Pemerintah memutuskan melakukan impor beras 2 juta ton sepanjang 2023 bahkan 500.000 ton di antaranya dilakukan dalam waktu dekat untuk mengisi cadangan beras pemerintah (CBP). Izin impor beras diberikan Badan Pangan Nasional/National Food Agency (Bapanas/NFA) kepada Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog).
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, menilai, pemerintah terkesan mengambil jalan pintas dengan selalu mengandalkan impor pangan. Akibatnya, prinsip kedaulatan pangan kian jauh panggang dari api.
"Kedaulatan pangan seharusnya menjadi paradigma utama pembangunan pertanian di Indonesia. Hal ini juga sebenarnya sudah tercantum di Undang-Undang (UU) Pangan, yakni keharusan untuk mengutamakan produksi dalam negeri dan menjadikan impor sebagai alternatif terakhir," ujarnya dalam keterangannya, dikutip Rabu (29/3).
Henry pun mempertanyakan tujuan impor oleh pemerintah, apakah merupakan penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja. "Yang isinya mengubah isi pasal UU pangan perihal impor pangan?"
Lebih jauh, Henry menerangkan, kebijakan impor beras tersebut dilakukan di tengah momen panen raya sehingga tidak tepat dilakukan. Apalagi, akan memengaruhi harga gabah di tingkat petani.
"Pengumuman impor beras dalam waktu waktu dekat ini pasti berpengaruh, baik secara psikologis atau langsung terhadap harga di tingkat petani. Pemerintah seharusnya belajar dari peristiwa Surat Edaran Badan Pangan Nasional (SE Bapanas) lalu, yang langsung berimplikasi pada turunnya harga gabah di tingkat petani," tuturnya.
Baginya, produksi nasional tak mencukupi kebutuhan dalam negeri hingga ketersediaan anggaran dan mekanisme penyerapan gabah/beras di tingkat petani tidak bisa dijadikan alasan impor beras. Sebab, terjadinya penurunan produksi karena banjir ataupun hama menunjukkan ketidaksesuai antara prognosis Badan Pusat Statistik (BPS) dengan fakta di lapangan serta pemerintah belum maksimal menyusun dan melaksanakan kebijakan perberasan yang berpihak pada petani.
"Mulai dari sisi produksi, kita melihat pemerintah belum maksimal menjalankan reforma agraria, yakni mendistribusikan tanah kepada petani Indonesia yang mayoritas gurem. Pemerintah juga belum berhasil menstabilkan harga pupuk maupun sarana produksi lainnya," paparnya. "Belum lagi tidak adanya perlindungan dan jaminan harga yang layak terhadap produksi petani. Ini yang berlarut-larut tak terselesaikan dan membuat semakin ruwet."