Toko buku bekas: Terlibas disrupsi dan tantangan literasi
Rangga (Nicholas Saputra) mengajak Cinta (Dian Sastrowardoyo) menelusuri gang-gang di kawasan Kwitang saat mereka pertama kali ‘jalan’ bersama. Sebagai penggila sastra, Rangga memang kerap menjelajah kawasan di daerah Senen, Jakarta Pusat itu yang dikenal sebagai pasar buku baru dan bekas.
Di Kwitang pula, Cinta berhasil menemukan buku lawas ‘AKU’ karya sutradara Sjuman Djaya yang mengisahkan sastrawan Chairil Anwar. Lewat buku inilah, perkenalan Cinta dan Rangga yang masih SMA menjadi semakin intens. Adegan film ‘Ada Apa Dengan Cinta’ (AADC) di kawasan Kwitang tersebut memang sungguh fenomenal di era 2002. Memang, sejak era 80-an, Kwitang telah menjadi rujukan utama para pecinta buku, orang tua dengan anak pelajar, hingga mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan literasi mereka.
Bagaimana tidak, ratusan pedagang buku yang memenuhi setiap jengkal ruas jalan Kwitang Raya hingga Kramat Raya menawarkan bermacam-macam buku, mulai dari buku pelajaran sampai karya sastra. Tak hanya buku bekas, buku baru juga banyak tersedia dengan harga jual yang sangat ekonomis.
“Masih bisa ditawar lagi. Dan buku yang dijual, meskipun bekas, masih sangat layak baca,” kata Sarah Amalia (25), seorang pengusaha yang juga merupakan pegiat hidup minim sampah kepada Alinea.id, Kamis (2/3).
Buku bekas, menurut dia, juga lebih menarik dengan adanya catatan dari poin-poin buku yang dibuat pemilik sebelumnya. Sebagai orang yang sedang menjalani gaya hidup minim sampah, buku bekas menjadi pilihan perempuan yang kerap disapa Jo ini karena dirasa dapat mengurangi penebangan pohon untuk pembuatan buku baru.
Selain buku second, Jo juga mulai membaca buku elektronik (e-book). Aktivitas membaca buku digital ini sudah dilakoninya sejak 2020 lalu. “Buatku, baca buku fisik itu ada sensasinya tersendiri, makanya masih beli buku tapi buku bekas. Kalau untuk judul baru yang pingin kubaca, biasanya beli e-book-nya,” jelasnya.
Dengan target membaca 2 buku baik fiksi maupun non-fiksi dalam sebulan, berburu buku bekas di Kwitang sudah menjadi rutinitas Jo ketika sedang bertandang ke Jakarta. Sayangnya, menurut warga Bandung ini, kawasan Kwitang sudah tak seperti yang dulu. Pedagang buku semakin menyusut seiring dengan perkembangan zaman. Dari catatan Alinea.id, tidak lebih dari 30 pedagang yang masih menggelar lapak bukunya di pasar buku dekat Stasiun Pasar Senen itu.
Salah satunya adalah Toko Buku Restu yang masih bertahan, sejak didirikan pada 1970-an. Dalam sepetak toko, terdapat lima orang pedagang yang memiliki koleksi ribuan buku. Alhasil, toko buku yang berada di Jalan Kwitang Nomor lima ini sesak oleh berbagai jenis buku hingga menjulang sampai ke langit-langit toko.
“Saya sudah di sini dari 1989. Sebelum di sini, dulu mangkal di pinggir jalan. Kalau kucing-kucingan sama Satpol PP itu udah biasa. Sekarang sudah aman lah di sini,” jelas Iwan (66), salah seorang pemilik kios di Toko Buku Restu, saat ditemui Alinea.id akhir pekan lalu.
Pun demikian dengan Subhil (53), pemilik toko buku lainnya. Alih-alih petugas penertiban, ancaman penjual buku-buku bekas seperti dirinya ialah kian sepinya peminat buku, baik baru atau bekas. Kondisi ini sebenarnya sudah berlangsung sejak cukup lama, namun benar-benar terasa kala pagebluk menerpa.
“Sekarang alhamdulillah sudah mendingan lagi. Tapi enggak bisa juga kita bandingkan sama tahun 2015 ke bawah,” kata pedagang yang karib disapa Pak Bill itu.
Kini ramainya Toko Buku Restu dan lapak-lapak toko buku bekas lainnya hanya terjadi pada masa tertentu saja. Sebagai contoh pada bulan enam atau Juni. Pada saat periode ini, banyak orang tua yang mencari buku pelajaran untuk anak-anaknya yang duduk di bangku sekolah. Jika tidak, pada bulan empat (April) dan sembilan (September), saat banyak mahasiswa berburu buku guna menunjang materi perkuliahannya.
Sementara untuk buku-buku jenis novel atau pengembangan diri, selalu saja ada yang membeli karena punya segmen tersendiri. Kadang, mahasiswa yang sedang mencari buku materi kuliah pun membawa pulang juga sebuah novel yang menarik perhatiannya.
“Tapi kalau novel dan pengembangan diri kan paling satu orang beli satu, kalau buku pelajaran atau buku materi kuliah itu kayak buku ekonomi, hukum itu biasanya seorang bisa beli beberapa,” jelas dia.
Pertarungan di era digital
Semakin sepinya pembeli buku bekas juga dialami oleh para penjaja buku yang terletak di Jakbook Pasar Buku Kenari. Setelah diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada April 2019 lalu, gerai-gerai buku yang sudah difasilitasi dengan pendingin ruangan dan juga coffee shop itu justru sepi pengunjung. Hanya ketika terdapat acara saja, Jakbook Pasar Kenari ramai pengunjung.
“Padahal dulu berharapnya setelah pindah dari (Pasar Buku) Kwitang bisa lebih ramai. Karena lebih bersih dan adem. Tapi sama aja,” keluh Eko, salah satu pedagang buku di Pasar Kenari, saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (26/2).
Kondisi pelapak di pasar buku yang terletak sekitar 1,8 kilometer dari Toko Buku Restu itu kontras dengan lantai 1 dan 2 Pasar Kenari yang dihuni oleh pedagang lampu, kabel dan perlengkapan elektronik. Selain pada bulan Maret, Juni dan September ketika banyak mahasiswa mencari buku untuk menunjang perkuliahannya, kata Eko hanya ada dua, tiga pengunjung saja yang melihat-lihat jajaran toko buku bekas di Pasar Kenari itu.
“Di Sabtu-Minggu sama tanggal merah bisa lebih banyak, tapi ya masih bisa diitung pakai jari,” imbuhnya.
Laki-laki 50 tahun ini memperkirakan marketplace menjadi penyebab orang ogah datang langsung ke toko-toko buku bekas. Diakuinya, lokapasar memang tempat yang mudah untuk mencari berbagai macam barang, termasuk buku bekas.
Bahkan, ketika pandemi melanda pada 2020 lalu dan Pasar Buku Kenari menjadi jauh lebih sepi ketimbang biasanya, Eko harus memutar otak. Marketplace menjadi salah satu sarana yang digunakannya untuk menjajakan ribuan koleksi bukunya, selain juga melalui media sosial seperti WhatsApp dan Facebook. Perbedaannya nyata, jika di pasar offline dirinya hanya menjual paling banyak 5 buku di hari biasa, melalui lokapasar penjualan buku dapat mencapai 2-3 kali lipatnya.
“Terus juga kalau datang langsung kan pembeli biasanya nawar. Kalau di Shopee sama Tokopedia kan enggak bisa ditawar,” imbuh dia.
Hal ini diakui pula oleh Hendrik, pedagang buku bekas di lantai basement Blok M Square. Kata Hendrik, berjualan di marketplace juga punya keuntungan tersendiri. Contohnya, bagi pedagang yang sudah memiliki toko dengan lumayan bagus, produk jualannya bisa direkomendasikan langsung oleh lokapasar tempatnya dijual. Dus, buku-buku dari tokonya dapat lebih mudah ditemukan oleh calon pembeli.
Meski begitu, saat merintis toko daring bernama Damai Hati bukanlah hal mudah. Dirinya harus bersaing dengan pelapak buku bekas lain yang sudah lebih dulu terjun ke platform e-commerce. Kunci untuk bertahan, kata dia ialah dengan mengetahui keinginan pasar dan juga menawarkan harga murah.
Harga, dalam hal ini menjadi penting karena penyebab masih cukup banyaknya masyarakat yang berburu buku bekas adalah harganya yang murah. Peminat buku bekas pun paling banyak juga berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, selain banyak juga yang memang merupakan kolektor buku.
“Kalau di toko biasa saya bisa dapat Rp1 juta-Rp1,5 juta di weekend, di Tokopedia sama Shopee bisa sampai Rp5 jutaan. Bisa lebih kalau pas masa rame,” jelasnya, merujuk pada bulan April, Juni dan September, saat bersua dengan Alinea.id, Jumat (3/3).
Dengan memanfaatkan lokapasar itu, cakupan asal pembelinya pun semakin luas. Semula, pembeli buku-buku bekas di Book Shop77 miliknya yang terletak di Blok E Basement Blok M Square hanya berasal dari Jabodetabek, kini tak jarang pembeli dari Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Sumatera dan Kalimantan juga ‘jajan’ buku di lapak Damai Hati-nya.
Karena pengalamannya itu lah, Hendrik dan Eko sepakat jika ingin bertahan di bisnis buku bekas ini, memperluas lapak ke marketplace menjadi sebuah keniscayaan. Mereka khawatir, jika tidak bermigrasi ke toko online, lapak buku bekas akan semakin tergerus oleh zaman. Menurut Hendrik, kondisi ini pun sudah mulai dirasakan kawan-kawannya yang tidak memiliki toko daring.
“Mereka jual bukunya sangat murah, Rp10.000-an, biasanya bisa ditawar lagi. Sekarang memang masih ada yang beli, tapi enggak tahu nantinya gimana,” ujar pedagang yang memulai bisnis buku bekasnya delapan tahun silam dan menjajal peruntungan di platform e-commerce sejak 2020 itu.
Bernilai tinggi
Sementara itu, dalam kesempatan lain, Penasihat Pengembangan Usaha Kementerian Koperasi dan UKM Wisnu Dewobroto mengungkapkan, di tengah gempuran era digital, kiblat informasi yang tadinya berasal dari buku dan media cetak kini mulai beralih menjadi media elektronik, salah satunya e-book. Tak heran jika peminat buku fisik perlahan berkurang.
Namun di balik itu, menurutnya sampai kapan pun masih akan ada pasar untuk buku fisik, baik buku baru maupun bekas. Bahkan, khusus untuk buku bekas yang bagus dan sudah tidak dijual lagi memiliki harga jual cukup tinggi. Pemburunya tidak hanya kutu buku saja, melainkan juga kolektor buku.
“Buku-bukunya Pramoedya Ananta Toer misalnya. Ini harga satu buku saja bisa sampai ratusan ribu rupiah untuk yang cetakan lawas. Buku-buku kuno bahkan bisa sampai jutaan,” kata dia, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (3/3).
Dari sisi harga, buku bekas jelas lebih menarik ketimbang buku baru yang harganya relatif lebih mahal. Tak heran, jika banyak pencari buku langka, kolektor buku jadul, sampai mahasiswa, hingga pelajar yang rela blusukan ke kios-kios buku bekas.
“Meski tidak semua orang suka buku bekas, percayalah, kalau Anda tawarkan buku bekas itu dengan kondisi yang masih sangat bagus dan harga murah, pasti ada yang beli,” kata Head of Research di Entrepreneurship Podomoro University itu.
Belakangan, pamor Kwitang, Pasar Buku Kenari, pelapak-pelapak buku bekas di basement Blok M Square memang lebih redup, ketimbang tahun 2000-an. Namun, di platform daring seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, atau platform perdagangan digital khusus barang bekas salah satunya Carousel masih ramai.
“Ini artinya peminat buku bekas masih ramai. Hanya saja pemburu buku bekas sudah tidak mau repot datang langsung ke sana (toko atau pasar buku bekas). Dari e-commerce, mereka tinggal klik-klik smartphone, cari buku yang mereka inginkan, bayar, tunggu dikirim, sampai rumah,” jelas Wisnu.
Meski begitu, untuk bisa sukses berdagang di platform daring, penjual tidak bisa sembarangan menjajakan bukunya. Untuk menjaring pasar dan memperkenalkan toko online mereka, pedagang bisa melakukannya dengan metode soft selling.
“Dengan mem-posting status atau konten informatif yang menarik di media sosial seperti Instagram, TikTok, Twitter, atau Facebook yang mengarah ke toko online-nya juga perlu dilakukan,” sarannya.
Sementara jika ingin meningkatkan penjualan melalui toko offline, ada baiknya jika pedagang bekerja sama dengan komunitas buku untuk membuat sebuah acara. Dengan demikian, toko buku bekasnya pun diharapkan dapat menarik minat lebih banyak pembeli.
Di saat yang sama, pemerintah khususnya pemerintah daerah juga dirasa bisa membantu pengelolaan toko-toko buku bekas dengan memusatkan penjualan toko buku bekas di sebuah tempat. Di mana tempat itu nantinya dipusatkan sebagai pusat literasi dan budaya.
“Dengan begitu, pasar-pasar buku bekas seperti Kwitang atau Pasar Buku Kenari keberadaannya tidak akan pernah mati,” lanjut Wisnu.
Sementara itu, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman Nugraha mengungkapkan, kondisi industri buku, termasuk buku bekas yang sudah mengalami disrupsi teknologi tidak akan pernah sama lagi. Apalagi, disrupsi teknologi di salah satu sektor ekonomi kreatif ini semakin tidak terbendung kala pandemi terjadi.
Oleh karenanya, untuk menghadapi tantangan ini, baik mulai dari penerbit hingga penjual buku memang diharuskan untuk lebih adaptif dan inovatif. Caranya, dengan mulai menerbitkan buku-buku digital bagi penerbit dan menjual buku melalui platform digital bagi para penjual buku.
“Industri buku memang tidak akan pernah mati. Apalagi minat baca masyarakat Indonesia juga semakin meningkat,” katanya, kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.
Betul saja, berdasar data Perpustakaan Nasional (Perpusnas), sejak 2016 tingkat kegemaran membaca masyarakat terus mengalami kenaikan. Di mana pada tahun lalu, Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) masyarakat ada di level 63,9%, naik dari tahun sebelumnya yang hanya 59,52%. Dengan Yogyakarta yang menjadi daerah dengan tingkat kegemaran membaca tertinggi, yakni 72,29%.
“Dengan berjualan buku melalui platform e-commerce dan juga pengelolaan yang lebih baik baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, toko-toko buku tetap akan tumbuh. Karena memang peminatnya juga masih ada,” tutupnya.