close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi wisatawan asing di Bali. Foto Unsplash.
icon caption
Ilustrasi wisatawan asing di Bali. Foto Unsplash.
Bisnis - Wisata
Kamis, 12 September 2024 17:55

Turis asing bangun bisnis di Bali, ancaman atau peluang?

Bali kian sesak oleh turis asing yang membangun vila serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
swipe

Bali kian sesak oleh turis asing yang membangun vila serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Apakah fenomena ini menjadi ancaman atau justru peluang?

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda melihat kondisi ini mengakibatkan ruang usaha bagi masyarakat Bali semakin terbatas. Lebih-lebih lagi banyaknya warga negara asing (WNA) membuat manfaat ekonomi pariwisata akan terbang ke kantong mereka dan bukan warga lokal.

Masyarakat setempat hanya akan menjadi tenaga kerja yang dibayar dengan upah murah. Padahal, Pulau Dewata memiliki potensi besar untuk menjadi tujuan wisata yang mengundang devisa luar negeri.

“Orang luar ya harusnya tidak boleh berbisnis persewaan vila ataupun UMKM di Bali. Dengan semakin banyak WNA yang berbisnis, ya manfaat ekonomi pariwisata akan dinikmati oleh WNA,” ucapnya kepada Alinea.id, Selasa (10/9).

Maraknya turis asing yang membuka usaha di Bali sempat dikeluhkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Dia menyebut, WNA menikahi penduduk di Pulau Dewata agar bisa membangun bisnis. 

Bisnis yang dilakukan asing tak jarang mengorbankan sawah di daerah Canggu, Bali karena dialihfungsikan sebagai villa. Tak hanya vila, warga asing juga mendirikan UMKM.

“Tempat-tempat di daerah itu, masa sawah semua dialihfungsikan jadi tempat rumah. Mending bagus, jelek. Terus dikawinin orang Bali supaya dia dapat itu,” katanya, Kamis (5/9).

Pembatasan

Huda bilang, banyak pelancong asing yang melalukan pembelian secara paksa terhadap aset-aset milik warga lokal. Maka dari itu ia mengingatkan, jangan sampai warga lokal terpinggirkan.

Menurutnya, pemerintah perlu menertibkan usaha yang dimiliki oleh warga asing di Bali. Jika tidak, nilai tambah pariwisata Bali hanya dinikmati oleh WNA. Potensi keuntungan pembangunan resor, klub dan bisnis lainnya akan lari ke luar negeri.

“Uang hasil bisnis akan dikirimkan ke negara asal turis asing tersebut. Termasuk juga pembangunan resor, klub, dan lainnya oleh WNA. Itu wajib ditertibkan,” kata Huda.

Hal itu terlihat dari banyaknya pelaku UMKM di Bali berasal dari China, yang menjajakan ke turis asal China. Uang yang digunakan juga tak jarang merupakan mata uang China.

"Ya keuntungan larinya ke China. Jadi ini juga harus diperhatikan oleh pemerintah,” imbuhnya.

Selain itu, kebudayaan Bali juga terancam hilang lantaran banyaknya pelaku usaha dari luar negeri. Kemudian, digantikan oleh kultur negara lain yang tidak pas dengan Bali atau Indonesia.

Ekonom Piter Abdullah mengatakan pemerintah perlu membuat ketentuan yang membatasi model investasi semacam yang terjadi di Bali. Pengkajian ulang diperlukan agar pemerintah bisa mengontrol dan mengawasinya lebih baik.

"Bila pemerintah memang resah dengan keadaan ini, maka harus bersikap," ujar Piter kepada Alinea.id, Selasa (10/9).

Kendati demikian, menurutnya, banyaknya turis asing yang membuka usaha di Bali merupakan salah satu wujud investasi dalam ruang lingkup yang kecil. Fakta WNA menikah dengan warga lokal disebabkan oleh ketentuan pembatasan investasi langsung. 

“Itu orang asing, bawa uang, investasi di Bali. Tapi karena ketentuannya membatasi, mereka tidak mungkin melakukan investasi secara langsung. Kecuali mereka harus married, harus atas nama orang Indonesia, maka itu yang dilakukan oleh mereka. Tapi tetap investasi asing itu," ujarnya. 

Piter justru heran dengan sikap pemerintah yang mempersoalkan kondisi ini. Padahal, secara nasional Indonesia kerap mengundang investor asing untuk menanamkan uangnya di Indonesia.

Dia meminta pemerintah berkaca pada Nihiwatu Sumba Island yang menjadi hotel terbaik di dunia pada tahun 2017 lalu. Menurutnya, hotel tersebut tidak akan dianggap terbaik bila tanpa campur tangan pihak asing yang membangunnya.

“Lucu kalau Bang Luhut kemudian mempersoalkan itu. Sementara di level yang jauh lebih besar, kita mengundang, kita memberikan karpet merah kepada investasi asing. Apa bedanya yang bangun smelter sama yang bangun vila? Tidak,” ucapnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan