menjawab dengan nada gemetar dan takut.

“Iya mas. Itu salah. Sudah tutup juga. Saya udah enggak ada urusan lagi,” kata ia.

Saat ditanya apakah ia sudah menjual properti dari PT Wepro Citra Sentosa, ia enggan menjawab.

Korban kasus sindikat mafia perumahan syariah hadir saat rilis kasus di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (16/12). Polda Metro Jaya mengungkap tindak pidana penipuan sindikat mafia perumahan syariah senilai Rp40 miliar dari 3.680 korban dengan mengamankan empat orang tersangka. / Antara Foto

Kepercayaan

Maraknya penipuan berkedok syariah ini, mau tak mau berdampak pada kepercayaan konsumen terhadap bisnis syariah. Presiden Direktur PT Sharia Grup Indonesia, Nasuha Alhuda menyebut, kepercayaan konsumen terhadap syariah tergerus setelah kasus penipuan berkedok syariah digoreng sedemikian rupa.

Ia pun mengaku sedikit kesulitan menjalankan bisnisnya setelah sejumlah kasus penipuan syariah itu mencuat.

“Konsumen lebih berhati-hati, bahkan cenderung tidak percaya. Padahal itu kan hanyalah oknum, bukan syariahnya,” kata ia.

Sejatinya, kata ia, membedakan mana bisnis syariah yang benar dan tidak sangatlah mudah. Konsumen hanya perlu mengecek legalitas perusahaan dan rekam jejaknya.

Selain itu, harga dan keuntungan yang ditawarkan juga wajar. Jika properti, maka harganya pasti setara rumah FLPP. Sementara untuk investasi, janji keuntungannya tidak melebihi reksa dana, yakni sekitar 10%-20%.

“Kalau masyarakat menyadari itu. Syariah sebetulnya lebih menguntungkan. Karena tidak ada pihak ketiga,” terangnya.

Keuntungan lainnya, yaitu konsumen tidak dibebani bunga berbunga seperti halnya di bisnis konvensional. Tidak ada riba. Tidak ada denda jika konsumen terlambat membayar cicilan.

Jika sampai pada waktunya, konsumen tidak mampu membayar cicilan, maka properti atau barang yang telah dibelinya akan dilelang. Hasilnya, akan dikembalikan ke konsumen dengan perhitungan tertentu.

Waspada investasi bodong berkedok syariah. Alinea.id/Dwi Setiawan

img
Fajar Yusuf Rasdianto
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan