close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
ekerja melansir Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit di Pekanbaru, Riau, Rabu (20/3). / Antara Foto
icon caption
ekerja melansir Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit di Pekanbaru, Riau, Rabu (20/3). / Antara Foto
Bisnis
Sabtu, 13 April 2019 01:05

Turki dan India bakal jadi pasar baru CPO Indonesia

Pemerintah menyiapkan ekspansi ekspor produk kelapa sawit (crude palm oil/CPO) ke Turki setelah kisruh boikot Uni Eropa.
swipe

Pemerintah menyiapkan ekspansi ekspor produk kelapa sawit (crude palm oil/CPO) ke Turki setelah kisruh boikot Uni Eropa.

Hal ini bagian dari strategi cadangan bila Uni Eropa serius memberlakukan kebijakan Arahan Energi Terbarukan atau Renewable Energy Directive II (RED II) terkait pemboikotan produk sawit di kawasannya. Sebagaimana diketahui, aturan tersebut rencananya bakal diresmikan pelaksanaanya pasca-Pemilu Parlemen Eropa 2019 rampung terselenggara atau tepatnya setelah 12 Mei 2019 mendatang.

Sejauh ini, menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, negosiasi dengan Turki soal rencana ini telah dilakukan dan berjalan cukup positif.

"Dengan Turki sudah mulai dibicarakan, jadi ya negosiasinya juga sudah jalan," ujar Darmin dalam konferensi pers di Kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (12/4).

Selain Turki, pemerintah bahkan telah mengintensifkan komunikasi terkait rencana ekspansi tersebut dengan Pakistan dan India.

"Komunikasi dengan kedua negara tersebut terus kita lakukan secara intensif, rasanya dengan India itu mestinya sudah deal ya, Pakistan juga sudah," katanya.

Pemilihan ketiga negara tersebut sebagai pasar baru bagi sawit RI mengingat kesamaan ketergantungannya dengan RI terhadap produk minyak kelapa sawit. Mayoritas masyarakat di ketiga negara tersebut sehari-hari memang lebih memilih menggunakan produk minyak kelapa sawit ketimbang minyak nabati lainnya. Selain itu, pertimbangan pertumbuhan ekonomi juga menjadi dasar penguat pemilihan pasar baru bagi sawit RI tersebut. 

"Dan memang kita selalu dahulukan negara yang banyak menggunakan palm oil. Setelah ini, rencananya kita akan masuk ke pasar Afrika," ucapnya.

Perluasan pasar ekspor minyak sawit ini bakal dijalankan melalui perjanjian Free Trade Agreement (FTA) yang membebaskan tarif dan halangan bagi dua atau lebih negara yang bersepakat di dalamnya.

Di samping menyiapkan pasar baru, pemerintah pun semakin serius menempuh proses litigasi lewat forum World Trade Organization (WTO) dan meninjau kerja sama bilateral dengan UE apabila aturan yang mendiskriminasi sawit tetap disahkan oleh Parlemen Eropa.

Pasalnya, upaya diplomasi negara-negara produsen sawit yang tergabung dalam wadah Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) yakni RI, Malaysia, dan Kolombia melalui lawatannya ke Belgia, pada 8-9 April 2019 lalu dalam kerangka misi bersama (joint mission) melawan diskriminasi minyak sawit di UE, tidak membuahkan hasil yang positif bagi Indonesia. 

"Selain menempuh litigasi ke WTO, kita akan review hubungan ekonomi kita dengan mereka. Tidak perlu dijelaskan sekarang, kita akan ambil langkah pasti begitu delegated act itu di adopsi mereka," ujarnya.

Senada dengan itu, Staf Khusus Menteri Luar Negeri RI Peter Gontha pun membenarkan jika sikap Indonesia mantap untuk membawa kasus ini kepada WTO jika saja RED II Delegated Act itu diterapkan secara penuh.

Menurut Peter, posisi Indonesia sudah sangat jelas. Mengingat, yang paling dirugikan oleh putusan UE tersebut nantinya ialah petani kelapa sawit Indonesia. 

Sebagaimana diketahui, terdapat 19,5 juta orang Indonesia yang bergantung pada industri ini, termasuk 2,6 juta di antaranya adalah petani kecil. Artinya, bila industri ini dimatikan di UE, maka upaya pengentasan kemiskinan sebagaimana bentuk pencapaian terhadap poin pertama Sustainable Development Goals (SDGs) bakal terhambat.

"Pertarungan itu terjadi di Brussels dan terus terang saja kita tidak ingin lagi diatur. Kedaulatan kita harga mati, neo-imperialisme, dan kolonialisme jangan sampai terjadi lagi," katanya.

Tak hanya itu, Mantan duta besar RI untuk Polandia itu menambahkan, bahwa apabila aturan diskriminasi sawit tetap diberlakukan, maka Parlemen Eropa tak sejalan dengan konstitusi mereka sendiri terkait Sustainable Development Goals (SDGs) yang poin pertamanya ialah soal pengentasan kemiskinan.

"Kita saling membutuhkan, tapi kalau ada diskriminasi kita pun bisa melawan. Saya tidak katakan retaliasi, tapi kita bisa melawan apabila mereka menekan negara kita yang sedang membangun," tuturnya.

RED II adalah kebijakan Uni Eropa terkait produksi dan promosi energi terbarukan yang akan berlaku pada 2020-2030 mendatang. Kebijakan ini menetapkan Uni Eropa wajib memenuhi 32% dari total kebutuhan energinya melalui sumber yang terbarukan pada 2030. 

Untuk mendukungnya, Uni Eropa akan menerbitkan delegated act, yang isinya menetapkan kriteria tanaman pangan yang berisiko tinggi dan rendah terhadap perubahan fungsi lahan dan deforestasi. 

Kriteria ini dikenal sebagai konsep ILUC (indirect land use change atau perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung). Tanaman pangan yang dianggap berisiko tinggi akan dibatasi penggunaannya dan dihapuskan secara bertahap hingga 0% dari pasar bahan bakar nabati Uni Eropa dan kelapa sawit menjadi salah satunya. 

Rancangan kebijakan RED II ini telah diajukan Komisi Uni Eropa ke Parlemen Eropa sejak 13 Maret 2019 lalu. Kini, tinggal memunggu putusan Parlemen Eropa yang kira-kira akan diumumkan 12 Mei 2019 mendatang apakah menyetujui rancangan kebijakan tersebut atau malah menolaknya. Bila disetujui, beleid tersebut bakal berlaku otomatis melalui silent procedure atau dijalankan tanpa menerima kompromi lebih lanjut.

img
Soraya Novika
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan